Not in Wonderland | 29
A/n: aku rindu komen nyampe 2k+
WAJIB PLAY MULMED, KALO ENGGAK AKU KUTUK KALIAN JADI KULIT AYAM KRISPI.
C h a p t e r 2 9
Tangan halus dan suci... T'lah mengangkat tubuh ini. Jiwa raga dan seluruh hidup. Rela dia berikan.
-Bunda, Melly Goeslow-
🎼
Ralin punya sindrom yang sama?
Rachel melipat kembali kertas dengan tulisan khas Ralin ke dalam buku kimia. Ia mengambil buku miliknya dan milik Ralin, memasukkannya ke dalam tas.
Gadis itu berniat membersihkan badan di rumah saja, setelah selesai ia juga mengganti pakaian dan berniat ke rumah sakit dengan cepat karena langit sudah gelap.
Tepat saat kakinya melangkah ke dalam bis, hujan turun cukup deras. Kilatan petir juga beberapa kali tertangkap penglihatan Rachel. Sekitar lima belas menit perjalanan. Rachel kemudian turun tepat di depan rumah sakit.
Hujan masih saja deras, gadis itu mengeluarkan payung berwarna kuning miliknya kemudian sedikit berlari menembus derasnya air yang turun. Rachel mengembuskan napasnya yang naik turun saat sampai pada tempat tertutup, ia juga menitipkan payung kuning miliknya di pos satpam karena basah.
Rachel menyusuri koridor kemudian tiba-tiba menahan napas ketika dari kejauhan ia melihat Lathan dengan jaket parka hitamnya berjalan mendekat. Tangan kiri cowok itu menahan ponsel di telinga. Rachel berbalik, rasanya tidak siap jika harus berpapasan dengan Lathan langsung.
Ia mendengar langkah yang semakin dekat, kemudian suara cowok itu menggema di telinganya. Entah kenapa jantung Rachel berdetak tak karuan kini. Saat cowok itu melewatinya, rasa lega sekaligus kecewa hadir. Ia menatap punggung yang semakin mengecil itu, kemudian kembali berbalik melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
Setelah cukup lama tidak melihat sosoknya, Rachel sedikit merasa kehilangan. Tidak, tidak sedikit, ia benar-benar merasa kehilangan. Kadang Rachel juga bertanya-tanya, apa Lathan merasakan hal yang sama?
Gadis itu mengembuskan napas ketika ia sampai di depan ruang yang ditempati May. Ia memegang pegangan pintu dan mendorongnya. Aroma ruangan yang sudah familiar menyeruak menyambut gadis itu. Rachel mendekat pada kasur, mengusap punggung tangan May dan langsung menuju sofa, membuka tugas kimianya.
Ada sekitar 40 soal dan Rachel cukup kesulitan di sepuluh nomor terakhir. Gadis itu berulang kali membuka catatan, entah itu pada buku lama yang sempat dipinjam Ralin ataupun buku barunya ketika ia mengira buku lama miliknya hilang.
Fokus Rachel pecah ketika mendengar sayupan suara di ruangannya. Rachel sontak melihat May dan langsung berlari menuju kasur ketika melihat tangan wanita paruh baya itu sedikit bergerak.
Rachel tahu bahwa May kini memanggilnya, meski wanita paruh baya itu hanya bergumam. "Ma.. Bangun, Rachel di sini," ucap gadis itu memegangi tangan May erat. Rachel berharap dengan cemas, setitik air mata sudah lolos dari sudut matanya.
May membuka matanya perlahan, membuat air mata Rachel kian menderas. Wanita paruh baya itu tersenyum, berusaha mengusap pipi anak gadis satu-satunya yang kini basah.
"Maafin Mama, jangan nangis, Helly." May berujar sangat pelan.
Rachel mengangguk cepat. Ia tidak bisa membendung rasa bahagianya sekarang, melihat May tersadar. "Maafin Rachel, Ma. Mama jangan pergi lagi, Rachel takut kalau Mama gak ada." Rachel memeluk May dengan rasa bahagia.
Rachel kemudian melihat May yang kembali menutup mata, wanita paruh baya itu terlihat seperti orang yang tersedak, Rachel tidak tahu kenapa tapi dirinya panik. "Ma, bangun!" Gadis itu mengguncang bahu May, namun May masih menutup mata dengan hembusan napas sangat pelan.
Rachel menekan tombol emergency kemudian kembali memeluk May. "Mama gak boleh pergi!" Tangis bahagia sebelumnya berganti dengan tangis khawatir.
Dokter Geo dan dua susternya masuk, kemudian dengan langkah cepat memeriksa keadaan May, membuat Rachel menjauh seketika.
Rachel menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakan, namun itu tidak berarti jadi Rachel membekap mulutnya sendiri.
Salah satu suster menyuruh Rachel untuk berada di luar, namun dengan keras kepala Rachel menolak. Gadis itu justru mendekat pada May, menggenggam lengan ibunya, mencoba menyalurkan kekuatan yang ia punya pada May.
"Mama kuat, Rachel tahu Mama kuat, Rachel tahu Mama pasti bisa bertahan." Rachel tidak henti-hentinya berbisik untuk menguatkan ibunya.
Dokter Geo tampak beberapa kali memancing detak May menggunakan defibrilator. Namun, tepat saat itu, terdengar suara elektrokardiograf yang melengking panjang, membuat satu ruangan hening mendadak.
Dokter Geo menghela napasnya berat kemudian memijat dahi. Ia melirik arlojinya, "Jam 7 lewat 49," ucapnya langsung dicatat oleh salah satu suster.
Rachel mematung seketika, detaknya seakan berhenti, pikirannya tidak bisa bekerja dengan baik. Gadis itu masih tidak percaya dengan apa yang di dengar dan sekarang dilihatnya, bahwa May benar-benar terbujur kaku dan meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.
Tangis Rachel pecah, ia kemudian memeluk May sangat erat. Dokter Geo mengusap punggung Rachel, "Kamu yang sabar, Tuhan tahu yang terbaik."
Kata-kata yang dilontarkan Dokter Geo sama sekali tidak membantunya sekarang. Rachel tetap menangis, memeluk May, menginginkan May kembali. "Mama gak boleh pergi! Mama jahat tinggalin Rachel sendirian! Rachel gak mau sendirian di sini! Atau, Rachel ikut sama Mama aja ya, Ma? Iya, Rachel ikut aja sama Mama!" Gadis itu bangkit, berlari kecil memutari kasur May untuk mengambil pisau di atas nakas.
Kedua suster yang berjaga langsung menahannya, namun Rachel memberontak. Rachel kini memegang pisaunya, satu suster berhasil menahan gadis itu dan suster lainnya mengambil pisau yang Rachel pegang, menjauhkannya.
"Gak usah urusin hidup gue!" teriak Rachel berusaha melepaskan diri dari suster yang menahannya.
Dokter Geo mendekat, kemudian menyuruh suster itu melepaskan Rachel. Seketika Rachel jatuh terduduk, masih dengan tangis yang tidak bisa ia hentikan.
Rachel menunduk, merasakan sakit yang menjalar sempurna pada tiap rongga di tubuhnya. Kemudian setelah itu pandangannya buram dan semuanya gelap.
Dokter Geo berhasil menyuntikkan obat bius untuk menenangkan gadis itu.
***
Aku tahu, mengambil keputusan itu bukan satu hal yang mudah.
Ketika itu, sebuah tangis tercipta. Tangis ketika aku pertama kali melihat dunia. Dan sekarang aku tahu, kenapa bayi yang terlahir pasti menangis. Dunia itu kejam, kehidupan itu pahit, bukan begitu?
Aku hanyalah salah satu dari sekian banyak pengecut yang terlahir ke dunia karena enggan menuntaskan perjalanan.
Dengan keputusan ini, aku tahu aku akan menyesal. Tapi mungkin dengan ini juga, aku tidak akan merasakan pahit kehidupan.
Untuk kamu yang menjadi awal, terima kasih karena telah memulai semuanya dengan senyuman.
Untuk kamu yang menjadi akhir, terima kasih telah mengakhiri dengan tangisan dan membuatku mengambil keputusan.
Orang itu menutup buku bersampul coklat itu, memasukkannya ke dalam tas dan membawanya pergi.
Keringat menetes di dahinya saat menutup pintu ruangan yang baru ia singgahi. Dengan motor merah besarnya ia pergi, membiarkan angin menembus tiap pori-pori. Berharap, ia amnesia terhadap masa lalu, berharap ia bisa mengulang waktu.
Karena kini hanya sesal dan sebuah rasa bersalah yang hinggap pada dirinya.
***
Rachel membuka matanya perlahan kemudian menemukan sebuah bayangan yang baru saja keluar dari tempatnya berbaring. Ia melihat sekitar, dirinya masih berada di ruangan ini. Kemudian matanya teralihkan ketika melihat kasur kosong di samping kasur yang ia tempati.
Gadis itu melangkahkan kaki turun. Mendekat ke arah jendela dan membuka tirainya. Ia bisa melihat dengan jelas bagian luar rumah sakit.
Matanya teralihkan pada sosok dengan perawakan tegap yang berjalan ke arah sebuah motor merah yang terparkir. Rachel yakin siapa sosok itu. Apa mungkin orang itu tadi menjenguknya ketika ia tidak sadar? Rachel tersenyum simpul.
Gadis itu berbalik kemudian menginjak kertas di lantai, buku kimia miliknya. Rachel mengambil buku tersebut, menyimpannya ke atas nakas, namun Rachel merasa ada sesuatu yang kurang.
***
TBC..
Karena hidup, perlu banyak rasa.
-Iklan gooday-
Siapa yang ngambil buku kimia Ralinnnnnnn?
Bellaanjni
Author jahat yang mencoba tahu diri, huahahaha.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro