Not in Wonderland | 3
🔶🔸 C h a p t e r 3 🔸🔶
Langit yang kelabu itu membawa kamu datang. Hujan yang deras itu membawa pergi, hadirmu hanya sebuah kilas, anehnya aku baru menemukan kilas yang justru dapat memberi bekas.
🎼
Sesampainya di rumah, Rachel dikejutkan oleh kedatangan tamu tidak di undang. Orang tua Ralin.
Rachel yang baru sampai di teras melihat ibunya mendekat, "Hely, udah Mama bilangin, jangan sering berkubung di lumpur kalau mau pulang," ucapnya sarkas melihat anak putri satu-satunya itu terlihat kumal.
Tanpa membiarkan Rachel protes, mamanya sudah menggiring Rachel untuk segera membersihkan diri karena ada yang ingin bertemu. Padahal, ada dua hal yang ingin Rachel protes, pertama; ia tidak main di genangan air kotor karena menurut Rachel itu tidak berguna meskipun Rachel kecil yang masih sepenuhnya tolol sering melakukannya sampai masuk angin, tapi kini semuanya sudah berubah.
Kedua, ia tidak suka dipanggil Hely, karena itu seperti nama anjing pada lagu semasa kecilnya ketika Rachel masih sering bermain air genangan hujan atau mengerjai ulat di pohon mangga.
Setelah mengeringkan rambut dengan hairdryer, Rachel baru mememui orang tua Ralin. Tampak sekali mereka berduka dan Rachel menyampaikan pesan duka juga.
"Apa yang kamu lihat di tempat itu?" tanya Mama Ralin, terlihat sedikit terguncang.
Rachel menggaruk tengkuk yang tidak gatal, "Hanya Ralin, genangan air, sebuah keyboard dan tali yang mengikat," jawab Rachel tidak berani menatap wajah Mama Ralin.
Wanita paruh baya di depannya menangis lagi, Ayah Ralin memeluknya, mengajak Mama Ralin pulang. Setelah cukup susah membujuk barulah Mama Ralin mau pulang. Ayah Ralin meminta maaf karena kehadirannya mengganggu, namun Rachel yang ketakutan masih berusaha tersenyum memaklumi.
Rachel naik ke atas kasur. Ia mengecek ponsel lantas menghubungi nomor Sena. Semasa Ralin masih ada mereka bertiga, kadang ditambah April sering nongkrong di kafe dekat sekolah. Kali ini, Rachel hanya ingin bercerita tentang orang tua Ralin yang datang ke rumahnya.
Menurut Rachel sendiri, Ralin pasti punya alasan kuat untuk mengambil keputusan, meskipun baru mengenal Ralin kurang lebih lima bulan, tapi Rachel tahu bahwa Ralin adalah seorang yang kuat, bertalenta, cantik, pintar, paket lengkap untuk dijadikan idaman.
Sena tidak mengangkat telepon ataupun membaca pesannya. Rachel kemudian membuka PR geografi yang harus ia kerjakan. Sampai jam sembilan malam, ketika PRnya sudah selesai, Rachel kembali membuka ponsel, tidak ada kabar dari Sena.
Iseng, Rachel berselancar di akun instagram miliknya. Namun, ada satu hal yang baru ia sadari, ada akun lain yang ikut masuk di ponselnya. Rachel ingat, dulu Ralin sering kali ikut membuka akun instagram di ponsel miliknya. Tanpa basa-basi, Rachel menatap nama akun yang kini sekan menggodanya untuk dijelajahi.
Zaralinaraz
Dengan tangan dinginnya, Rachel membuka akun tersebut. Siapa tau ia dapat petunjuk penyebab sahabatnya itu meninggalkan bumi.
Gue izin ya, batin Rachel membuka akun tersebut.
Akun Ralin di mode privat, banyak akun yang ingin mengikutinya namun Rachel mengabaikan itu. Ia kemudian melihat pesan, tidak banyak. Hanya ada empat pesan. Ada pesan darinya, Sena, satu orang yang tidak Rachel kenal dan sebuah akun online shop.
Rachel membuka percakapan gadis itu dengan Sena. Berisi percakapan basa-basi, seperti bertanya PR. Rachel tidak tertarik. Ia kemudian membuka sebuah pesan paling bawah dari seorang yang bernama Kaisar_Lathan.
Rachel tidak asing dengan nama tersebut, seperti pernah mendengarnya. Ia membuka pesan itu, hanya berisi tiga percakapan, cowok itu memberi Ralin nomor whatsapp, sudah.
Rachel kemudian ingat siapa itu Kaisar, orang yang disebut oleh cewek berrok pendek di toilet. Rachel mengkopi nomornya. Seperti biasa, tingkat kekepoannya meningkat drastis. Ia mengklik akun tersebut, lalu mendengus. Bagaimana bisa orang itu memberikan nomor pribadi sementara akun Ralin dengan orang itu tidak saling mengikuti. Akunnya dikunci.
Rachel kemudian mem-paste nomor tersebut pada aplikasi whatsappnya. Otomatis, kontaknya bertambah satu.
Sebuah senyum tercetak jelas di wajah Rachel. Tidak terasa, waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam.
Rachel tertarik untuk mengklik profil yang digunakan orang bernama Lathanael Kaisar itu. Sayang, keberuntungan tidak berpihak, jempolnya justru memencet tombol panggilan yang tepat berada di bawah foto profil. Rachel panik.
Jantung Rachel berdebar tidak karuan, padahal ia bisa saja menekan tombol merah namun otaknya tidak berjalan seimbang, kini ia seperti ikan yang berada di air surut, tidak bisa diam.
"Halo?"
Terdengar jelas suara bas kini di teleponnya. Rachel menepuk dahi, merasa tolol. Ia pun mengambil tindakan untuk mengangkat telepon itu, merapatkannya pada telinga.
"Maaf Kak jempol saya kebesaran, salah sambung." Jawab Rachel asal.
"Ohh.."
Rachel harap orang itu mematikan teleponnya namun ternyata tidak. Jadi, selama beberapa detik mereka hanya diam.
Sadar, Rachel segera menekan tombol merah kemudian menjauhkan ponsel tersebut, merasa ngeri. Ia mengangkat selimut tinggi-tinggi sampai leher, kemudian merasa sedikit takut. Rasanya, Rachel harus tidur dengan cepat malam ini untuk menyambut hari esok.
Beriringan dengan rasa kantuknya yang datang, ponsel Rachel kembali bergetar. Rachel terlanjur malas bergerak, jadi ia abaikan saja ponsel itu kemudian terlelap.
Di sisi lain, seorang yang kini mengenakan kaus polo berwarna hitam tersenyum simpul. Ia terus menatap layar ponselnya yang memperlihatkan foto seseorang perempuan yang tampak sangat cantik duduk di depan piano dengan balutan gaun merah elegan.
"Dimanapun kamu sekarang, aku harap kamu bahagia." Cowok itu mematikan ponsel lantas memejamkan mata. Mencoba menghadirkan kantuk sebelum rasa bersalah kembali menyeruak masuk, merobek pertahanan hingga sesak menjalar ke semua sisi. Ia berhasil mengundang malamnya, hingga ia membiarkan gelap melahapnya sampai cahaya itu menyelusup melalui celah-celah jendela.
***
Hari ke tiga setelah surat kabar disebarluaskan kemudian ditarik kembali tanpa sisa. Rachel menyusuri koridor yang sepi. Bukan karena ia datang kepagian, justru karena ia datang telat. Hampir semua kelas memasuki jam pelajaran pertama kecuali kelas yang berolahraga. Dan sekarang saat memasuki kelas, kelasnya kosong. Kelas Rachel juga berolahraga.
Dengan buru-buru Rachel mengganti pakaian di kelas. Ia membawa bandana biru dalam tasnya yang biasa ia kenakan, bersama Ralin. Rachel melirik ke sisi bangkunya, bangku tempat Ralin dulu kemudian ia tersenyum simpul.
Ada yang aneh semalam. Gadis itu merogoh ponsel kemudian mengecek ulang sebuah panggilan yang tidak ia angkat. Matanya masih sedikit terpaku pada nama yang semalam mencoba menghubunginya.
Ralin.
Rachel duduk, ia tidak takut. Hanya saja, ia sedikit bingung, apa semalam adalah sebuah keberuntungan saat ia tidak mengangkat panggilan? Atau sebuah penyesalan? Dengan ragu, Rachel menekan tombol dial berwarna hijau kemudian merapatkan benda tipis tersebut ke telinga.
Sayup-sayup terdengar suara piano. Rachel bangkit kemudian mencari sumber suara. Dan suara itu semakin jelas ketika ia mendekati loker kelas. Ya, loker milik Ralin.
Rachel mencoba membukanya dengan cara memasukan angka-angka yang bisa menjadi kemungkinan. Namun nihil, loker itu tetap terkunci. Saat Rachel memutuskan panggilan, lagu Gloomy Sunday itupun ikut berhenti.
Rachel menghela napasnya, ia kemudian bergegas menuruni tangga agar sampai di lapangan.
Pak Dugo-tidak pake 'ng', guru olahraga yang berkumis tebal itu pasti akan menghukumnya. Terbukti saat ia menyusuri lapang, Pak Dugo menatapnya tajam.
Teman-teman yang lain sedang bermain sepak bola, namun yang bermain siswi perempuan, yang cowok duduk di samping lapang sambil tertawa melihat kericuhan permainan jika perempuan yang bermain.
"Lari sepuluh keliling!" Pak Dugo berucap dengan penekanan di setiap suku katanya, belum juga Rachel menyalami Pak Dugong itu. Ralat, Pak Dugo.
Rachel mulai melangkahkan kakinya dengan malas, ia berlari tidak ada minat sama sekali. Sena memerhatikan wajah gadis yang kini ditekuk itu, tersenyum samar.
Ia beranjak dari kelompoknya, berhenti mendengarkan ocehan Bidi tentang siswi yang kini tampak menarik jika berlari mengejar bola kesana-kemari.
"Kemana lo?" Teriak Bidi tidak berhasil mengintrupsi langkah Sena. "Kantin!" balas Sena tanpa menoleh, Bidi-pun ikutan bangkit dan mengekori Sena menuju kantin.
Peluh membanjiri kening dan sebagian tubuh Rachel dengan sempurna. Ia mendongak menatap langit yang tiba-tiba saja berubah abu-abu. Heran, padahal saat ia berlari, matahari bersinar sangat terik.
Rachel masih asik memandangi langit yang kelabu ketika sebuah harum yang cukup familir menggelitik indra penciumannya. Refleks, ia menoleh pada sumber aroma itu dan tepat, manik matanya bertemu langsung dengan mata hitam milik dia- seorang berkamera.
Cowok yang memberinya payung, atau mungkin meminjamkannya. Tapi tetap, Rachel menganggap dia memberinya karena Rachel tidak merasa meminjam.
Aneh, padahal cowok itu tidak mengucap apa-apa. Tapi, rasa bersalah Rachel sedikit mencuat. Ia seperti merasa ada aura yang melingkari cowok itu, aura yang secara tidak langsung berucap 'balikin payung gue'.
Rachel menggeleng kepalanya kuat, menatap punggung yang berlalu begitu saja. Ia penasaran, kenapa waktu itu dia ada di makam. Memikirkannya sendirian tidak membuat pertanyaannya terjawab. Jadi, ia memutuskan untuk bertanya, secara halus.
Dilangkahkan kakinya secara anggun, namun ia tidak berbakat, jadi malah kelihatan jijik. Jadi, Rachel melupakan rencananya berjalan secara anggun. Untuk apa juga dia melakukannya? Lupakan.
Kini dirinya sudah berada di depan perpustakaan. Dulu, Ralin sering memaksanya memasuki perpustakaan, namun Rachel selalu menolak karena bau buku lama sering membuatnya bersin.
Di ambang pintu, Rachel melepas sepatu kemudian tersenyum ke arah penjaga perpustakaan yang tidak pernah tersenyum. Jadi Rachel memutuskan untuk mundur lagi dua langkah, mengulang masuk pintu tanpa senyum.
Tanpa Rachel sadari, Lathan yang berada di sudut ruangan lagi-lagi mendengus geli. Kenapa Rachel harus melakukan hal itu? Tapi Lathan mencoba tidak peduli karena yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah kenapa bisa gadis itu menelponnya semalam? Padahal, ia tidak pernah memberi nomor ponselnya pada siapapun kecuali orang yang sangat ia percaya.
"Duh!" Rachel sengaja menjatuhkan buku dekat Lathan. Bahkan, buku itu sedikit digeser oleh kakinya agar lebih mendekati kaki Lathan. "Bukunya jatoh, jauh lagi," gumamnya seolah pada diri sendiri.
Rachel berjongkok, melihat ke kolong meja, mencoba menggapai buku tersebut. Rachel mendongak sementara cowok itu masih acuh.
"Ahh tangan gue gak nyampe!" ucapnya lagi kini lebih keras. Rachel sedikit kesal, apa cowok itu pura-pura tidak peka atau bagaimana? Lathan membidiknya, membidik Rachel yang sedang bersusah payah merogoh bukunya yang sengaja dijatuhkan.
Karena suara kamera yang familiar, Rachel menatap semakin geram. "Apa-apaan sih lo!" ucapnya yang justru kini kesal.
Lathan mengerutkan kening, "apa?" ucapnya datar.
Rachel menyipitkan mata, kemudian membaca nametag yang tertera.
Lathanael Kaisar.
Gadis itu membulatkan matanya seketika namun Lathan justru merasa ngeri dengan perubahan ekspresi Rachel yang mendadak.
Wajah Rachel memerah, ternyata cowok yang semalam tak sengaja diteleponnya adalah orang ini.
Lathan bangkit dari duduknya kemudian meletakan bacaan yang semula ia baca pada tangan Rachel. "Nih, siapa tahu bisa membantu lo!" ucap Lathan masih dengan nada datarnya, namun terdengar mengejek.
Rachel melihat buku yang disimpan cowok itu di tangan miliknya, buku berjudul 'Modus' karya K. Agusta. Wajah Rachel semakin memerah, apa Lathan tahu kalau dirinya memang sedang modus? Tapi sumpah, semalam itu dia tidak sedang modus.
Kalau hari ini memang iya, padahal niatnya hanya ingin bertanya dengan baik-baik kenapa cowok itu berada di makam. Tapi sepertinya, Lathan tidak bisa didekati dengan cara yang baik-baik.
TBC..
Ada yang butuh cast? Atau ada saran buat cast? Komen disini!
Sejauh ini, apasih yang harus Bella perbaiki di cerita ini?
Hehe, jangan lupa bahagia!
Bellaanjni,
Author jahat yang lagi butuh nasehat.
Bandung, Februari 2019
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro