Not in Wonderland | 28
A/n: Semoga, kita bertemu sampai di akhir kisah.
Chapter 28
Wish list:
-Peace of mind.
-Not in Wonderland
***
Sudah satu minggu May berada di rumah sakit. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Rachel selalu memeluk May sebelum berangkat sekolah, Rachel juga memanjatkan doa untuk kebaikan dirinya dan juga orang-orang di sekitar.
Sekitar lima belas menit perjalanan menggunakan bus dari rumah sakit ke sekolah, Rachel menyusuri koridor yang sepi seperti biasanya, bahkan ketika ia datang lebih siang.
Bukan, bukan karena di koridor itu tidak ada orang, tapi karena sekarang Rachel selalu merasa sendiri.
Ia mencoba terbiasa hidup tanpa sapaan, tanpa canda tawa, tapi diisi dengan bisikan-bisikan yang menyudutkan. Bahkan Sena dan Bidi pun hanya datang ketika ada yang dibutuhkan. Mereka mungkin percaya pada ucapan Clary tempo hari.
Bukan sepenuhnya salah Clary, lagi-lagi Rachel menyalahkan dirinya kenapa pada saat itu tidak membela diri.
Pagi-pagi dengan mata pelajaran kimia. Biasanya Rachel bersemangat, namun kali ini semangatnya meluap entah ke mana.
Bukan hanya hari ini, tapi hari-hari sebelumnya pun begitu. Dua minggu lagi akan ada ujian kenaikan, Rachel menghela napasnya berat.
Apa Lathan sudah mempersiapkan segala hal untuk menghadapi ujiannya?
Rachel menggigit bibir bawahnya, untuk apa juga dirinya memikirkan hal seperti itu.
Terakhir kali dirinya melihat Lathan ketika tidak sengaja berpapasan di rumah sakit, sisanya cowok itu hilang, bagai ditelan bumi.
Bu Gita memberi tugas yang harus dikerjakan berupa latihan soal untuk ujian, yang harus dikumpulkan dua hari lagi.
Namun Rachel tidak memiliki catatan lengkap karena catatan kimianya hilang sudah cukup lama, atau mungkin Rachel lupa menyimpannya, Rachel tidak tahu.
Gadis itu menimang, mau meminjam catatan pada siapa. Tapi sepertinya, Bidi adalah orang yang paling netral di kelas ini, entah karena ia memang seorang ketua kelas atau memang tidak terlalu peduli dengan kabar yang beredar.
Bahkan untuk melangkahkan kaki ke depan bangku Bidi pun Rachel sedikit ragu. "Bidi," panggil Rachel pelan, cowok itu menoleh, begitupun Sena yang duduk di sampingnya.
"Ya? Kenapa Hel?" tanyanya santai.
"Emm, gue mau pinjam catatan kimia lo, boleh? Besok gue balikin, punya gue gak ada."
Bidi mengangguk, mengambil buku dari kolong mejanya. "Besok ya, soalnya gue mau pake." Bidi menyerahkan buku tersebut, dan Rachel tidak bisa menyembunyikan senyumnya.
Setelah berterimakasih, Rachel kembali ke meja miliknya. Ternyata, tidak seburuk yang ia kira. Rachel tahu, dari dulu ia tidak suka tidak ditemani, dan sekarang hal itu terjadi.
Bel istirahat berbunyi nyaring, namun Rachel sama sekali tidak bergeming dari tempatnya. Ia sudah jarang ke kantin, bahkan ke toilet karena itu bisa menyebabkan mentalnya menurun.
Sebisa mungkin Rachel harus menstabilkan emosi dan memperkuat pertahanan dirinya. Ada yang aneh dalam hidupnya, karena sejak kejadian Clary berhasil membuat keributan dan menyebarkan pemikirannya yang jelas salah, orang bernama Akhir tidak pernah sekalipun menghubunginya.
Rachel jadi curiga. Apa memang ini tujuan orang bernama Akhir itu? Menumbalkan seseorang untuk disalahkan atas kematian orang lain?
Jika itu memang benar tujuannya, maka Akhir itu menang, karena tujuannya sudah tercapai. Tapi, Rachel juga menang, karena mengetahui dengan pasti bahwa memang orang bernama Akhir itulah yang menyebabkan Ralin pergi.
Hanya tinggal membuka topengnya saja, siapa orang di balik nama Akhir tersebut.
Roti yang sedaritadi Rachel pegang kini ia masukkan ke dalam mulutnya. Sudah beberapa hari belakangan Rachel hanya memakan roti, itupun ia beli dari uang tabungannya yang mungkin hanya akan cukup sampai dua minggu ke depan, sisanya Rachel harap sebuah keajaiban terjadi.
Tapi sepertinya Rachel sudah harus mencari tambahan uang. Karena biasanya, keberuntungan datang pada orang yang sabar, tapi Rachel tahu bahwa dirinya sama sekali bukan orang yang sabar.
Gadis itu mengikuti pelajaran dengan baik, semua materi masuk tanpa hambatan. Ketika bel pulang berbunyi, yang ia lakukan adalah diam, menunggu orang-orang pulang terlebih dahulu, setidaknya sampai sekolah menjadi sepi. Rachel memutuskan untuk mengerjakan tugas kimianya, agar bisa mengembalikan buku Bidi tepat waktu.
Namun, saat membuka buku milik Bidi, rasanya Rachel ingin menangis saja.
Bukan karena ia menemukan sesuatu yang aneh di dalamnya, tapi karena Rachel menemukan tulisan Bidi yang sama sekali tidak terbaca olehnya, Rachel mendengus, kemudian menuju meja Bidi untuk mengembalikan buku tersebut ke kolong mejanya.
Bertepatan saat ia memasukkan buku ke kolong meja cowok itu, sebuah kertas berwarna merah muda jatuh. Ada sebuah tanda hati di atasnya, Rachel mencoba mengabaikan namun dewi keponya sangat kurang ajar, memaksa Rachel membuka kertas tersebut.
Tidak hanya dewi keponya yang kurang ajar, tapi kini dirinya pun begitu karena memutuskan untuk membuka kertasnya.
Rentetan tulisan yang Rachel baca mirip tulisan Bidi namun sepertinya sengaja dibuat rapi, membuat Rachel dapat membacanya dengan jelas.
Punya rasa sama lo emang hal yang salah. Maaf karena gue gak tahu diri. Tapi gue Cuma pengen lo tahu, di sini, ada rasa yang memaksa gue buat mengutarakan. Gue suka sama lo, dengan atau tanpa dibalas.
Rachel merinding seketika, untuk siapa surat itu dibuatnya? Apa untuk Ralin? Karena dulu Bidi sempat mengatakan bahwa dirinya menyukai Ralin. Jika benar, maka sampai sekarang perasaan Bidi belum sempat diutarakan, Kasihan.
Atau justru ada perempuan yang mengirimi Bidi surat seperti ini? Bisa jadi.
Gadis itu kembali melipat suratnya memasukkan ke kolong meja seperti semula. Namun, ada satu lagi amplop yang menarik perhatian Rachel, dirinya tanggung kurang ajar, maka Rachel memutuskan untuk sangat kurang ajar sekarang.
Amplop itu berwarna senada dengan surat tadi, saat Rachel membaliknya. Rachel menemukan sebuah tulisan yang membuat dirinya langsung melempar amplop tersebut. Cepat-cepat Rachel memungut amplop itu lagi dan memasukkannya.
Rachel mengambil tas dan ini terasa horor menurutnya. Sedikit berlari, Rachel keluar kelas dan berniat pulang. Tulisan itu masih tergambar jelas di kepalanya.
Teruntuk: Rachel Zui.
***
Rachel menjentikkan jarinya ketika ingat bahwa catatan kimianya sempat dipinjam Ralin. Pantas saja hilang, Rachel yakin Ralin belum pernah mengembalikannya.
Tapi yang jadi pertayaannya, apa keluarga Ralin akan mengizinkan dirinya masuk hanya untuk mengambil buku catatan? Rachel tidak akan pernah tahu jika ia tidak mencoba.
Jadi, ia memutuskan untuk menaiki bus yang menuju rumahnya, bukan rumah sakit. Sampai di kediaman Ralin, Rachel tidak melihat adanya tanda-tanda kehidupan, rumahnya sepi, tak satupun kendaraan terparkir di sana.
Rachel menekan bel rumah beberapa kali, sampai seseorang berlari kecil dan membuka pagar. Bi Tina, asisten rumah tangga yang sering bergurau itu tersenyum lebar saat melihat keberadaan Rachel di sana.
"Aduh, Neng, maaf lama, Bibi tadi habis dari kamar mandi, ayo masuk," ujarnya masih ramah seperti dulu.
"Gak apa, Bi. Rachel cuma mau ngambil buku catatan yang waktu itu dipinjam Ralin, boleh?"
Bi Tina mengangguk, "Mumpung Ibu gak ada, langsung aja ke atas, Neng. Ibu suka agak tempramen kalau ada yang nyangkut Non Ralin," jelasnya.
Rachel mengangguk cepat, menaiki anak tangga dan langsung menuju kamar yang sudah sangat ia hapal.
Aroma parfum strawberry menyeruak saat Rachel membuka pintu kamar, menyebabkan Rachel merasa bahwa ada Ralin di sampingnya.
Gadis itu tahu betul dimana letak buku pelajaran, jadi dengan cepat Rachel dapat menemukan bukunya. Buku kimia tidak bersampul itu menyatu dengan buku bersampul coklat milik Ralin, dengan mata pelajaran yang sama.
"Sedang apa kamu di sini?"
Rachel terlonjak seketika, saat menemukan ibu Ralin yang berdiri di depan pintu. Rachel memeluk dua buku catatan di tangannya kemudian mendekat, menyodorkan tangan untuk salam.
"Maaf Tante, Rachel sudah izin sama Bi Tina, Ralin sempat meminjam catatan Rachel dan belum ngembaliin, jadi Rachel ambil soalnya sebentar lagi Rachel ujian," jelasnya.
Garis wajah yang semula menegang kini melunak, ibu Ralin mengangguk. "Ujian ya? Tante yakin kalau Ralin masih ada kalian akan belajar bareng," ucapnya tersenyum, getir.
"Kalau gitu, Rachel izin pamit, Tante." Rachel kembali menyalami tangan ibu Ralin, lantas menuruni anak tangga dengan cepat, ia sedikit takut jika tiba-tiba ibu Ralin emosinya berubah.
Bi Tina yang menyiram bunga di luar merasa sedikit cemas, kemudian terlihat lega ketika melihat Rachel membawa buku di tangannya. "Ibu gak apa-apa?" tanya Bi Tina was-was.
Rachel menggeleng sambil tersenyum. "Gak apa-apa Bi, makasih ya!" Rachel keluar gerbang an menyusuri jalan kompleknya. Tanggung, ia berniat ke rumah saja, nanti sore baru ke rumah sakit.
Sampai di rumah, Rachel meletakkan buku catatannya dan baru tersadar, jika buku Ralin masih menyatu dengan buku miliknya. Rachel membuka sampul plastik pada bukunya kemudian mengeluarkan buku Ralin.
Yang pertama kali menarik perhatian Rachel adalah, pada buku catatannya terdapat sebuah kertas lipat, dengan tulisan.
'We aren't in Wonderland.'
Ralin punya sindrom yang sama?
***
TBC..
Untuk kamu yang masih bertahan sampai sekarang, terima kasih.
Kamu layak, berjuang melawan rasa sakit.
Mempertahankan diri menghadapi pahit,
Mensugestikan agar tidak terlalu larut dengan ucapan orang-orang yang menyayat.
Ya, kamu layak.
Terima kasih telah sampai pada titik ini.
Terima kasih telah berjuang dengan sungguh.
Terima kasih untuk selalu bersyukur.
Terima kasih, untuk mau bertahan saat keadaan memaksa untuk menyerah.
Kamu hebat, kamu luar biasa.
Salam, Bellaanjni
Author jahat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro