Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Not in Wonderland | 35

A/n: sedikit bersyair, bukan berquote hehehehehe.

Ohiya, lagi puasa, bulan ramadhan. Jangan pada marah-marah ya seyeng.

JANGAN PADA MARAH-MARAH! AWAS AJA KALO MARAH-MARAH DI CHAPTER INI.

Hehehehe.

Chapter 35

Bolehkah aku bersuara?

Memang, aku terlalu minim kosa kata, terlebih buta aksara.

Lakumu tetap sama, namun tetap ada janggal yang berbeda.

Harapku cemas bertanya-tanya, apa hati tuan sudah berpuan?

Dengarlah,

Perihal mengejar rasa yang tidak tepat waktu, membuat resah.

Mencoba mencerca pada sang dewa yang terlambat menancapkan panah,

Atau bergulat pada pemikiran yang tak tentu arah.

Terlambatku jadikan sesal.

Biar sesalku sembunyi, jadikan pelajaran.

Daripada mengejar Tuan yang hampir berpuan, lebih baik aku dengarkan nasihat kuno,

Ada pepatah,  bahwa seorang akan patah pada saat lelah.

Mungkinkah tuan lelah? Lantas patah? Tak apa, sudahi saja. Tuan boleh menyerah. Tapi tolong, jangan pernah berubah.

🎼

Senin pagi, upacara, panas, sambutan panjang dari pembina, lengkap sudah komponen hari senin ini. Rachel berada pada barisan murid pelanggaran. Kaus kaki yang ia gunakan berwarna abu-abu. Ujian sudah berlalu sampai hari kamis minggu kemarin namun kelas 12 masih diwajibkan ke sekolah.

Rachel mengedarkan pandangannya, sudah satu minggu penuh ia tidak bertemu Lathan. Mereka hanya bertukar pesan singkat, bahkan ketika ujian telah berakhir. Katanya, Lathan demam. Namun saat Rachel akan menemuinya di rumah, Lathan selalu saja membuat alasan. Ada yang aneh akhir-akhir ini.

Amanat dari pembina upacara selesai, rentetan acara yang biasa ada dalam upacarapun semuanya selesai. Semua murid dibubarkan kecuali pada barisan pelanggaran. Rachel menatap para anggota polisi keamanan sekolah yang mencatat nama murid pelanggar aturan, setelahnya, mereka dihukum mengelilingi lapangan sebanyak sepuluh putaran.

Apa tidak bisa hukuman lain saja? Rachel membenarkan posisi topinya.

Gadis itu berlari, bersama sekitar dua puluh orang lain yang sama-sama melanggar. Sebenarnya, setelah bertapa di rumah selama satu minggu karena kelas 12 ujian, Rachel banyak mencari informasi. Lebih tepatnya berpikir. Rencananya hari ini Rachel akan menghubungi ruang bimbingan konseling.

Bukan untuk dirinya, tapi lagi-lagi mengenai kasus Ralin. Rachel sudah memiliki sedikit titik terang yang menurutnya masuk akal. Meskipun sampai saat ini masih banyak yang buram.

Pertama, Ralin selalu bilang bahwa ada seorang yang disebut awal. Seorang yang beku, Awalnya Rachel berpikir itu adalah Keenan, karena jelas, Keenan sangat beku terhadap siapapun meski wajahnya itu kalem.

Tapi lama-lama, Lathan sangat mencurigakan. Apalagi akhir-akhir ini, pesan yang dibalas singkat membuat Rachel berpikir bahwa Lathan benar-benar beku. Namun jika boleh, Rachel tidak mau Lathan terlibat apapun.

Rachel baru sadar sekarang, ketika pertama kali bertemu, Lathan bilang ia juga akan mengubah nilai seni budayanya namun ternyata ada yang janggal dari ucapannya tersebut. Lathan adalah siswa tingkat akhir, tidak membutuhkan nilai untuk naik kelas karena semua murid di SMA Araswara terjamin lulus tepat waktu.

Jadi sebenarnya, untuk apa Lathan pergi malam-malam menuju ruang musik?

Lathan juga sempat meminta maaf pada Ralin, sampai sekarang Rachel tidak tahu alasannya. Lalu, Lathan bisa membuka loker Ralin yang jelas-jelas menggunakan kombinasi untuk membukanya. Dalam artian, Lathan adalah orang yang sangat dekat dengan Ralin.

Tapi, bukan Awal ini yang jadi masalahnya, yang membuat Ralin membuat keputusan adalah Akhir. Akhir sering meneror Ralin dengan musik-musik yang dapat membuat mental merosot. Ketika Rachel mencari tahu lagu-lagu yang dikirimkan akhir, ternyata itu adalah beberapa lagu yang sempat menjadi konspirasi. Bahkan, ada yang membuat para remaja menjadi melakukan tindakan bunuh diri seusai mendengar lagu-lagu tersebut.

Jika benar Ralin memiliki sindrom yang sama dengannya, maka itu akan sangat membahayakan. Apalagi saat dalam kondisi tertekan. Jika Rachel saja hampir menghilangkan nyawa karena memiliki sindrom tersebut dan merasa tertekan, padahal tanpa dapat teror berupa lagu yang merusak mental, bagaimana dengan Ralin?

Ralin sedang merasa tertekan, kemudian memiliki sindrom Alice in Wonderland, ditambah dapat teror dan mendengar lagu-lagu tersebut? Sudahlah, keinginan untuk pergi menghilang dari dunia tidak bisa ditahan lagi, apalagi jika tidak memiliki seseorang untuk dijadikan alasan.

Rachel terus menerus berpikir tentang Akhir. 

Akhir, Akhir, Akhir.

Kemudian hari itu, saat masih berpikir keras dirinya menegang seketika.

Ralin bunuh diri ketika bulan Mei. Lalu, apa bulan terakhir sebelum bulan Mei?

***
Rachel mengipaskan tangannya saat hukuman selesai dijalankan. Pemikirannya bahwa Akhir itu April semakin diperkuat.

Katanya, April terlalu terobsesi pada Sena. Dulu juga April memarahi Ralin terang-terangan ketika Sena mengantarkan Ralin pulang.

Dan yang paling menguatkan Rachel adalah, buku kimia Ralin yang tiba-tiba saja ada di panti. Rachel tidak tahu bagaimana caranya tapi yang jelas, sejauh ini dugaanya kuat.

Rachel menyusuri koridor, berniat menuju kelasnya. Namun, baru saja akan menaiki anak tangga, bel istirahat pertama berbunyi. Tanggung lelah, Rachel membelokkan tubuhnya menuju kantin. Ternyata upacara dan menjalankan hukuman bisa melewati tiga jam pelajaran.

Kantin ramai, mata Rachel menyapu seluruh area kantin dan berhenti tepat ketika melihat cowok itu. Lathan sedang memilih-milih es krim sepertinya. Dengan langkah cepat Rachel menuju keberadaan cowok itu.

"Katanya lagi demam, kok pilih-pilih es krim?" tanya Rachel membuat Lathan menoleh, Lathan hanya menatapnya sebentar kemudian kembali memilih es krim dan mengambil salah satunya.

"Buat gue?" tanya Rachel antusias, lagi-lagi cowok itu tidak berucap apapun dan Rachel mulai kesal.

"Misi dong! Pacaran gak usah di sekolah bisa kali!" lengking Clary memisahkan jarak Lathan juga Rachel. "Eh yang ini enak gak?" tanya Clary pada salah satu temannya.

Rachel melihat Lathan membayar sebuah es krim kemudian menepuk bahu Clary, "Ini aja, buat lo." Ujar Lathan datar kemudian pergi dari tempat itu.

Baik Rachel maupun Clary tidak percaya dengan apa yang dilakukan cowok itu. Clary berteriak kegirangan sementara Rachel menganga tak percaya. Ia merasakan sesak di dadanya, sedikit sakit seperti teriris sesuatu.

Gadis itu menyusul langkah Lathan yang kemudian terhenti di depan ruang jurnalistik. "Lathan! Lo kenapa sih?" tanya Rachel yang berjarak sekitar lima meter.

"Kenapa?" tanya cowok itu datar.

"Lo balas dendam ya? Waktu itu gue jalan sama Bidi? Sumpah gue gak jalan sama dia. Gue kebetulan ketemu dan ternyata Bidi bisa nolongin urusan gue," jelas Rachel, Lathan hanya menatapnya tanpa ekspresi.

"Enggak tuh, gue biasa aja. Gue lupa kalo gue lagi demam, tanggung bayar yaudah gue kasih Clary, kenapa?"

"Kan masih ada gue," ujar Rachel pelan, ia cukup sakit hati.

Lathan mengangguk, "Lo mau es krim? Ya udah, tinggal beli."

Rachel menggeleng cepat, "Enggak," ujarnya singkat. Rachel ingin menangis namun ia tidak bisa menangis di depan orang yang membuatnya ingin menangis. Entahlah, hari ini mungkin Rachel cengeng, tapi sungguh perbuatan Lathan yang seperti itu membuat hatinya sakit.

Gadis itu berbalik, meninggalkan Lathan yang masih berdiri di ambang pintu.

Mood Lathan sangat sedang tidak baik dari seminggu kemarin. Lathan tahu Rachel sedang bersama Bidi dari Bintang. Lathan hanya merasa tidak suka, karena ia tahu bahwa Bidi memiliki perasaan pada Rachel.

Yang membuat perasaannya semakin buruk adalah ketika Bintang menemuinya.
Sore itu, selepas ujian terakhir selesai dilaksanakan. Bintang datang membawa sebuah kabar. Kabar yang tak seharusnya Lathan dengar, kabar yang harusnya sudah terlupakan.

"Than, gue rasa lo terlibat," ujar Bintang serius.

***

Jumat, 10 Mei 2019

"Ada yang pengen aku omongin, Than." Ralin duduk di bangku taman komplek kala itu.

"Serius amat," ujar Lathan terkekeh, menatap perempuan di sampingnya.

Ralin mendesah pelan, "Aku mau jujur, aku lagi banyak beban. Bakal ada satu keputusan yang aku ambil. Tapi aku mau mengabadikan kamu  di dalamnya. Menurut kamu, aku ambil jangan keputusan itu?" tanya Ralin  tidak mengalihkan tatapannya.

Lathan berpikir sejenak, "Kalau menurut kamu itu baik, ya ambil aja. Emang apa sih?"

Ralin hanya tersenyum tipis, "Makasih ya, kamu satu-satunya orang yang selalu buat  ketawa, Than. Aku gak tahu harus berterima kasih seperti apa."

"Gampang," Lathan berdehem pelan. "Jadi pacar Lathan ya?"

Lathan masih ingat betul ekspresi Ralin saat itu. Gugup. Namun Lathan terkekeh.

"Bercanda, Ralin! Aku tahu hati kamu buat siapa, aku gak mungkin maksain cewek yang gak nyimpen perasaan sama aku buat jadi pacar." Lathan mengacak rambut Ralin, kemudian matanya menerawang menatap langit.

"Ada yang selalu bikin aku takut, Than. Aku kayaknya gak bakal pegang ponsel lagi. Mama sama Papa juga bertengkar terus, pecah lama-lama kepala aku kalau terus di rumah. Tapi tetep, yang disalahin aku lagi-aku lagi, padahal mereka berantem gara-gara Papa bangkrut. Kata Papa, papa bangkrut gara-gara biaya hidup aku sama mama besar. Aku gak diizinin les piano lagi bahkan aku disuruh berhenti sekolah." Ralin memejamkan matanya.

"Mereka gak tahu kalau diluar pun aku lagi tertekan, tapi aku sayang mereka. Aku cuma gak mau jadi beban."

Lathan merangkul bahu gadis itu, "Kamu gak sendiri, Lin, dan kamu bukan beban."

"Oh iya, ngomong-ngomong, dugaan aku benar tau, Than. Bidi tuh suka sama Rachel. Kemarin aku baca surat yang ada di meja Rachel. Dari amplopnya bisa aku lihat jelas kalau itu tulisan Bidi. Aku lancang, aku harus minta maaf sama Rachel. Aku buka isinya, ternyata Bidi nyatain perasaan di surat itu. Tapi, surat itu aku simpen lagi di kolong meja Bidi. Bukan apa-apa, aku cuma takut Bidi sakit hati kalau ditolak langsung sama Rachel, seenggaknya kalau Rachel tetap gak tahu perasaan Bidi, mereka masih bisa temenan deket.

"Aku suka liat dia ketawa, meskipun bukan aku penyebabnya. Tapi, kalau liat dia sedih, kayaknya gak sanggup, hehe." Ralin menoleh pada Lathan yang hanya diam.

"Bidi sukanya sama Rachel? Emang yang mana sih Rachel tuh, Lin? Aku jadi penasaran, kayak apa cewek yang bisa buat pangeran kamu jatuh cinta," ungkap Lathan jelas penasaran.

Ralin terkekeh, "Nanti kamu juga tahu, aku yakin kamu juga bakalan naksir sama dia. Aku sih gak masalah Bidi naksir siapa, yang penting dia bahagia, Than."

Seperti itulah Ralin, selalu mengutamakan kebahagiaan orang lain, yang tanpa sadar terus-menerus melukai dirinya sendiri.

Petang itu, adalah terakhir kali Lathan benar-benar bicara dengan Ralin. Jika tahu akan menjadi momen yang terakhir kali, mungkin dulu Lathan tidak akan membiarkan gadis itu pergi dari sampingnya, barang sedetik.

Sabtu, 11 Mei 2019 (Hari pertama Ralin hilang)

Sore ini terasa berbeda. Feyca tidur di kasur miliknya dan sempat mengigau beberapa kali. Lathan menyentuh dahi Feyca yang terasa sangat panas.

"Fey, bangun. Makan dulu ya?" Lathan menepuk pipi Feyca, khawatir karena anak itu tidak mau makan dari kemarin dan hari ini sudah sore.

Feyca membuka matanya, "Fey pusing Bang, Fey mau ke Papa," ujarnya kemudian setetes air mata langsung lolos dari sudut matanya.

Mario sedang berada di Jakarta karena urusan bisnis dari minggu lalu. Dari kemarin Feyca ingin menemui Mario sampai tidak mau makan, padahal ayahnya itu sudah menelepon bahwa akan pulang minggu depan.

Lathan merasa kasihan melihat Feyca, cowok itu melirik arlojinya. "Ya udah, sekarang kita ke Papa, ya? Tapi Fey harus makan dulu," bujuk Lathan yang dihadiahi anggukan oleh Feyca.

16.00

Ralin Zaran

Than, bisa temui aku? Aku lagi ada di sekolah, di tempat biasa. Aku gak tahu harus minta tolong siapa lagi.

Lathan membaca rentetan kalimat yang tertera di layar ponselnya sementara ia sudah berada di dalam mobil bersama Feyca. Adiknya itu demam, Feyca sangat rewel hari ini. Feyca juga tidak mau minum obat kecuali jika Mario yang menyuapinya.

"Fey, boleh Abang mampir sebentar ke tempat lain?" Lathan memasukkan parsneling dan mengeluarkan mobil dari bengkel.

Feyca menatapnya galak sekaligus sendu, "Abang, boleh Fey nolak?" anak perempuan itu mengerucutkan bibirnya kemudian berkaca-kaca.

Semenjak kembalinya Mario ke rumah, Feyca menjadi sangat ceria. Dan anak itu tidak bisa ditinggalkan lama-lama. Mungkin trauma, karena dulu sempat berpisah lama. Dan mungkin Feyca tidak ingin merasakan bagaimana kehilangan ayahnya lagi.

Lathan mengembuskan napasnya pelan, kemudian mengetikkan sesuatu pada ponselnya.

Maaf  Lin, aku ada urusan yang gak bisa ditinggal.

Nanti kalau udah selesai, kita ketemu ya.

Maaf.

Lathan memasukkan ponselnya ke dalam saku. Hanya sekitar empat jam mereka berada di  perjalanan. Namun, dua jam setelah menginjak ibu kota, Lathan sedikit kesulitan mencari apartemen yang ditinggali Mario, ditambah kondisi ibu kota yang macet meskipun waktu menunjukkan pukul sembilan malam.

Pukul sepuluh lewat barulah mereka sampai di apartemen yang dimaksud. Feyca girang bukan main. Saat bertemu Mario barulah Feyca mau minum obat dan makan banyak. Sebuah kelegaan hadir di dada Lathan.

Cowok itu merogoh ponselnya. Pesan yang ia kirimkan pada Ralin hanya dibaca saja. Lathan kelelahan, jadi saat itu, ia tidur dengan cepat.

Minggu, 12 Mei 2019

Ralin tidak membalas pesannya dan itu bukan hal yang wajar. Pukul sembilan pagi perasaannya tidak enak. Ia mengajak Feyca pulang dengan dalih bahwa anak itu harus sekolah esok hari. Namun Feyca tidak mau buru-buru, Mariopun menyuruh Lathan untuk tinggal lebih lama, entah itu satu atau dua hari lagi.

Tapi Lathan bilang bahwa akan ada try out untuk kelas 12. Jadi Mario mengizinkan mereka pulang lebih cepat.

Seharian Feyca bermain, belanja, makan, berenang atau menghabiskan waktu dengan kegiatan apapun bersama Mario. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore dan mereka baru bersiap untuk pulang. Bisa dilihat bahwa Feyca cukup berat untuk kembali pulang dan berpisah dengan ayahnya. Namun apa boleh buat, toh Mario pulang minggu depan.

Perjalanan lebih cepat, mereka sampai di Bandung pukul setengah sepuluh. Setelah sampai rumah, Lathan langsung mengendarai mobilnya menuju kediaman Ralin.

Bi Tina keluar saat Lathan menekan bel. "Ralin ada, Bi?" tanya Lathan tanpa basa basi.

Wajah Bi Tina berekspresi cemas. "Dari kemarin gak pulang, Mas. Gak bilang juga mau ke mana," ujarnya.

Lathan berterima kasih kemudian pamit. Cowok itu mengelilingi kota, mencari keberadaan Ralin pada tempat-tempat yang mungkin saja dikunjungi gadis itu. Namun nihil, waktu menunjukkan pukul setengah dua dini hari tapi Lathan belum juga menemukan keberadaannya.

Panggilannya tidak diangkat oleh Ralin. Ragu, Lathan memutar balik arah mobilnya menuju sekolah. Di pos jaga ada Pak Fatan, pembimbing ekstrakulikuler Polisi Keamanan Sekolah. Lathan mengambil kamera yang selalu berada pada mobil bagian belakangnya, kemudian beralasan untuk mengambil file dokumen yang harus ia cetak esok pagi.

Membohongi Pak Fathan tidaklah mudah, pria itu bahkan berniat mengantar Lathan sampai ruang jurnalistik. Tapi belum juga sampai, mereka menemukan dua orang tengah membuka pintu ruang musik dengan mencurigakan.

Saat itulah pertemuan itu terjadi ...

***
TBC ...

2250 KATA.

BIASANYA AKU PELIT TAPI KARENA INI HARI PERTAMA PUASA, AKU MAU SEDEKAH BIAR BERKAH.

AHAHHAHAHHAHAHA

UDAH AH. DADAH.

NANTI TERAKHIRAN AKU SHARING SESUATU.

follow instagram aku; bellaanjni

Salam, Bellaanjni.

Author jahat yang lagi krubuk krubuk, hehehehe.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro