Not Like Other Girls
Aku, Raven Parsons, tidak seperti perempuan-perempuan lain. Mereka mendengarkan musik pop, aku mendengarkan genre rock. Ketika mereka menonton roman picisan, aku menonton film fantasi. Mereka ke salon untuk menggelapkan kulit dan menghias kuku, aku ke studio tato untuk menindik hidung, telinga, dan lidah (umurku sudah legal: 18). Mereka memakai merah muda, aku memakai hitam. Ketika mereka berbondong-bondong, aku nyaman sendiri ... Duk!
Suara benda jatuh menginterupsi dedah tentangku. Tak jauh dariku, seorang gadis berambut pirang menjatuhkan dompet. Panjang umur. Baru saja kubahas perempuan seperti dia. Cepat-cepat kupungut dompet itu dan menghampiri si Pemilik, gadis berbalut gaun off-shoulder berwarna merah muda. Kutepuk pundaknya yang terekspos. "Hei, dompetmu jatuh tadi."
Si Pirang berbalik, menerima dompetnya dan memelukku. "Terima kasih banyak!"
"Modusmu halus juga, tapi kau PDKT dengan orang yang salah." Lelaki di sampingnya melingkarkan tangan di pinggang si Pirang, melepas paksa pelukan kami. Si Pirang sendiri tak punya inisiatif untuk mengelak, cuma tersenyum pasrah. "Dia milikku, jadi mundur atau menyerahlah." Aku melayangkan tatapan sinis pada lelaki berambut cokelat itu.
Aku berdecak, balas menyindir, "Maaf sudah menjadi jujur dan mengembalikan dompet jatuh." Kemudian aku berjalan ke Toko Death Wish dengan kesal mendidih. Ugh. Perempuan-perempuan lain itu lemah, bucin lagi. Aku tak mau berteman dengan perempuan sepertinya.
Not Like Other Girls
Cerpen yang diketik Rel_Rifda untuk event PAB Batch 2
Malamnya, Ayah mengejutkanku dengan kabar pertukaran tenaga kerja Amerika-Australia. "Aku pulang awal Juli. Selama bulan Juni, kau kutitipkan pada rekanku. Dia punya anak perempuan seumuranmu. Kalian pasti akrab."
Akrab apanya? Aku sangat meragukan pernyataan Ayah tadi malam. Kupandang malas gadis di hadapanku, lalu mengusap wajah kasar. Dari miliaran orang dalam semesta, kenapa dia?
Gadis pirang itu tersenyum cerah saat menggenggam tanganku erat-erat, mengabaikan fakta bahwa aku masih di ambang pintu. "Gosh! Kau gadis yang kutemui di mal hari itu!" pekikannya mengalahkan perbincangan orang tua kami. Padahal masih jam 9 pagi, tapi semangatnya meletup-letup. "Senang takdir mempertemukan kita lagi. Ah iya, namaku Fairfax!" Ah, aku baru sadar dia memakai kalung choker merah muda.
"Raven." Kupasang senyum paksa. Tuhan, semoga bulan Juni cepat berlalu.
Selama berberes-beres, tak ada kata di antara aku dan Fairfax—ia membantuku menyiapkan kamar. Setidaknya ketenangan itu hidup sampai 17 tahun itu berseru, "gosh, tak kusangka kau punya gaun merah muda—kupikir semua warna gelap! Simpel dan manis. Beli di mana?" Binar mata hijau mentha si Pirang yang kontras mata kelabu milikku yang menatap malas.
Tanpa berhenti mengeluarkan barang-barang dari kotak, aku mengangkat bahu. "Itu milik ibuku. Pasti terselip saat berkemas. Sayang, aku tak pernah bertemu dengannya, tak pernah tanya." Binarnya menghilang, bingung mengambil alih posisi. Aku mengerti maksudnya. "Dia meninggal sesaat setelah aku lahir. Makanya aku dan ayah tak merayakan ultahku, tak mau ingat kematian Ibu. Karena itu juga aku tak suka tanggal 18 Jun—ah, untuk apa kuberitahu hal remeh temeh."
Fairfax buru-buru minta maaf. Aku mengibaskan tangan. "Tidak usah merasa bersalah, Blondie. Aku juga tak begitu sedih tentang itu," aku terdiam sebelum menambah keraguan, "kurasa."
"Uhm, boleh kumodifikasi gaun ini? Aku bisa menjahit, ya, masih belajar, sih."
Aku terkekeh pelan sebelum mengangguk. "Ambil saja."
Malamnya, tawa 3 suara menggema dari kamar Fairfax. Apa serunya menginap seperti itu? Lebih baik aku nonton serial fantasi sampai fajar. Sebelum itu, ada misi rahasia yang harus kulaksanakan. Ketika mengendap-endap kembali ke kamar, derit pintu membuatku terlonjak. Fairfax pelakunya. Pandangan gadis itu jatuh pada apa yang kupeluk erat: 2 bungkus berondong. Bukannya omelan, justru tawa yang mengudara. "Jujur, ekspresimu terlihat lucu, Raven."
"Kuanggap itu pujian." Aku nyengir. Kulirik ruang di balik bahunya. "Apa yang kalian lakukan untuk bersenang-senang, Blondie?" Benakku menebak-nebak. Bergosip? Berdandan? Perempuan-perempuan lain itu ...
"Kami menonton serial I Fell in Love with an Angel, and I Know It Was Fate, so I Tried to Get into Heaven, but Messed Up and Was Reborn as the Demon Lord's Manservant ... So Please, Just Hear Me Out! Sayangnya Meg belum punya season 3."
Juga menyukai film fantasi? Jawaban Fairfax membuat mataku terbelalak. Gadis ini bahkan hafal judul lengkap film favoritku itu! Senyumku melebar. Seleranya bagus juga. "Kau tahu, aku punya DVD-nya lengkap sampai season 6 dan spin-off." Kutatap mata hijau mentha Fairfax lurus-lurus. Yang selanjutnya kudengar adalah jeritan girang 3 suara.
Gonggongan dan tamparan Aviowlloska pada kekasihnya, Zjuikazdavxanie menggelegar dari pengeras suara. Aku meringis. Saat itu juga June berkomentar, "Avi mengingatkanku pada Ken."
Sebelah alisku naik. "Siapa itu Ken?"
"Pacar Fairfax," Meg seseggukan. Setelah 3 jam bersamanya, terungkap bahwa dia bayi sensitif. Sudah ke-15 kalinya gadis itu mewek sebab sandiwara. "Kata June, Ken itu toxic."
"Ken tidak seburuk yang kalian kira. Percalayah, kami sudah berpacaran sejak Juni lalu. Caranya mengekspresikan kasih sayang saja yang ..." cicitan Fairfax disela oleh dering telepon. Wajahnya memucat saat membaca sang penelepon. Aku tahu senyum yang dia ukir itu dipaksakan. "Telepon dari Ken. Aku akan bergabung lagi secepatnya," pamit Fairfax sebelum keluar kamar.
Sesuatu dalam diri mendorongku untuk menyusulnya. "Berondong hampir habis. Akan kumasakkan lagi." Di balik dinding dapur, aku menguping perbincangan Ken dan Fairfax selagi menunggu berondong matang. Kutahan petasan murka agar tidak tersulut oleh kecemburuan Ken. Perhatian itu tidak buruk, seperti cokelat, tapi kalau overdosis, gigimu bisa berlubang.
"Kau tidak lupa hari jadi pertama hubungan kita—21 Juni depan—bukan, Babydoll? Aku sudah meyiapkan tiket untuk berlibur di pantai satu hari dua malam!"
"Maaf, Ken. Putri Tuan Parsons dititipkan di rumahku. Aku tidak bisa meninggalkannya ..."
"Babydoll." Terdengar penekanan pada kata sayang itu. Dengan sendirinya kaki-kakiku mulai berjalan mendekati Fairfax. "Kau tahu aku tidak bisa mengencani gadis yang menolakku—"
"Kalau begitu, putus saja. Dah, Bangsat." Itu penutup perbincangan telepon mereka. Bukan. Bukan Fairfax yang blak-blakan begitu. Aku yang merebut ponsel dan menyela Ken. Selama beberapa saa, tak ada kata di antara kami, hanya saling menatap. Sial, aku tak mengerti maksud tatapannya. Dia tidak marah, bukan? Kuharap tidak. Karena Ken memang memaksaku untuk mengatakannya.
"Kenapa, Raven?" dua kata itu pemecah keheningan. "Dia itu pacarku."
Kenapa, Raven? Kenapa kau justru menyalahkan korban? KAU HARUSNYA MEMBANTU DIA, BODOH!
"Aku yang harusnya bertanya, Blondie." Aku menghela napas sebelum meremas pundaknya. "Kenapa kau tahan dengan orang, tidak, makhluk itu?" Fairfax membuka mulut, hendak berkata. Sebelum dia sempat, aku duluan meluncurkan kata, "tolong jangan bilang karena cinta. Karena kau tak terlihat bahagia bersamanya." Tangis Fairfax meledak bak berondong jagung. Sial, pelukanku tak sanggup meredamnya.
Perempuan-perempuan lain itu ... "Selamat ulang tahun ke-19, Raven Parsons!" sorakan kompak mengagetkanku ketika menapakkan kaki di halaman belakang. "Kalian pikir aku tak curiga ketika menemukan secarik kertas yang menyuruhku ke halaman?" gurauku. Kupandang mereka satu persatu: Tuan dan Nyonya Smith, Meg, June dan otak di balik pesta, Fairfax. "Terima kasih." Sebelum sempat kabur, mereka semua mengurungku dalam pelukan besar. Kemudian mereka memberikanku kado yang tak pernah (pantas) kudapat. Senyumku mengembang saat membuka hadiah Fairfax: gaun ibuku yang dijahit ulang menjadi gaun goth dengan aksen hitam. Dia bahkan mengecat bulan hitam di ujung gaun. Astaga, gadis ini memang penuh kejutan.
Luar biasa, lebih dari yang kukira. Mereka baik, ramah, berbakat, hangat, dan khusus Fairfax, dia punya senyum termanis dibanding siapapun dalam semesta. Raven Parsons, saatnya kau menamatkan pandangan sebelah mata yang bodoh tentang perempuan-perempuan lain.
[TAMAT. Cerpen dari sudut pandang Fairfax Smith: Ken's Babydoll]
Awal ide ini adalah meme. Serius. Meme not like other girls atau other girls vs me. Aku juga melalui fase itu. Terus aku sadar, itu salah. Dari not like other girls yang digambar ulang, aku mulai cari tentang fenomena itu di internet. Mengganggap diri sendiri tidak seperti perempuan-perempuan lain itu ternyata salah dan menyinggung. Siapa yang disebut the other girls? Apa salahnya mereka? Mereka cuma menikmati hidup dengan selera yang beda.
Btw, meme yang kumaksud itu yang digambar ulang.
Dari begini:
Jadi begini:
Artist: destinytomoon
Atau
Yeah—dan awalnya Fairfax bakal firendzone-in Raven. Karena konten LGBT dilarang di event ini, jadi bukan girls love, tapi girls support 💕
Kenapa Raven?
Raven artinya gagak/hitam/bijak. Menurutku Raven cocok buat cewek emo.
Oh? Judul film yang panjang banget itu?
Namanya? Aku ngasal lol.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro