Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Not in Wonderland | 4

A/n: jangan lupa tambahin ke readinglist!:)

🔶🔸C h a p t e r   4 🔸🔶

Kamu; penangkap bayangan, penangkap cahaya, penangkap kejadian, penangkap memori, yang otomatis menjadi penyimpan masalalu.

🎼

Di kelas, Sena sudah berada di meja dekat mejanya, bersama Bidi juga April. "Hel!" panggil Sena mengisyaratkan untuk mendekat.

"Hello, heaven!" jawab Rachel kemudian duduk dan menyeruput minuman yang entah milik siapa.

Sena menggeleng pelan, "kebiasaan!" desisnya yang hanya dihadiahi cengiran oleh Rachel.

Bidi yang semula memainkan ponsel kini berhenti. "Lo pada penasaran gak sih?" tanyanya menggantung kalimat.

Rachel menaikan sebelah alis, "kenapa?" tanyanya penasaran.

"Tentang si Ralin itu," ucap Bidi ringan seolah sedang membicarakan cuaca hari ini.

"Jangan bahas hal itu! Gue takut." April semakin mendekati Sena, membuat Rachel risih dan memutar bola matanya.

"Gue cuma penasaran," ucap Bidi sambil mengedik, cowok itu kembali memainkan game di ponselnya.

Miss Sesil, guru bahasa inggris mereka masuk dengan sebuah laptop di tangannya. Bidi, April dan Sena kompak bubar, namun sebelum Sena melangkahkan kaki untuk kembali ke meja miliknya, ia menatap Rachel sekali lagi. "Lo gak apa duduk sendiri?"

"Ha?" Rachel tampak tolol dengan ucapan yang barusan dilontarkan Sena. "Ya gak apa-apalah!" jawabnya meyakinkan.

Sena tersenyum, "pulangnya, bareng gue ya?" ajak Sena yang lebih terdengar seperti paksaan, setidaknya menurut Rachel.

"Gue gak bisa," jawab Rachel cepat. "Gue ada ekskul piano."

Sena mengangguk samar, "besok-besok jangan ditolak ya!" Sena masih tersenyum kemudian berlalu, menuju mejanya yang berada di barisan depan, beda dengan tempat Rachel yang berada di pojokan seperti sarang penyamun.

Serius, ini terasa menyeramkan ketika cowok itu terus memberikan senyum karena tidak biasa. Rachel tebak, apakah obat diabetesnya kini akan berguna jika Sena terus menerus memberinya senyum yang terlampau manis?

***

Jari-jari lentik gadis itu kini menari di atas tuts piano, membawakan lagu indah yang dapat membuat siapapun terpaku karenanya. Rachel menghela napas sesaat ketika selesai memainkan sebuah lagu berjudul Autumn in my heart. Dirabanya sekali lagi tuts piano itu sebelum ia benar-benar beranjak. Ia teringat pada Ralin, sahabat baiknya.

Rachel bahkan menyesal, karena Ralin membuat keputusan bukanlah tanpa alasan. Lalu, kemana dirinya saat Ralin justru sedang dalam kondisi sulit? Tapi ini tidak sepenuhnya salah Rachel, karena Rachelpun berusaha menjadi sandaran terbaik Ralin, meski terkadang Ralin memang menutup diri.

Hari ini ia tidak ada ekskul sebenarnya, lagipula ekskul piano sepertinya akan diberhentikan karena Bu Tara- guru pembimbing ekskul piano berhenti mengajar ketika dapat kabar bahwa salah satu, ralat: satu-satunya murid kesayangan guru itu pergi untuk selamanya.

Rachel masih penasaran, kenapa bisa semalam nomor Ralin menghubunginya? Padahal, ponsel Ralin berdering di loker milik gadis itu.

Apa ada orang yang sengaja memakai ponsel itu? Tapi bagaimana caranya? Ralin kemudian mengingat lagi, kenapa juga cowok berkamera yang namanya Lathan itu bisa memberikan nomor pribadinya pada Ralin?

Apa jangan-jangan cowok itu ada hubungannya dengan kematian Ralin?

Rachel terus saja berpikir, sampai suara pintu yang terbuka kini terdengar. Cepat, Rachel menoleh ke arah pintu dan dilihatnya sosok jangkung itu.

"Sorry, gue kira..," Cowok itu tidak melanjutkan ucapannya saat melihat Rachel. Tanpa berucap apa-apa lagi Lathan menutup pintu kemudian melangkahkan kaki pergi. Rachel mengambil tasnya yang berada di pojok ruangan dengan cepat, menyusul Lathan yang sudah berjarak beberapa meter di depannya.

"Kak Lathan!" Panggil Rachel berusaha menyamai langkah besar Lathan. Cowok itu berhenti kemudian menoleh ke belakang dan kini melihat Rachel yang sudah berada di sampingnya.

Lathan menaikan kedua alis, menatap Rachel secara terang-terangan seperti biasanya. Kali ini, Rachel tidak akan membiarkan kepalanya menjadi terasa dilubangi. Ia harus terbiasa dengan tatapan legam menusuk cowok di hadapannya itu. "Besok payungnya gue balikin!" Rachel berucap santai.

Lathan awalnya hanya ingin ber-oh ria, namun keinginannya itu tertahan karena sebuah alasan. Alhasil yang keluar dari bibirnya sekarang adalah, "gue maunya sekarang."

Rachel membulatkan mata, "Seriously? Besok aja deh! Lusa deh lusa!" Rachel bahkan masih memikirkan bagaimana payung itu kembali.

"Sekarang, gue ambil ke rumah lo sekarang!" Lathan masih berucap datar, kemudian menarik lengan seragam yang dikenakan Rachel agar gadis itu mengikutinya ke parkiran.

Rachel menepis tangan cowok itu, "modus pengen gandeng gue!" cibir Rachel menimbulkan dengusan kecil, dirinya modus? Mana ada!

Rachel menaiki motor yang mesinnya sudah dinyalakan, lumayan numpang pulang gratis karena hari sudah cukup sore.

"Gue gak modus, cuma mastiin kalau jempol lo gak kegedean!" ucap Lathan jelas. Sangat jelas sampai membuat Rachel terperangah, ia malu. Jika saja mesin motor ini belum melaju sekarang, mungkin Rachel sudah kembali turun dan berlari dengan terbirit.

Lathan tersenyum samar ketika semburat merah tampak di wajah gadis itu, sebenarnya Lathan penasaran. Apa Rachel ada sangkut pautnya dengan kematian Ralin? Bukankah dengan mendapatkan hati seorang perempuan, ia bisa mengorek rahasia besarnya?

Lathan dengan sabar menurut pada arah rumah yang dikatakan Rachel, sampai akhirnya ia sampai di depan rumah berpagar biru muda. Rachel turun dan kebingungan, karena payung itu tidak ada pada dirinya.

Ia menunduk sedikit, "Kak sebenernya, payung itu..." Belum sempat Rachel melanjutkan kalimatnya, motor Lathan sudah melaju kencang, mengabaikan Rachel yang dag dig dug dengan payungnya juga terheran-heran dengan apa yang dilakukan Lathan. Tuh cowok anterin gue pulang doang?

***

Rachel mengobrak-abrik isi kamar juga gudangnya. Ia rasa punya payung putih seperti punya Lathan. Namun bukannya dapat payung putih, justru Rachel menemukan dua payung juga sebuah jas hujan dan semuanya berwarna kuning.

"Kenapa harus kuning sih?" kesal Rachel. Pintu gudang dibuka dengan tiba-tiba, membuat Rachel menoleh spontan.

"Uhh, Helly lagi apa?" tanya May- ibunya.

"Ma, berhenti panggil aku dengan nama menjijikan itu." May terkekeh melihat putrinya yang kesal.

"Helly lagi cari payung, Ma!" Rachel kini kesal pada dirinya, "arghh! Kenapa sih harus nyebut nama itu!"

Mamanya semakin terkekeh, "itu kamu udah nemu payung plus jas hujan." Mama menyentuh payung kuning cukup berdebu.

"Bukan payung gitu Ma, tapi payung putih. Rachel ilangin payung punya temen, warnanya putih," jelas Rachel terlihat frustrasi.

Mama berpikir sejenak, "kamu bilang aja temen kamu kalo payungnya hilang, ganti deh pake dua payung warna kuning." Mama tersenyum di akhir kalimat, dengan enggan Rachel mengambil payung di tangan mamanya, juga jas hujan.

Kenapa masalah payung saja bisa seribet ini?

Enggak ribet sih, Rachel hanya ingin mengembalikan payungnya dan mencari masalah baru pada Lathan, untuk apalagi jika dirinya yang kepo. Kepo tentang siapa itu Lathan dan apa ada hubungannya dengan kasus kematian Ralin?

***

Minggu pagi, Rachel memutuskan untuk jogging sekitaran komplek pagi ini. Ia mengenakan training dan juga kaus coklat muda. Tak lupa bandananya ia kenakan.

Ini minggu pagi, ya pagi. Atau mungkin terlalu pagi. Karena orang-orang belum ada yang keluar rumah, bahkan mataharipun belum terbit. Tapi ini kebiasaan Rachel, dia akan jogging pada pukul lima sampai matahari terbit.

Rachel menyusuri rumah sekitaran kompleknya, hingga ia berhenti pada rumah berpagar merah muda. Rumah Ralin. Biasanya, Rachel akan berteriak-teriak memanggil Ralin untuk jogging bareng. Namun kali ini tidak, ia hanya diam beberapa saat kemudian melanjutkan jogging.

Tukang bubur menyapanya dan Rachel tersenyum menghampiri. "Gak naek haji Bang?" tanya Rachel diiringi kekehan.

Tukang bubur itu tertawa, "Temen cantik yang satu laginya mana?" tanya tukang bubur itu. Raut wajah Rachel berubah drastis, ia tidak menjawab, hanya meneruskan berlari setelah tersenyum simpul.

Di taman komplek, Rachel duduk di salah satu bangku panjang. Ia melihat kolam ikan di depannya, menunggu matahari semakin meninggi.

Satu tetes cairan bening berhasil jatuh di pipi gadis itu. Ia bertanya-tanya apa yang terjadi pada Ralin sampai gadis itu memutuskan untuk mengakhiri hidup? Padahal yang Rachel tau, Ralin adalah sosok yang kuat dan cerdas.

Rachel masih ingat bagaimana wajah gadis yang tersenyum dengan tali yang mengikat lehernya. Ralin yang pucat hampir membiru namun wajahnya tersenyum seolah puas. Yang membuat Rachel tidak yakin bahwa Ralin bunuh diri ialah, di sana tidak ada apa-apa yang bisa dijadikan pijakan. Tapi jika ada orang yang sengaja menjadikan kematian itu seolah bunuh diri, kenapa ruang kesenian itu terkunci dari dalam?

Pikiran Rachel terintrupsi ketika Rachel sadar bahwa matahari sudah terbit cukup menyengat dan yang membuatnya semakin sadar adalah ketika sebuah siluet menghalanginya untuk mendapat paparan sinar matahari secara langsung.

Lathan duduk di samping gadis itu, dia mengenakan kaus putih polos juga celana olahraga. Handuk kecil tersampir di lehernya dan kini sekarang dia sedang minum, yang ada manis-manisnya gitu.

"Rumah lo daerah sini?" tanya Rachel tanpa menoleh.

Lathan menatapnya, "menurut lo?"

"Menurut gue, rumah lo bukan daerah sini, terus lo lari sampe daerah sini cuma buat nemuin gue," ucap Rachel tersenyum di akhir kalimatnya.

Lathan menggeleng, "sinting!" cibir Lathan kemudian kembali beranjak, meneruskan olahraganya.

"Kak Lathan!" Panggil Rachel yang ikut-ikutan berlari di samping Lathan, namun lari kecil Rachel itu sambil mundur, jadilah mereka berhadapan sekarang. "Lo kenal Ralin?" tanya Rachel langsung.

Lathan berhenti dan Rachel ikut berhenti, "kenapa?" tanya Lathan melanjutkan larinya.

Rachel mengikuti sambil masih mundur, "kenapa ya? Gak tau tuh kenapa, pengen aja nanya."

Lathan menatap Rachel yang terus berjalan mundur, bisa Lathan pastikan beberapa detik lagi punggung cewek itu akan menabrak tembok.

Brukk!

"Awhh!" Ringis Rachel mengusap punggungnya. Lathan berhenti lari tepat ketika Rachel meringis. Lathan menatap manik mata gadis itu dalam sambil terus mendekat dan kini sebelah tangannya mengunci pada tembok hingga Rachel tidak memiliki ruang untuk bergerak.

Rachel kira ia salah pertanyaan, tatapannya masih saja melubangi kepala Rachel, meruntuhkan pertahanan hingga Rachel tidak bisa menatapnya lama-lama.

"Gue sempet kenal!" ucap Lathan dengan penuh penekanan, kemudian pergi meninggalkan Rachel yang sepertinya masih mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Lathan.

Namun, Rachel merasakan ada hal lain saat Lathan berucap demikian. Tersirat luka, cukup dalam dan kini, Rachel memegangi dadanya yang terasa bergemuruh.

Pipi gadis itu juga memanas, Rachel tidak pernah sedekat itu dengan cowok, termasuk dengan Sena atau ayahnya, tapi Rachel lupa bahwa dirinya tidak punya ayah. Mungkin ada, tapi sepertinya Rachel tidak mau.

TBC..

Halo, gimana kabarnya hari ini?
Boleh Bella sedikit minta senyumnya?
Ternyata, hari-hari itu semakin hari semakin berat ya?

Tapi, Bella kasih tepuk tangan buat kamu, yang masih sempat bersyukur meskipun dalam keadaan sulit.

Percaya deh, sebentar lagi kamu bakal temuin bahagianya kamu. Sedikit aja sabar lagi.

Mungkin enggak hari ini, atau besok. Tapi suatu hari, pasti kamu bisa temuin bahagianya kamu.

Kamu orang yang kuat, karena masih bertahan sampai di titik ini.

Jangan berhenti, ya? Bahagiamu sedikit lagi.


BellaAnjni
Author jahat yang harus semangat dong!

Bandung, Februari 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro