Not in Wonderland | 33
C h a p t e r 3 3
Desiran ombak pantai yang menghapus jejak pada tepinya sedikit mengajarkanku, bahwa; yang membekas pun akan hilang terbawa arus waktu dan tergantikan oleh yang baru.
🎼
Deburan ombak mengisi indra pendengaran Rachel ketika sampai. Anak-anak langsung berhamburan, menjejakkan kaki telanjangnya pada pasir putih yang terhampar luas meskipun Bu Tia – wanita paruh baya yang menjaga panti itu berteriak agar anak-anak beristirahat dulu pada rumah yang mereka sewa di dekat pantai.
Ini bukan masa liburan, jadi pantai tidak terlalu ramai. Rachel memejamkan mata, membiarkan sinar matahari menghangatkannya.
Jika dipikir-pikir, sudah cukup lama ia tidak jogging, menunggu matahari terbit seperti biasanya.
Rachel tahu, sekarang ia sendiri, dalam artian tidak punya siapa-siapa lagi. Ia tidak tahu harus berbuat apa kedepannya. Rachel juga merasa dirinya kosong, mungkin gue belum terbiasa.
“Ngelamun terus, mikirin apa sih?”
Rachel sedikit tersentak, kemudian melihat Bintang yang sudah duduk di samping kirinya.
“Maunya mikirin siapa?” tanya Rachel sedikit terkekeh di akhir kalimatnya.
Bintang terlihat menimang, “Maunya mikirin gue, tapi nanti Si Boss ngamuk,” guraunya.
Rachel tersenyum semakin lebar, kemudian matanya dihalangi oleh tangan seorang yang kini ikut duduk di samping kanannya.
“Jangan ngobrol sama buaya,” ujarnya datar membuat Bintang terkekeh puas.
Gadis itu menoleh melihat Lathan.
Sadar posisi, Bintang bangkit. “Besok-besok gue beneran cari cewek deh!” Cowok itu mengedarkan pandangannya, “Nan...! Keenan..! Panas hati Bintang Nan!” teriaknya membuat Rachel tertawa puas, sementara Keenan bergidik ngeri.
Seharian Rachel tertawa, seperti melepaskan beban. Senyumnya tidak bisa ia sembunyikan ketika melihat anak-anak lain juga tertawa. Dalam hati, Rachel berterima kasih pada Lathan karena sudah membawanya untuk bertemu mereka.
Gadis itu sibuk, anak-anak memperebutkan dirinya untuk bermain. Jadi, Rachel belum mengucapkan rasa terima kasih itu. Lathan juga sama sibuknya, dan sekarang Rachel melihat cowok itu sedang bermain tembak-tembakan bersama sekitar tujuh anak laki-laki.
“Kak, itu kenapa?” tanya Lisa, gadis berumur sekitar sepuluh tahun yang harus kehilangan tangan kirijya karena sebuah kecelakaan itu menatap lengan Rachel yang jaketnya tersingkap. Cepat-cepat Rachel membenarkan posisi lengan jaketnya.
“Lisa mau kue?” tanya Rachel mengalihkan pembicaraan.
Gadis itu mengangguk, mengambil kue yang disodorkan Rachel. “Kak Rachel jatoh sampai luka-luka gitu?” tanyanya lagi, jelas penasaran.
Rachel hanya tersenyum, tidak mengiyakan.
“Dulu Lisa juga punya dua, tapi yang satu diambil Tuhan. Soalnya, katanya waktu itu Lisa bandel, jadi Tuhan ambil tangan kiri Lisa. Kak Rachel jangan bandel ya..!” Lisa tersenyum, memamerkan giginya.
Yang dirasakan Rachel sekarang hanyalah sesak, matanya sudah berkaca-kaca. Rachel memeluk gadis itu, “Iya, Kak Rachel gak akan bandel kok, makasih ya!”
Rachel tidak tahu, jika banyak orang yang terlihat baik-baik saja justru memendam sangat banyak beban.
Dari Lisa, Rachel belajar bahwa dirinya justru harus banyak bersyukur. Ia masih memiliki rumah nyaman, ia masih sempat merasakan enaknya masakan Mama, ia tidak harus berbagi tempat tidur dengan siapapun.
Petang itu datang sangat cepat. Ucapan Lisa tadi membuatnya banyak merenung. Hampir semua anak-anak memasuki rumah, namun Rachel masih enggan. Ia menatap ombak tenang yang sesekali memecah bebatuan besar.
Bukan jingga seperti biasa yang ia lihat di langit, melainkan aurora. Perpaduan warna ungu biru dan merah muda itu membuatnya sedikit tenang. Rachel menunduk, setetes air mata berhasil lolos di pipinya.
“Kenapa?”
Bisa Rachel rasakan sebuah tangan kini mengusap punggungnya. Rachel mendongak melihat sebuah sabit yang tercetak jelas di bibir Lathan.
“Lo gak usah takut,” ujar Lathan namun Rachel menggeleng.
Gadis itu menunduk, menyentuhkan dahinya pada dada bidang cowok itu.
“Makasih,” ujar Rachel parau, sementara Lathan mengerutkan kening.
“Iya, sama-sama,” balasnya tidak bertanya lebih. Lathan mengusap puncak kepala gadis itu, membiarkan Rachel menangis dalam pelukannya tanpa tahu sebabnya apa.
“Makasih juga ya!” ucap Lathan membuat Rachel mengurai pelukannya.
“Makasih buat apa?” tanya Rachel bingung.
Mereka duduk di atas pasir secara berhadapan, membuat Rachel bisa dengan jelas membaca ekspresi cowok itu.
“Hari ini lo udah ketawa banyak, lo jauh lebih cantik kalau kayak gitu, Hel.” Lathan berucap jujur.
Rachel memutar bola matanya, “Gombal!” ia menunduk, pipinya pasti bersemu.
“Jadi, lebih suka mana? Es krim? Mi ayam Pak Ro, Roti lapis keju, atau gue?” bisik Lathan ketika merah di pipi Rachel belum hilang.
“Ih..! Lathan!” Wajah Rachel semakin merah, ia malu. Apa Lathan membaca kertas-kertas itu?
***
Rachel tidak memiliki baju ganti. Jadi, ia mengenakan pakaian yang dibawa April untuk bermalam. Jam menunjukkan pukul setengah sebelas, semua anak-anak panti sudah terlelap, termasuk April yang kini satu kamar dengannya.
Gadis itu sedikit lebih tenang. Benar kata Lathan, bahwa ia hanya berada dalam hari yang buruk, bukan kehidupan yang buruk. Rachel melihat lengannya yang terdapat banyak luka mengering, mengusapnya pelan. Ia kemudian teringat pada buku yang ia ambil di atas meja panti.
Pelan-pelan Rachel meraih tasnya, mengambil buku tersebut. Halaman pertama yang ia buka hanyalah catatan kimia biasa. Lalu halaman berikutnya berisi tentang cairan, benda yang mencair, ketinggian.
Perasaan gak pernah belajar yang kayak gini, batin Rachel.
Gadis itu terus membuka lembaran demi lembaran kemudian ada satu yang membuatnya merinding. Ralin beberapa kali menggambar sebuah simpul. mencoretnya, menggambar simpul yang lain.
Rachel membuka halamannya lagi, dan menemukan nomor ponsel seseorang. Cepat-cepat Rachel mengetikkan nomor ponsel tersebut pada ponselnya kemudian dengan ragu menekan tombol hijau, panggilan.
Beberapa kali terdengar nada sambung namun tidak ada yang menjawab. Rachel memutuskan panggilan. Jika dilihat, nomor itu seperti bukan nomor telepon biasa, lebih seperti nomor telepon kantor atau sesuatu yang formal karena berawalan 022.
Jaman sekarang mana ada orang biasa pake nomor es*ia, Rachel terkekeh kecil.
Ia mengetikkan nomor tersebut pada aplikasi pencarian, google. Yang keluar adalah sebuah toko minuman ringan dan eskrim yang tak jauh dari tempat sekolahnya. Mungkin Ralin waktu ngegambar tali simpul haus, terus delivery minum, batinnya lagi.
Jika dipikir-pikir, Rachel sekarang haus. Sejak sore ia belum minum. Gadis itu beranjak, pergi ke ruang televisi karena di sana disediakan minuman kemasan. Ternyata Lathan, Bintang dan Keenan belum tidur, mereka bermain game dan saling mengumpat.
“Belum tidur?” tanya Rachel mengambil salah satu air mineral.
Bintang yang pertama menoleh, “Ini gue lagi tidur ini, gak kelihatan ya?”
Rachel mencebik, pertanyaannya memang bodoh, jelas-jelas mereka tidak tidur.
“Kalau mau yang dingin, di kulkas ada es batu!” ujar Keenan sedikit membuat langkah Rachel terhenti.
“Dia gak usah dikasih es batu, Si Boss lebih dingin! Uh...!” ujar Bintang berlebihan, yang langsung mendapat timpukan bantal.
Rachel menoleh, Es batu? Sepertinya Rachel teringat sesuatu.
Gadis itu kembali melangkahkan kakinya memasuki kamar. Kemudian berhenti lagi tepat di depan buku bersampul coklat itu.
Es batu? Ralin? Toko minuman dingin dan es krim?
Genangan air? Hanya ada genangan air?
Rachel mengambil buku itu, melihat halaman berikutnya dengan cepat dan menemukan sebuah catatan.
“Aku memulai semuanya, menjadikan dia awal. Ia beku, namun lama-lama menghangat, ia luluh dan mencair. Ia kujadikan pijakan atas keputusan, ia awal, ia beku.”
***
TBC...
Halo, apa kabar? Lama tak bersapa.
Bagaimana keadaanmu terakhir kali? Aku lupa, maaf.
Baik-baik saja kah?
Kamu tahu? Ada banyak yang ingin disampaikan. Aku harap kamu tidak bosan membaca deretan tulisan yang sedikit melelahkan ini.
Pertama, terima kasih.
Untuk waktu yang kamu sisihkan, untuk menjadi bahu bagi orang lain yang membutuhkan.
Untuk lelah yang tak kamu hiraukan, hanya untuk membuat tawa.
Untuk membiarkan, mereka dengan lidah tajamnya yang mencerca, bahkan kamu balas dengan doa, agar mereka cepat disadarkan, bukan dibalas hal yang sama.
Itu berat, sungguh.
Terima kasih.
Jika belum ada yang mengucapkan terima kasih karena hal itu, biar aku wakilkan mereka, mungkin saja mereka lupa atau... Sedikit malu.
Kamu hebat, kamu luar biasa seperti seharusnya.
Ingat saja hal ini;
Hidup bukan hanya tentang bahagia saja, banyak rasa di dalamnya.
Jika kamu tidak bahagia hari ini, kamu bisa membuatnya esok pagi.
Bahagia itu dibuat, bukan dicari.
Sekarang istirahatlah, ragamu lelah. Menghadapi semua hal itu butuh sesuatu yang kuat.
Dan kamu, sangat luar biasa telah sampai pada titik ini, di mana banyak sekali dari mereka yang berhenti.
Kamu tahu apa yang mereka bisikkan ketika memutuskan untuk berhenti?
Mereka menyesal.
Salam, Bellaanjni
Author jahat yang pengen digombalin.
Ada permintaan apa sebelum aku benar-benar pamit dari lapak ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro