04 - Layak
"Udah gue bilang nggak usah ikut campur, kan?! Bokap gue aja santai, kenapa jadi lo yang rempong?!" Nadia berdesis sambil menatap tajam Thalita.
Keduanya tengah berdiri di samping mobil Nadia. Thalita memang sengaja membuntuti Nadia dan meminta waktu pada suaminya untuk diizinkan bicara secara privasi dengan sahabatnya.
"Nenek lo yang rempong nelponin gue terus. Hampir tiap hari, Nad. Kalau enggak, ya, nggak bakal gue mau repot begini," kilah Thalita dengan gestur santai, tidak takut dengan mata memelotot Nadia.
"Nggak usah diladeninlah! Diblokir aja nomornya sekalian."
"Bisa dikontrol dikit nggak, sih, kelakuan jahat lo? Nenek lo sendiri ini." Thalita balas memelotot, tapi tetap tersenyum geli. "Lagian, wajar kali dia khawatir. Tahun depan umur mau kepala tiga, tapi cucu cewek paling sulung malah belum nikah. Pacar juga nggak punya, apalagi calon suami. Sedih kali dia mikirin lo."
"Heh! Bokap gue aja ngebebasin gue mau kawin kapan. Dia sendiri, kok, yang bilang hal beginian nggak boleh didesak-desak. Let it flow ajalah. Jodoh udah ada yang ngatur," sanggah Nadia, masih berdesis jengkel. Matanya melirik ke arah yang berseberangan dan agak jauh dari posisinya, di mana para pria juga masih asyik berbicara di depan mobil Reinald.
Nadia menatap sekilas pada Saka. Kenapa pria itu belum pergi juga? Tidak mungkin sengaja ikut-ikutan menunggu para wanita selesai bicara, kan?
Nadia langsung mengalihkan mata dengan cepat ketika Saka berpaling ke arahnya. Jangan sampai dia mempermalukan diri sendiri lagi karena ketahuan menatap pria itu.
"Lagian, ya, kalau lo emang niat nyariin gue gebetan, masa iya Saka, sih, Ta?" tanya Nadia dengan raut sangsi dan heran.
"Nggak ada yang lain, gitu? Bos-bos dari klien lo, misalnya? Masa duda disodorin ke gue? Kayak yang gue desperate banget, sampai nggak sanggup nyari yang masih perjaka."
Thalita meringis, tapi tetap menahan geli saat mendengar Nadia meminta dicarikan bos untuk calon suami. "Reinald keburu tahu kalau nenek lo terus-terusan minta bantuan ke gue. Tiba-tiba dia langsung kepikiran sama Saka. Jadi, ya, gitu ...," ucap Thalita sambil mengedikkan bahu.
"Lo sama laki lo itu sama aja. Suka nggak lihat kondisi kalau lagi bikin perkara," sindir Nadia dengan mulut mencibir jengkel.
"Saka? Sumpah, ya, Ta! Lo nggak lupa, kan, betapa indahnya hubungan gue sama dia selama ini?" tanya Nadia lagi dengan sarkasme.
"Dicoba aja dulu kenapa, sih?" bujuk Thalita dengan agak memohon. Harus begini kalau berhadapan dengan Nadia. Karena Thalita tahu, kadang Nadia akan semakin bersikap batu kalau menggunakan cara keras.
"Lagian Saka juga lagi sama kondisinya kayak lo. Dia memang niat mau segera nikah. Kelamaan sendiri, kangen juga katanya punya istri."
"Asem, ya, lo!" desis Nadia lagi. "Siapa juga yang bilang gue pengin segera nikah?!"
"Nad ..."
"Enggak! Pokoknya enggak!" potong Nadia cepat. "Datang lagi ke gue kalau lo udah nemu bos yang single dan masih perjaka! Cakep, tapi imut kayak Ansel Elgort!"
Nadia menolak mendengarkan Thalita bicara lagi. Setelah memuntahkan penolakan sekaligus permintaannya, dia berbalik cepat untuk memasuki mobilnya, meninggalkan Thalita yang mendesah pasrah sambil terus menatap kepergiannya. Nadia bahkan tidak mau repot membunyikan klakson mobil saat melewati Reinald dan Saka yang masih berdiri di dekat mobil Reinald.
"Udah?" tanya Reinald ketika Thalita sudah berada di dekatnya.
Thalita hanya tersenyum tipis, enggan berkomentar. Saka yang melihat senyum Thalita langsung bisa menangkap artinya. Dia tertawa dan menggelengkan kepala.
"Lo berdua kurang kerjaan, sih. Ada-ada aja bikin candaan," ucap Saka. Senyum geli masih terselip di bibirnya.
"Gue pikir, cewek spesial mana yang pengin dikenalin ke gue. Nadia? Serius, Ta? Lo nggak berniat bikin gue mati muda, kan?" tanyanya dengan nada bercanda.
Thalita kembali menipiskan bibir, tapi kali ini dia menatap Saka dengan raut datar. Dalam hati dia mulai mengamini kalau Saka sepertinya memang bukan pilihan tepat untuk didekatkan dengan Nadia.
"Lo nggak bakal ngelihatin dia mulu kalau emang nggak tertarik," ucap Reinald santai, kemudian merangkul pinggang Thalita untuk menggiring istrinya ke arah pintu penumpang.
Perkataan telak Reinald tak ayal langsung membuat Saka terdiam. Hanya sejenak, karena setelahnya Saka malah kembali tertawa untuk menunjukkan kebenaran dari perkataan Reinald.
"Kirimin gue kontaknya," seru Saka ketika Reinald membukakan pintu mobil untuk Thalita, sebelum dia juga berbalik untuk mendatangi mobilnya. "Nggak perlu bantuan lo berdua kalau ceweknya ini Nadia. Gue bisa sendiri."
Reinald mendengkus mendengar perkataan sahabatnya itu. Dia menatap punggung Saka yang berjalan menuju mobilnya di ujung parkiran restoran dengan sorot geli.
"Awas, ya, kalau Saka nggak serius dan niatnya macam-macam!" ancam Thalita ketika Reinald sudah duduk di balik kemudi.
Reinald terkekeh. Tangannya bergerak untuk mengelus sebelah pipi Thalita, mencoba menenangkan kekhawatiran istrinya. "Kamu udah kenal baik dengan dia, kan? Saka nggak pernah mau begitu kalau sama perempuan."
Thalita tersenyum, langsung mengerti perkataan Reinald. Suaminya benar. Kalau tidak begitu, mana mungkin dia mau mengiakan saran Reinald untuk mendekatkan Saka dengan Nadia.
Dari sekian para pria kompeten yang dikenal Thalita, Saka memang termasuk peringkat teratas dalam kategori layak untuk pria yang siap berumah tangga dengan penuh tanggung jawab.
Terkait masalah hubungan kurang baik antara Saka dan Nadia di masa sekolah, biarlah hal tersebut menjadi percikan asam-manis dalam prosesnya. Itu pun kalau keduanya memang berjodoh nantinya.
Toh, hanya sekadar mencoba tidak akan menjadi masalah, kan? Kalaupun nanti tidak berhasil, Thalita cukup yakin keduanya sudah terlampau dewasa untuk menyikapinya dengan bijak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro