Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Not in Wonderland | 24

A/n: jangan lupa play mulmednya.

C h a p t e r   24

Kita terletak pada sebuah garis singgung yang tak bisa dihindari. Terbebani rahasia juga kecewa pada masa lalu yang sulit dibenahi. Jika bisa, kubuang jeda pada titik di mana kita saling menyakiti.

🎼

"Maaf Mbak, tapi Bu May sudah mengundurkan diri dari perusahaan sekitar dua bulan yang lalu." Wanita yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu tersenyum.

Rachel mengangguk kemudian mengucapkan terimakasih, pupus sudah harapannya untuk mendapat jaminan asuransi May.

Rachel menuju parkiran di salah satu kantor pemerintah tempat May bekerja. Rachel juga sedikit terkejut karena ternyata ibunya itu sudah tidak bekerja dari dua bulan yang lalu.

Gadis itu masuk ke dalam mobil, Lathan mengantarnya dan menunggu Rachel selesai di parkiran. Mereka masih sama-sama mengenakan seragam karena baru pulang sekolah. Rachel mengembuskan napasnya pelan, memijat pangkal hidungnya seraya terpejam.

"Lo ngapain sih ke sini?" tanya Lathan yang mulai melajukan mobil, Rachel hanya meresponnya dengan gelengan.

Mereka langsung pulang karena Rachel meminta demikian. Ada beberapa keperluan yang Rachel butuhkan untuk di rumah sakit. Sesampainya di kediaman Rachel, Lathan menyentuh bahu Rachel, gadis itu masih terpejam.

"Hel, udah sampe." Gadis itu membuka matanya, "lo kalau ada masalah apa-apa, cerita sama gue, siapa tau gue bisa bantu," ucap Lathan terdengar tulus.

Rachel mengangguk, "Makasih ya!" Rachel langsung turun dan masuk ke dalam rumah tanpa menunggu Lathan hilang dari pandangan seperti biasanya.

Jujur, Lathan sedikit merindukan tawa lepas gadis itu.

***

Setelah mengemas beberapa pakaian yang ia butuhkan untuk di rumah sakit, Rachel merentangkan tubuhnya di atas kasur. Ia menatap langit-langit kamar dengan gantungan Cupid juga puluhan dream catcher di sana.

Suara ponsel yang berdering membuat lamunannya terhenti. Rachel meraba-raba ponsel di atas nakas dan melihat layar ponsel yang kini menampilkan sebuah panggilan di ponsel Ralin.

Orang yang dinamai Akhir ini sangat mengganggu, hampir setiap dua jam ia mengirimi pesan suara yang di abaikan Rachel.

"Halo?" ucap Rachel malas.

Suara biola yang dimainkan dengan nada minor menyayat batin Rachel. Gadis itu bahkan kini mengeraskan speaker agar suara itu mengisi setiap sudut hening di ruangan yang ia tempati. Rachel tenggelam dalam alunannya, suara biola itu seperti mewakili perasaan Rachel.

Setetes cairan hangat membasahi pipi gadis itu, kini Rachel memiringkan badannya, memeluk boneka besar pemberian Sena.

Rachel menangis di sana, ia baru saja merasakan sebuah bahagia, berkat Lathan. Tapi hal lain membuat duka kembali melambung, menenggelamkan rasa bahagia yang ia rasakan.

Hampir saja Rachel tenggelam, sebuah suara klakson mobil yang nyaring membuat kesadaran Rachel kembali sepenuhnya.

Rachel memutuskan panggilan orang bernama Akhir itu juga menghapus jejak air matanya. Ia yakin bahwa Lathan sudah menjemputnya lagi, gadis itu keluar rumah dan benar saja, mobil Lathan terparkir di depan rumahnya.

Rachel memasuki mobil, menatap Lathan dua detik kemudian mengalihkan pandangannya. Cowok itu mengenakan kaus hitam polos berlengan pendek yang memperlihatkan sedikit bisepnya, membuat Rachel tersenyum sendiri, entahlah Rachel hanya ingin tersenyum.

Di sela lampu merah, Lathan mengeluarkan sebuah kotak berwarna hitam. "Buat lo." ucapnya datar sementara Rachel yang mengambil kotak tersebut mengerutkan kening.

Rachel membukanya, kemudian menemukan sebuah gelang berbandul kamera. "Buat gue?" tanya Rachel tidak bisa menyembunyikan senyumnya, Lathan hanya menoleh. "Makasih!" ujarnya.

"Lo suka?" tanya cowok itu yang di respon anggukan cepat.

"Kenapa harus kamera, Than?" tanya Rachel penasaran.

"Karena menurut gue, kamera itu sebuah sudut pandang. Ada kalanya objek yang lo bidik itu nge-blur, ada kalanya lo harus fokus pada satu titik buat menghasilkan bidikan yang bagus. Hidup tuh gak harus melulu berjalan lurus kali Hel, gak ada seninya," jelas Lathan.

Rachel terkekeh mendengar penjelasan yang menurutnya lucu namun ada benarnya juga. Gadis itu memakai gelang yang diberikan Lathan."Than, lo kenal Ralin? Lo siapanya Ralin sih?" tanya Rachel mengganti topik, pertanyaan ini sangat mengganggu benaknya dari dulu.

"Gue kenal baik dia, udah lama, Gue sama dia juga satu SMP." Lathan berujar singkat. Rachel mengangguk mengetahui fakta yang keluar dari mulut pacarnya itu.

"Gue juga sempet naksir dia. Tapi dia orangnya terlalu berkorban, ngalah buat orang lain meskipun akhirnya nyakitin dia sendiri. Dia juga yang bikin hubungan gue sama bokap membaik. Tapi gue harap, gue  bukan salah satu alasan kenapa dia mengambil keputusan, soalnya beberapa hari sebelum kejadian itu gue ngelakuin sedikit kesalahan."

Rachel merinding mendengar pemaparan Lathan. Mungkin karena cowok itu menceritakan sebuah kenyataan, suasananya menjadi lebih serius. "Lo sama bokap emang kenapa?" tanya Rachel kelewat kepo, mereka sudah sampai di rumah sakit.

Lahan menghentikan mobilnya. "Dulu, Nyokap gue sempet depresi sampe nyakitin diri sendiri. Semuanya gara-gara bokap gue yang main sama perempuan lain. Gue waktu itu hampir gila ngeliat kelakuan nyokap yang tiap hari ngelukain dirinya.

"Gue benci bokap gue. Sampe akhirnya nyokap meninggal gara-gara kehabisan darah, dia nyayat nadi. Gue kacau, padahal gue udah sembunyiin benda-benda yang menurut gue bahaya. Dan lo tau? Sampe nyokap gue dikubur, Bokap gak dateng, dia masih sibuk sama perempuan barunya."

Rachel mengusap pipinya yang basah entah sejak kapan, Lathan yang menceritakan lukanya itu membuat dadanya sesak. Ternyata, ada yang lebih tersakiti dari yang tersakiti.

"Gue gak suka ngeliat siapapun nyakitin dirinya sendiri. Jadi, lo jangan pernah lakuin itu ya?" pinta Lathan kemudian ia terkekeh.

"Gue yang cerita kenapa lo yang nangis sih, ah!" Lathan mengacak rambut gadis di sampingnya.

"Gue sedih," ujar Rachel namun membuat Lathan justru gemas.

"Ayo turun, tujuan kita ke rumah sakitnya, bukan diem di parkiran rumah sakit."

Sepanjang koridor mereka berjalan beriringan. Ternyata Lathan bisa semenyenangkan ini, pikir Rachel. Baru saja Rachel akan melangkahkan kakinya memasuki ruangan May, dokter yang kemarin menyapanya, menyuruh Rachel menemui dokter itu di ruangannya.

Dokter Geo, nama yang Rachel baca di nametag yang di pakai pria di depannya. Dokter Geo tersenyum sambil basa-basi menanyakan keadaan Rachel.

"Jadi," ucapnya memulai. Ia membenarkan posisi kacamata untuk membaca sebuah kertas yang ia pegang kemudian menyodorkannya pada Rachel.

"Bisa kamu lihat di situ, hasil pemeriksaan menunjukan bahwa Ibu May mengalami pertumbuhan tumor di bagian otak beliau. Harus segera di tangani, tapi resikonya sangat besar."

Seperti dihujam ribuan jarum, kini Rachel menahan napasnya. Sesak memenuhi rongga dadanya, May tidak pernah bercerita apapun, ibunya itu selalu menampakkan hal yang biasa saja.

"Lakukan yang terbaik Dok, saya mohon. Masalah biaya, biar saya usahakan." Rachel kalut sekarang.

Gadis itu keluar dari ruangan dengan perasaan campur aduk. Sampai di kamar yang May tempati pun dirinya masih sama kacau.

"Fey mau ke sini, gak apa-apa, kan?" tanya Lathan memperhatikan Rachel yang tampak banyak pikiran.

Rachel mengangguk pelan, Lathan merangkul bahu gadis itu. "Lo cewek kuat!" ujarnya berhasil membuat sabit di bibir Rachel.

Ponsel Lathan berbunyi, cowok itu mengetikkan pesan balasan pada Feyca kemudian tak lama setelah pesan itu di kirim, pintu yang tertutup kini di buka.

Rachel melihat Feyca di sana. Feyca berlari mendekat, memeluk abangnya terlebih dahulu kemudian menatap Rachel.

"Kakak jangan sedih ya! Biar bisa berantem lagi sama Fey," ujar anak itu polos.

"Ke sini sendirian?" tanya Rachel tidak percaya.

Dengan cepat Feyca menggeleng, "Sama Papa dong, nah itu dia Papa!" Feyca menunjuk seorang pria paruh baya yang baru saja menginjakkan kakinya ke dalam, seketika badan Rachel melemas, mematung dengan sempurna.

"Mau apa anda datang ke sini?" ucap Rachel pelan namun masih bisa terdengar jelas oleh siapapun yang berada di sana, kecuali May

***

Udah tau lah ya siapa, Bapak Lathan siapa lagi kan kalo bukan dia.

M E N T A L    I L L N E S S


Gangguan mental / gangguan kejiwaan:

Berbagai kondisi yang mempengaruhi suasana hati, berpikir, dan perilaku.

Bisa karena beberapa hal.
🔸Lingkungan sekitar
🔸Tekanan dalam diri

Secara formal itu aja, sisanya di bawah ini pendapat aku.

Aku garis bawahi bahwa seseorang yang mengalami kondisi sepeeti ini, bukan berarti dia gila

Ada banyak jenisnya. Yang aku bahas pertama itu yang paling sering di jumpai.

Depresi.

Kalo aku ngerasa, depresi ini adalah kondisi dimana kita merasa kacau, pengen nyerah karena banyak tekanan.

Ada yang pernah ngerasa gini?

Jangka waktunya relatif lama, kalau jangka pendek itu biasanya stress.

Buat kalian yang ngalamin hal demikian, aku saranin dateng ke psikiater karen ini masalah serius.

Orang yang lagi depresi bisa melakukan apapun baik dalam kendali maupun luar kendali.

Tapi, orang-orang Indonesia masih menganggap remeh Depresi ini.

Tolong,

JANGAN PERNAH UCAPIN;

Kayak gak punya Tuhan aja lo depresi!

Inget, bukan lo aja yang tertekan di sini!

Apasih, lebay! Gituan doang jadi depresi.

Dasar gila.

No, mereka yang ngalamin gak butuh komentar sampah seperti itu. Apa salahnya mengganti kalimat tersebut jadi kalimat dukungan. Atau lebih bermanfaat, dilakukan oleh sebuah tindakan.

Kaya, ngajak orang itu beribadah lebih giat.

Ngasih support kalau dia bisa ngelalui masa-masa sulit.

Saling rangkul.

Jadi sandaran tempat dia curhat. Tapi harus dibedakan, apa dia butuh saran atau hanya butuh didengarkan.

Jangan biarin dia ngerasa sendirian.

So, kalau kalian ada yang merasa demikian. Dengan sangat senang aku membuka percakapan, kalian bisa dm aku di Instagram (bellaanjni) soal masalah-masalah kalian. Jangan sungkan.

Karena aku harus bermanfaat buat orang lain.

Salam, Bellaanjni

Author jahat yang sayang banget sama kalian.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro