07 - Tidak Sejalan
"Lo nggak bakal mau main ke tempat gue hari Sabtu begini kalau laki lo ada di rumah."
Nadia menatap malas kepada Thalita yang duduk santai di sofa ruang kerjanya. Wanita itu tampak asyik dengan iPad di tangannya, lengkap dengan kedua tungkai kaki berselonjor di atas sofa.
"Iya, dong. Ngapain jalan ke luar kalau di rumah ada yang ngelonin."
Nadia mendecih jengkel mendengar sahutan santai Thalita. Bahkan wanita itu tidak merasa perlu menatapnya saat bicara. "Giliran ditinggal, ngelonnya ke gue. Cih! Pelarian banget, ya, gue."
Thalita tertawa geli mendengar keluhan Nadia. Dia meletakkan iPadnya dan mengambil gelas jusnya yang tadi sempat terabaikan gara-gara beberapa email pekerjaan yang harus segera diperiksa.
"Rei diajak mertua gue ke Jogja. Ngecek tanah warisan keluarga yang mau dibagi-bagi," terang Thalita meski Nadia tidak bertanya. "Jadi, gue free sampai besok. Boleh bareng lo sepuasnya."
"Yakin dibebasin? Kalau entar malam gue ajakin dugem, emang dibolehin?" cibir Nadia, menyindir Thalita terang-terangan.
"Ya, jangan ke situ, dong, mainnya," sahut Thalita dengan raut masam. "Kayak nggak tahu aja kalau suami gue punya mata di mana-mana."
"Nah, nyesel, kan, sekarang kawin sama cowok posesifan begitu? Makan, tuh, cinta! Apa enaknya dikekang begitu?" sergah Nadia. Raut wajahnya tampak puas saat merasa berhasil memojokkan sahabatnya.
"Jangan didengerin. Jomblo, mah, gitu. Nggak ngerti asam-manisnya pernikahan." Kemunculan Laras yang tiba-tiba dari balik pintu membuat Thalita dan Nadia langsung menoleh ke arahnya.
"Duh, Laras! Kangennya! Apa kabar?" Thalita langsung bangkit dari duduknya untuk menghampiri Laras yang berjalan agak lambat karena membawa perut besarnya.
"Kangen gue atau perut gue?" tanya Laras. Geli sekali dia melihat Thalita yang langsung mengusap-usap perut buncitnya dengan penuh sayang, tapi juga antusias.
Thalita tertawa senang. "Dua-duanya, dong. Tapi, kok, lo belum ngambil cuti, sih? Perut udah gede gini masih dikasih kerjaan? Jahat banget, sih, bos lo."
Thalita mengucapkan sindiran itu dengan nada tenang khas dirinya. Meski begitu, tetap sanggup membuat Nadia merengut masam di kursi kerjanya.
"Seneng, kan, lo ... gue difitnah begitu?" ucap Nadia kepada Laras yang memasang raut tak tahu menahu. "Udah dari minggu kapan gue suruh break. Datang ke toko kalau lagi genting aja. Tapi, dianya aja yang masih ngeyel."
"Biaya melahirkan dan ngebesarin anak itu mahal, ya, ibu-ibu. Harap maklum, laki gue cuma pegawai kantoran biasa. Masih butuh sokongan dari istri perkasa macem gue," sahut Laras santai. Dia manut saja saat digiring Thalita untuk duduk di sofa, masih dengan perut yang diusap-usap.
"Lagian minggu depan baru masuk bulan kedelapan. Gue masih kuat, kok, ngaduk adonan," lanjut Laras, demi menghilangkan kerutan di kening Thalita yang tampak agak khawatir dengan kondisinya.
"Nanti kalau mulai mules-mules, jangan lupa kabarin gue, ya, Ras? Gue mau ikut nemenin persalinan lo. Pengin tahu prosesnya. Soalnya kemarin pas adik ipar lahiran, gue lagi nengok tante gue di Sydney."
Permintaan tiba-tiba Thalita yang diucapkan wanita itu dengan nada tenang tapi agak pelan, membuat Nadia dan Laras langsung menatapnya. Nadia yang tidak punya pengalaman dan tidak tahu bagaimana rasanya, memilih diam dan melirik Laras untuk meminta bantuan.
Laras mengerti isi hati Thalita saat ini. Dia menggenggam sebelah telapak tangan Thalita yang ada di atas perutnya.
"Iya, nanti gue minta asisten gue buat ngabarin lo langsung. Dia pasti siaga juga buat nemenin gue," ucap Laras dengan balas mengelus punggung tangan Thalita, matanya mengerling Nadia sejenak untuk memastikan asistennya itu mendengar langsung permintaannya.
Thalita hanya tersenyum tipis, tampak berusaha menyembunyikan raut piasnya. Tangan dan matanya terus saja fokus pada perut besar Laras, menghindari tatapan kedua temannya.
"Sabar, ya, Ta. Pasti segera dikasih, kok. Ingat, Tuhan nggak pernah tidur. Dia selalu mendengarkan semua doa-doa umatnya," ucap Laras dengan nada hati-hati. "Percaya, deh, nanti pasti lo akan begini juga, sulit jalan dan tidur gara-gara perut kegendutan."
Kalimat terakhir Laras tak ayal membuat ketiganya tertawa kecil setelah. Suasana yang tadinya sempat canggung, langsung lenyap, karena Thalita sendiri yang memilih untuk menyingkirkan senyum kecutnya, mengganti menjadi senyum lebar, tanda bahwa dia mengerti dengan ucapan Laras yang berusaha membesarkan hatinya.
"Kali aja lo sama Rei kurang usaha," celetuk Nadia dengan raut cuek saat mendapati bahwa Thalita sudah tidak semurung sebelumnya.
"Kurang apaan?! Kurang waktu, malah!" jawab Thalita refleks. Hal yang kemudian langsung disesalinya, karena Nadia dan Laras langsung memasang raut penuh arti di wajah mereka.
"Iya, sih. Nggak mungkin si Rei mau puasa, kecuali kalau lo lagi dapet. Dia, kan, doyannya nempelin lo ke mana-mana," lanjut Nadia dengan wajah mengejek. "Gue curiga, jangan-jangan lo ke kamar mandi dijagain juga sama dia, saking posesifnya."
"Sembarangan!" sahut Thalita. Dia sudah berhenti mengelus perut Laras, lalu kembali meminum jus stroberinya dengan gaya anggun, mengabaikan tatapan mengejek dari Nadia, juga cekikikan Laras di sampingnya.
"Selama gue bisa, gue bakal berusaha menghindar dari cowok model suami lo dan temen-temennya itu. Doyan posesifan nggak jelas. Suka ngelarang ini-itu. Lebay, deh!"
Perkataan yang tiba-tiba diucapkan Nadia itu langsung membuat Thalita terdiam sejenak dan menatap sahabatnya dengan sorot penuh selidik. "Dan, itu alasan lo makanya nggak mau dijodohin sama Saka? Lo kira dia posesifan dan ...."
"Ngapain tiba-tiba jadi ngomongin tuh cowok, sih?!" Nadia langsung sensitif sendiri saat nama Saka disebut.
"Loh?" Thalita menaikkan alisnya penuh tanya. "Saka, kan, temennya Rei. Lo bilang tadi teman-temannya suami gue, kan?"
"Duh, ngapain sewot gitu, sih? Biasa aja kali, Nad." Laras ikut nimbrung dengan memasang senyum jail di bibirnya. "Kalau emang nggak suka, nggak perlu segitunya cuma karena ditanya-tanya. Kecuali emang ada rasa beneran."
"Ih! Apaan lagi, nih?! Kapan gue begitu? Nggak nyambung!" sergah Nadia, memelotot ke arah Laras.
Laras hanya mengedikkan bahu dengan cuek. "Udah gue peringatin, ya! Kalau keseringan disewotin begitu, entar malah jadi naksir. Macem dalam novel sama drama-drama di TV, tuh. Awalnya ilfeel, buntutnya jadi nge-feel beneran."
"Lo pikir gue minat jadi drama queen yang ngalamin kisah cinta model begituan? Ogah!" tolak Nadia dengan wajah sinis. "Makanya gue males berurusan sama cowok yang ditinggal pergi pasangannya. Gue menolak jadi cewek yang harus menyembuhkan luka hati orang lain! Enak aja!"
Thalita semakin menaikkan alisnya karena merasa kaget dan heran, juga penasaran. "Wah! Nambah lagi sekarang alasan kenapa lo nggak minat sama Saka. Takut dia masih inget mantannya, ya? Pengecut banget, dong, itu namanya. Kayak bukan lo aja," ucap Thalita sambil tersenyum sok polos.
Nadia mengumpat pelan. Kenapa juga tadi dia keceplosan? Benar-benar bodoh!
"Tapi gue yakin, pasti masih ada hal lainnya yang gue nggak tahu, sampai lo segitu sewotnya sekarang sama Saka. Dia, kan, nggak salah apa-apa," lanjut Thalita, masih dengan gaya kalemnya. Tangannya pun kembali sibuk dengan iPad, mengecek balasan email pekerjaan.
"Masa cuma karena kelakuan lebay kalian yang doyan main Tom and Jerry waktu masih SMA, harus kebawa terus sampai sekarang? Kekanak-kanakan banget itu namanya," lanjut Thalita lagi.
"Wah! Kalau memang sejarahnya udah pernah main Tom and Jerry, berarti udah kayak isi novel aja, dong? Banyak tuh yang begitu. Ck! Bakal pasaran banget entar kisah lo, Nad!"
Laras tidak mau ketinggalan memanas-manasi Nadia. Melihat wajah judes tapi cantik milik bosnya itu selalu menjadi favorit Laras. Dia tidak masalah kalau anaknya nanti akan mirip dengan kemolekan wajah Nadia.
Nadia mengatup rapat bibirnya. Menatap Thalita dan Laras dengan sorot tajam. Seandainya dia memiliki kekuatan seperti Cyclops dalam cerita X-men, maka sudah lama kedua wanita itu habis di matanya.
Ketukan pintu membuat khayalan Nadia yang tengah menyiksa Thalita dan Laras—dalam pikirannya—langsung buyar. Kepala Alin muncul di celah pintu dengan cengiran khas di bibirnya.
"Mas Adit udah di bawah, Mbak," ucap Alin kepada Laras. "Tapi, masih nyantap roti juga, kok. Jadi, Mbak Laras diminta pelan-pelan aja turunnya."
"Oke! Gue pamit dulu, ya, Bos! Maklum, wanita bersuami memang begini nasibnya. Selalu ada yang nungguin," ucap Laras dengan sorot mengejek, menatap kepada Nadia untuk berpamitan. Laras bangkit dari duduknya, dibantu Thalita yang langsung sibuk sendiri dengan kekhawatirannya, membuat Laras tertawa saat melihatnya.
"Lanjutkan misi kita, Ta! Gue serahin ke lo ending-nya," ucap Laras sambil saling mencium kedua belah pipi bersama Thalita. Keduanya cuek saja mengabaikan Nadia yang masih menatap jengkel ke arah mereka. "Nggak usah ikut turun. Entar suami gue makin nge-fans sama lo," lanjut Laras dengan mata pura-pura galak menatap Thalita.
Thalita hanya tertawa ketika mendengarnya. Dia melambai kepada Laras yang langsung menghilang bersama Alin di balik pintu.
"So, silakan lanjutkan."
"Apanya?" tanya Nadia, pura-pura tidak paham dengan perkataan Thalita. Dia memilih sibuk menatap layar ponsel, mengamati berbagai macam sajian kue yang di-posting salah satu akun instagram khusus untuk memamerkan gambar makanan.
Thalita tampak mendengkus, lalu menatap lembut ke arah Nadia. "Nggak ada yang buruk, kok, sama Saka. Kurangnya di mana, sih, Nad?" tanyanya dengan nada membujuk.
"Dari sekian cowok yang pengin gue kenalin, Saka yang paling kompeten. Dia aman, terjamin dan bakal sanggup ngimbangin kemandirian lo. Lagian dia nggak suka macam-macam kayak mantan-mantan lo—yang bisanya cuma ngajakin seneng-seneng doang."
"Siapa bilang Saka nggak begitu?!" sanggah Nadia tiba-tiba.
Thalita kembali mengangkat alisnya semakin penasaran. "Kenapa? Gimana memangnya Saka selama ini?" Kali ini, Thalita tidak berniat melepaskan Nadia setelah mendapati sikap defensif yang semakin menjadi terhadap Saka sejak pertemuan mereka siang itu di restoran.
"Nggak ada! Nggak penting!" Nadia berusaha menolak memberi tanggapan. Dia bahkan masih enggan menatap Thalita.
"Nad!"
"Ck! Nggak ada apa-apa sama Saka," sahut Nadia lagi. "Iya, dia kompeten dan nggak pernah macam-macam. Sempurna, pokoknya. Tapi, model begitu yang gue nggak bisa!"
"Kenapa nggak bisa? Aneh lo!" Thalita mengerutkan keningnya dengan heran.
"Ta! Lo lihat gue, dong!" pinta Nadia sambil merentangkan salah satu tangannya. "Gue terbiasa hidup bebas. Nggak biasa diatur-atur dan terikat sama suatu hal. Gue terbiasa ngelakuin semua hal sesuka hati gue. Keluarga gue juga cuma ada bokap dan nenek, yang lain nggak tahu pada ke mana."
"Ya, terus?" tanya Thalita, berlagak bodoh demi bisa terus memancing Nadia.
"Sekarang lo lihat hidupnya Saka," lanjut Nadia dengan raut serius. "Dia anak dari keluarga baik-baik yang anggota keluarganya utuh. Lingkungannya aman dan nyaman. Hidupnya cuma buat ngebahagiain nyokapnya, ngebanggain bokapnya, dan ngejagain adek ceweknya mati-matian."
Thalita memilih bungkam mendengarkan, meski segala tanya mulai muncul dalam kepalanya. Nadia juga sudah menarik napas panjang, sebelum kembali melanjutkan argumennya.
"Gaya hidupnya nggak bakal nyambung sama segala kebebasan yang gue jalanin selama ini. Dia nggak bakal bisa ngontrol gue, karena gue tahu banget gimana definisi komitmen dalam kepala dia! Dan, itu udah pasti nggak sejalan sama versi gue!"
Nadia mengerutkan kening dengan serius sambil menatap Thalita. Sejenak, dia akhirnya tersadar dengan apa yang telah diucapkannya tadi. Embusan napas kasar langsung keluar dari bibirnya saat memahami maksud tatapan Thalita saat ini.
"Ah, ngomong apa, sih, gue," keluhnya sambil menyandarkan punggung ke kursi kerjanya, merasa kalah dan kesal sekaligus.
Thalita mengulum senyum kecil meski dirinya makin merasa penasaran. "Kayaknya lo malah lebih kenal Saka dibanding gue. Padahal tiap beberapa bulan dia pasti ada nyamperin Rei ke rumah."
Nadia tidak menyahut. Dia kembali berusaha fokus pada ponsel. Membiarkan Thalita berpikir sesuka hatinya.
"Selama gue pergi kuliah, udah banyak banget yang gue lewatkan, ya?" tanya Thalita dengan nada pelan dan hati-hati. Senyumnya pun tampak dipaksakan, merasa agak bersalah terhadap Nadia karena tidak bisa selalu ada di samping sahabatnya itu.
"Pastilah," jawab Nadia dengan cuek. "Gue juga nggak tahu lo udah selingkuh sama siapa aja pas masih di Sydney. Lo nggak pernah cerita, kan?"
"Karena memang gue nggak pernah selingkuh sama siapa pun. Jadi, apa yang mau diceritain?" sahut Thalita. Bibirnya langsung cemberut mendengar candaan Nadia.
"Sama kalau gitu. Nggak ada yang perlu gue ceritain tentang Saka selama lo nggak ada di sini, karena memang nggak ada yang penting, nggak ada yang terjadi. Gue aja udah lupa sama keberadaan dia sampai kita ketemuan lagi pas di restoran itu."
Thalita masih menatap Nadia dengan penuh selidik. "Nanti lo pasti bakal cerita," putusnya setelah terdiam cukup lama.
Nadia mengangguk-angguk dengan cuek. "Terserah lo, deh," ucapnya sambil bangkit dari posisi duduknya. Tangannya meraih kunci mobil beserta tasnya. "Yuk, temenin gue maksi bakminya Bang Mamat. Gue pengin itu dari kemarin."
"Yang depan sekolah? Emang buka hari Sabtu begini?" tanya Thalita refleks. Tak ayal dia juga langsung menginginkan makanan yang sama.
Hanya gumaman yang terdengar dari mulut Nadia. Wanita itu lebih dulu berjalan menuju pintu, meninggalkan Thalita yang menatapnya dengan pikiran penuh spekulasi. Tentu saja Thalita masih memikirkan perkara sebelumnya; hubungan Saka dan Nadia di masa lalu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro