Not in Wonderland | 25
Wajib play mulmednya
Aku lemes liat pengumuman eliminasi di instagram belia. But aku tahu bahwa ada kebaikan yang tim belia buat dibalik semua itu.
Please vote dan comment, ajak temen kalian buat baca cerita ini. Seenggaknya, siapa tau dengan kalian banyak bacot, bisa dapet novel gratis. Atau enggak, setidaknya cerita ini enggak tereliminasi.
Makasih yg selalu support! I potato you all
A/n: Enggak usah sediain tisu, part ini 'cuma sedikit' sesak.
Lebih tepatnya, kejam.
Tapi tetep aja, Bella tidak bertanggung jawab kalo sampe ada yang nangis bombay, siapin hati, siapin jantung, siapin duit buat beli novel Never be "us".
Hehe.
Happy reading, mooma, poopa.
C h a p t e r 2 5
Aku sedikit diberi kejutan. Dalam canda gurau semesta yang menyakitkan. Canda gurau yang melukai, canda gurau yang menghakimi. Lebih sakitnya lagi, semesta bercanda pada kebenaran. Olok-olok tentang garis yang diciptakan Tuhan. Semesta kejam.
🎼
Mario cukup mematung, namun itu tidak lama. Lathan cukup bingung dengan perubahan sikap Rachel.
"Memangnya kamu pikir, siapa yang membiayai pengobatan Ibumu selain saya?" jawab Mario enteng. Jantung Rachel seakan di pompa lebih cepat, ia mencerna apa yang terjadi.
Mario papanya Feyca? Yang otomatis menjadi papanya Lathan?
Gadis itu terlalu terguncang, ia berlari ke luar ruangan. Panggilan dari Lathan yang memanggil namanya tidak ia gubris sama sekali.
Rachel tidak tahu bahwa di luar kini hujan. Rachel tidak peduli, ia terus berlari menembus derasnya hujan. Yang ia butuhkan sekarang hanyalah sebuah pelarian.
Langkahnya terhenti ketika Lathan berhasil menggapai pergelangan tangannya.
"Jangan sentuh gue!" bentak Rachel melepaskan tangan cowok di depannya. Air mata gadis itu kini bercampur dengan derasnya air hujan.
"Lo kenapa?" tanya Lathan membutuhkan sebuah penjelasan.
Gadis di depannya hanya menangis, baru kali ini Rachel merasakan bahwa dirinya ingin mati saja, secara sadar, bukan dalam pengaruh sindromnya.
Lathan mencoba menarik Rachel agar tidak berada dalam hujan namun gadis itu tak bergeming.
Rachel menatap Lathan dengan semua rasa sakitnya, "Bokap lo," ujar Rachel tidak sanggup meneruskan kalimatnya, tenggorokannya seakan tercekat sesuatu.
Lathan masih menunggu apa yang akan dikatakan Rachel selanjutnya. "Dia mantan suami Mama," ujar Rachel pelan, hampir tidak terdengar jika saja Lathan tidak melihat gerak bibirnya, Lathan tidak akan tahu apa yang disampaikan gadis itu.
Rasanya Lathan pecah seketika. Jadi, seorang perempuan yang menyebabkan ibunya depresi sampai meregang nyawa itu adalah ibunya Rachel? Lathan menatap gadis itu dengan tatapan tidak percaya, entah ia harus berekspresi seperti apa. Dirinya marah? Jelas. Terlebih kecewa.
Lathan memijat pangkal hidungnya, menarik gadis itu ke dalam pelukan, memeluknya erat, seolah untuk yang terakhir kali. "Maaf," bisik Lathan kemudian mengurai pelukannya, meninggalkan Rachel bersama rasa sakit tanpa menoleh lagi.
Rachel menatap punggung yang semakin menjauh itu, ingin kembali memeluknya. Ia ingin mengejar Lathan namun raganya terlalu kaku. Rasa sakitnya semakin menjadi, ia merasa bersalah karena May menyebabkan Lathan sampai kehilangan ibunya.
Namun di sisi lain ia juga benci, mengetahui bahwa Lathan adalah putra dari seorang pria yang sangat ia benci.
Rachel ingin berteriak, melepaskan semua sesak yang memenuhi rongga dadanya. Air mata tidak henti membasahi pipi, dunia terlalu kejam untuknya.
Apa Rachel membuat kesalahan sampai semesta menghukumnya seberat ini?
Gadis itu tidak bisa membendung tangisnya. Sekarang ia tahu apa alasan May sering bertemu Mario. Pasti karena ibunya itu membutuhkan biaya untuk pengobatan. Rachel merasa hidupnya benar-benar tidak berguna.
Sebuah mobil hitam melintas di depannya, mobil yang sangat Rachel kenali, milik Mario. Disusul oleh mobil berwarna putih di belakangnya yang bisa Rachel pastikan bahwa mobil itu dikendarai Lathan. Rachel mengejar mobil hitam yang kini mulai melambat, saat kakinya sudah lelah, mobil hitam itu berhenti.
Satu yang ada di benak Rachel sekarang adalah; ia telah kehilangan semuanya, dan ia tidak akan membiarkan ibunya pergi untuk selama-lamanya.
Rachel memberanikan diri mengetuk kaca mobil, kemudian Mario turun dengan payung hitamnya.
"Ada apa?" tanyanya menatap Rachel yang basah kuyup.
Rachel menunduk, air mata tidak berhenti mengalir deras di pipinya. "Saya tidak tahu lagi harus meminta bantuan siapa," ucap Rachel menegarkan dirinya, suara gadis itu jelas parau. Rachel menutup mata beberapa saat sebelum ia melanjutkan kalimat.
Lathan yang berada di dalam mobil memperhatikan apa yang sedang terjadi, meskipun cowok itu tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.
"Saya mohon, Mama butuh biaya untuk pengobatan." Rachel meremas tangannya sampai terasa kebas, ia menahan diri agar sindrom itu tidak menyerangnya sekarang.
Mario menatap gadis di depannya penuh teliti, "Ada satu syarat," ujar Mario membuat Rachel menengadah seketika, menatap Mario dengan matanya yang sudah sembab.
"Apa? Apa saya harus bersujud di depan anda?" suara Rachel meninggi dari sebelumnya, ia masih mencoba membendung sesak begitu pula tangisnya.
Mario menatapnya datar, "Saya tahu kamu terlalu angkuh untuk bersujud di depan saya." tandas Mario.
Rachel menggelengkan kepalanya pelan, Rachel tidak tahu seberapa besar rasa sakitnya sekarang. Tak apa ia kehilangan harga dirinya, demi May. Maka, kini ia menjatuhkan kedua lututnya.
Barulah saat dirinya akan benar-benar bersujud, Mario menariknya berdiri. "Saya bukan Tuhan," ujarnya masih dengan nada datar.
Lathan tidak percaya bahwa Rachel akan benar-benar bersujud, atas dasar apa gadis itu melakukan hal demikian?
Rachel menatap Mario dengan tatapan bertanya-tanya. "Cukup maafkan segala perbuatan saya," ujar Mario menyentuh bahu Rachel.
Gadis itu dibuat bingung, namun Mario tidak berucap lebih, ia kembali masuk ke dalam mobilnya, kemudian melesat meninggalkan rumah sakit.
***
02.00
Rachel tidak bisa tidur, air matanya mengalir deras entah sampai kapan.
Mengingat setiap detik kejadian beberapa jam lalu membuatnya menangis semalaman. Ia tidak tahu harus berbuat apa terhadap Lathan, ia sangat kalut.
Hatinya sakit, menjalar ke seluruh tubuhnya. Rachel mencoba berhenti terisak tapi ia tidak bisa. Rachel memeluk May yang masih terbaring kaku, hanya suara elektrokardiograf yang menemani Rachel saat ini.
"Ma, maafin Rachel ya," ucap Rachel dengan suara bergetar, berharap ibunya itu mendengar kemudian kembali sadar seperti sedia kala. "Rachel egois, Rachel ngebiarin masa-masa sulit Mama sendiri." Gadis itu menarik napasnya.
"Rachel gak punya siapa-siapa lagi selain Mama. Rachel bakal nurut sama Mama, Rachel bakal jauhi Lathan karena sekarang, mungkin Lathan juga benci sama Rachel, Ma. Satu-satunya alasan Rachel buat bertahan sampai sekarang itu Mama, Rachel gak tahu apa yang bakal terjadi kalau sampai Mama ninggalin Rachel." Ia semakin terisak, tidak berniat melepaskan pelukannya pada May.
Napas Rachel tersengal, ia seperti habis berlari puluhan kilo meter jauhnya. Rachel tidak pernah merasakan sakit batin sehebat sekarang.
Ia ditenggelamkan rasa sakitnya hingga dimensi ruang di depan gadis itu berubah. Rachel yakin bahwa kini tangisannya mengeras, tidak lagi menjadi sebuah isakan.
Gadis itu meraba nakas di sampingnya, ia yakin bahwa di atas nakas terdapat sebuah pisau buah kecil lengkap bersama piring diisi buah-buahan yang tidak ia sentuh.
Rasa menyerah kini meluap dalam dirinya, ia ingin mengakhiri zona yang menyerangnya sekarang, namun sepertinya, zona ini mencoba lebih kuat agar Rachel mengakhiri hidupnya.
"Lo emang gak bisa maksain semua orang yang lo sayang ada di pihak lo. Tapi, bukan berarti lo gak berharga buat siapapun!"
Kata-kata Lathan kala itu terngiang jelas, tangisan Rachel semakin keras. Sakit hatinya semakin dalam. Dengan gerakan pelan, Rachel menyayatkan pisau buah yang ia pegang pada telapak tangannya. Perih menjalar, seketika Rachel mengerang menahan rasa sakit.
"Gue gak tahu lo siapa dan kenapa, tapi ada satu hal yang perlu lo tahu. Lo berharga, seenggaknya buat gue!"
Rachel menggeleng cepat, ia merasakan telapak tangannya kebas. Ia membuka mata dan ruangan ini tenang seperti sedia kala, tidak seperti sebelumnya. Kali ini, Rachel keluar dari zona seperti biasanya, melukai diri sendiri.
"Gue gak berharga buat siapapun," ucap gadis itu penuh penekanan. Dan kini, dengan sadar Rachel menekankan kembali benda tajam itu hingga sayatan di telapak tangannya berubah menjadi dua.
Ia terpejam, "Ya, gue gak berharga buat siapapun!" ulangnya sekali lagi kemudian sayatan di tangannya bertambah banyak.
Poor Rachel!
***
TBC
Tell me, what do you feel?
Feelnya nyampe gak?
Author note kali ini aku selingin 'fun'fact deh ya biar gak pada bingung.
Yang bacanya di skip-skip aku yakin pada bingung.
1) Yup, Mario itu Ayah KANDUNG Lathan sekaligus AYAH TIRI Rachel.
2) Yup, PEREMPUAN yang jadi simpanan Mario itu adalah MAY, Ibu KANDUNG Rachel.
3) Yup, May sebelumnya dibiayai pengobatan sama MARIO. Makannya mereka sering ketemu.
Ada yang masih kurang jelas? Fun sekali kan Factnya?
Author note next part aku bahas Bipolar yaa!
Salam, Bellaanjni
Author jahat yang berharap masih bisa ketemu sama kalian sampe tanggal berakhir kompetisi ini. :)
Tag temen kalian buat ikut baca:)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro