Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Not in Wonderland | 23

T r a i l  e r


https://youtu.be/ivS6AxjpqYc

JANGAN LUPA LIKE COMMENTS DAN SUBSCRIBE, karena kedepannya aku bakal bikin banyak Audio Poem ala-ala.

V o t e C o m m e n t!

C h a p t e r   2 3

Sunyiku lain. Maya sekaligus nyata. Berbanding terbalik layaknya lentera. Ketika gelap tiba, hanya ia yang bercahaya. Ketika ber-rangkul sapa, ia hadir di tengah gulita.

🎼

"Kamu potong rambut, Helly?" ujar May ketika melihat penampilan putri semata wayangnya yang tampak berbeda.

Rachel mengangguk cepat, "Iya, Ma. Gerah." Gadis itu tersenyum menampilkan gigi, menutupi kejadian yang sebenarnya.

"Oh iya, Mama saranin kamu jangan terlalu deket sama Lathan, bisa?"

Rachel menoleh, mengerutkan keningnya. "Kok Mama ikut-ikutan kaya mantan Mama?"

May sedikit diam, "Maksud Mama, buat sekarang kamu jangan deket dulu sama siapa-siapa, kamu sebentar lagi ujian kenaikan, fokus belajar."

Rachel menaiki pijakan anak tangga menuju kamarnya, "Rachel bisa bagi waktu kok Ma, Mama gak usah khawatir. Lagian, Lathan baik banget sama Rachel, dia juga bisa ngertiin kalau Rachel mau belajar, malah Rachel bisa minta ajarin Lathan kalau ada yang gak ngerti."

May menghela napasnya sedikit berat, "Mama percaya kok."

Ada kebingungan di diri May sekarang. Ia tahu bahwa Lathan adalah anak Mario. May juga tahu bahwa Rachel bukan anak kandung Mario.

Tapi yang menjadi permasalahannya, Apa jika Lathan tahu bahwa Rachel adalah anak dari perempuan yang sempat menjadi simpanan ayahnya, Lathan masih mau menerima Rachel?

Atau sebaliknya, jika Rachel tahu bahwa Lathan adalah anak kandung Mario, sebesar apa rasa sakit hati yang akan di terima putrinya itu?

"Mama baik-baik aja?" tanya Rachel membuat lamunan May terhenti. "Mama ngelamun, pucet juga. Mama lagi sakit?"

May menggeleng, "Mama cuma lagi gak pake make up," jawab May yang di sambut anggukan oleh Rachel.

Rachel memasuki kamar lantas mengganti seragamnya. Bertepatan saat ia selesai, sebuah panggilan masuk terdengar, bukan pada ponsel Rachel. Tapi pada ponsel hitam yang selalu ia biarkan di atas nakas.

Lagi-lagi jantung Rachel seakan dipompa lebih cepat saat ia melihat siapa yang memanggil. Nama Akhir jelas tampak pada layarnya. Rachel menolak panggilan tersebut.

Jujur, ia sedikit takut. Rachel yakin bahwa selama ini Ralin mendapat teror.

Sebuah pesan suara masuk. Rachel tidak ingin memainkan pesan suara tersebut tapi dewi keponya muncul di saat yang tidak tepat. Pertama, Rachel mengecilkan volume, kemudian menekan tombol play.

Terdengar suara piano, lagi-lagi dengan nada minor. Setelahnya, yang terdengar hanya suara isakan tangis. Rachel tidak kuat, ia mematikan audionya. Keringat menetes pada pelipisnya. Jari Rachel kemudian mengetikkan sebuah pesan.

Mau lo apa sih?

Beberapa saat kemudian sebuah pesan masuk.

Berhenti. Cukup berhenti, dalam segala hal.

Rachel masih mencerna apa maksudnya, belum juga Rachel membalas, sebuah pesan suara kembali masuk. Sebuah lagu terdengar, lagu lama dan lagi tawa seorang yang semakin mengeras. Rachel mengusap tengkuknya, ia takut. Apa ini ketakutan yang dulu Ralin pernah ceritakan?

Tangan Rachel kembali mengetikkan pesan,

Gue gak akan pernah berhenti, kalau lo pikir gue lemah, lo salah besar, lo gak tau lo berhadapan dengan siapa.

Lo bakal berhenti, begitu pula detak lo. Permainan dimulai.

Rachel menahan napasnya beberapa saat, ia saja tidak tahu berhenti yang ia maksud itu apa, mungkinkah tentang dirinya yang mencari tahu tentang kasus kematian Ralin?

Rachel kemudian meraih ponsel miliknya yang tidak jauh dari tempat ia duduk.
Rachel hanya ingin memastikan bahwa kontak bernama Akhir itu bukan Lathan.

Secara bersamaan Rachel menekan tombol dial pada kontak Akhir di ponsel Ralin, juga menekan kontak Lathan pada ponselnya.

Sayang, kontak bernama Akhir itu tidak aktif. Tapi beberapa detik kemudian, sambungannya pada Lathan terhubung.

"Kenapa? Laper?"

Rachel menjauhkan ponsel miliknya dari telinga, "Cuma tes jaringan," alibinya.

"Jaringan lo aman, Gue lagi kerja, nanti kalau udah gue kabarin."

Rachel mengangguk kemudian memutuskan sambungan. Baru saja Rachel berniat untuk menyalakan lagu di kamarnya, sebuah suara cukup keras yang berasal dari ruang bawah membuat Rachel beranjak dan langsung berlari untuk melihat sumber suara tersebut.

"Mama..!" pekik Rachel yang kemudian menuruni setiap pijakan anak tangga dengan cepat.

Rachel melihat May tak sadarkan diri, pecahan kaca berserakan di sekitarnya. "Mama bangun, Mama kenapa?" Rachel mengguncang tubuh May namun tidak berakibat apapun.

Gadis itu mulai panik, ia kemudian kembali berlari ke kamarnya. Rachel menghubungi nomor Lathan, satu-satunya orang yang bisa ia harapkan.

"Angkat dong Lathan!" Rachel menggigit bibir bawahnya, cemas. Akhirnya, setelah beberapakali nada sambungan, panggilannya terhubung.

"Lathan.."

***

Rachel tidak berhenti meremas rok yang ia kenakan. Pandangan matanya menatap lurus pada tembok putih di hadapannya, namun pikirannya menerawang jauh.

Sebuah cairan hangat kembali jatuh di pipinya namun ia tidak bersuara.

"Hei, semua bakal baik-baik aja," ucap Lathan yang kini duduk di samping Rachel, mencoba menenangkan. Sejak Rachel menelepon, Lathan langsung bergegas menuju kediaman Rachel dan membawa May ke rumah sakit.

"Hel," panggil Lathan kemudian menggenggam tangan gadis itu. "Udah dong nangisnya, Tante May kuat kok!" Bukannya berhenti, tangis Rachel semakin menjadi.

"Pikiran gue kacau, Lathan! Gue gak punya siapa-siapa lagi selain Mama, gue gak bisa bayangin kalau Mama sampai—"

"Stt, udah. Lo gak perlu bayangin apa-apa," Lathan menghapus air yang jatuh pada pipi gadis itu.

Seorang dokter diikuti dua orang suster keluar dari ruangan yang ditempati May. "Apa ada keluarga terdekat dari Ibu May?" tanya dokter pria yang berumur sekitar 50 tahun itu.

"Saya, saya putri beliau," jawab Rachel cepat.

"Bisa ikut ke ruangan saya sebentar?" tanyanya ramah.

Rachel menoleh pada Lathan, cowok itu mengangguk meyakinkan. Akhirnya Rachel mengangguk pelan dan mulai mengikuti langkah dokter itu.

Mereka sampai di sebuah ruangan yang tidak terlalu besar. Dokter itu mempersilahkan Rachel duduk.

Dokter itu berdehem pelan, "Ada beberapa yang harus saya sampaikan," ucapnya yang membuat Rachel penasaran. "Ibu kamu butuh pemeriksaan lanjutan. Hasil yang kami dapat dari pemeriksaan tadi, kondisi Ibu May ternyata sangat lemah. Mungkin kamu bisa mengambil hasil pemeriksaannya besok sore, untuk memastikan apa yang dialami Ibu May."

Rachel menghela napasnya berat, ia tidak tahu harus berkata apa selain terimakasih. Setelah pembicaraan singkatnya, Rachel pamit untuk melihat kondisi ibunya itu.

Lathan masih setia duduk di bangku depan ruangan yang ditempati May, barulah saat Rachel masuk, Lathan ikut masuk.

Rachel memeluk May kemudian kembali terisak. Harapannya sekarang adalah ia ingin melihat May bangun seperti sedia kala, berbicara banyak hal, melarangnya melakukan ini-itu dan lainnya.

Lathan mengusap rambut gadis itu kemudian melihat arlojinya yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

"Lo mau pulang?" tanya Lathan yang langsung di respon gelengan oleh Rachel.

"Gue pengen sama Mama," ucapnya merengek,

"Kalau gitu, gue mau beli makan dulu. Lo baik-baik di sini." Lathan tersenyum di akhir kalimatnya.

Sekarang, Rachel memperhatikan May sambil menunggu Lathan kembali. Rachel berpikir keras, rumah sakit itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Rachel tidak memiliki siapapun, neneknya sudah tidak ada sementara May adalah anak tunggal. Keluarga dari ayahnya? Bahkan Rachel tidak sempat mengenal siapa ayahnya. Satu-satunya harapan adalah dengan menghubungi kantor tempat May bekerja, pasti May memiliki tunjangan asuransi di sana.

Lathan kembali membawa dua porsi makanan juga banyak camilan. Rachel sama sekali tidak berselera untuk memakan apapun.

"Kalo lo gak makan, nanti gue yang disalahin sama Tante May, gak bisa bikin anaknya bahagia sampe jadi kurus, gue gak mau ah!" Lathan masih mencoba membuat gadis itu membuka mulutnya.

Rachel hanya mengambil sebuah air mineral, menyuruh Lathan untuk membuka tutup botol tersebut kemudian Rachel meminumnya sedikit. "Gue takut," ujar Rachel menyandarkan kepalanya pada bahu Lathan.

"Lo tau? Setiap gue ngerasa takut atau sakit hati berlebih, ada hal aneh yang nyerang saat itu juga." Rachel masih menerawang jauh sementara Lathan memperhatikan dengan seksama.

"Gue kayak masuk ke sebuah zona, di mana cuma ada rasa putus asa di sana. Setiap gue ngebuka mata, apa yang gue lihat berkali-kali jadi lebih besar dan gue enggak berguna, terlalu kecil buat ngehadepin apa yang ada di depan mata.

"Cara satu-satunya yang gue tahu sejak kecil buat keluar dari zona itu cuma dengan ngelukai diri sendiri, biar gue ngerasain sakit, biar gue sadar kalau gue ada di dunia yang nyata di mana masih ada sebuah titik pengharapan."

Rachel berhenti bersandar pada Lathan, gadis itu menatap mata hitam di depannya lekat. "Tapi kemarin-kemarin," Rachel berhenti, tenggorokannya seakan tercekat untuk melanjutkan kata-katanya.

Gadis itu menarik napasnya pelan, "Gue bisa keluar dari zona itu tanpa harus ngelukai diri. Cukup gue di kasih sebuah pengharapan yang gue denger dari orang lain langsung, dimana gue diakui berharga. Makasih, Lathan!"

Lathan mengerti, jika Rachel hanya akan melukai dirinya karena sebuah keterpaksaan, tidak seperti ibunya dulu. Ibu Lathan mengalami depresi yang membuat wanita itu selalu melukai dirinya, karena apalagi jika bukan karena mengetahui pria yang sangat dicintainya berselingkuh dengan wanita lain.

***

TBC...

Huaaa, ngetik part ini capek tau,- menjungkirbalikan batin author jahat yang kiyut untuk memikirkan chapter kedepan-depannya, semoga.

HEHEEEE, masih SEMOGA. Kan kalo di eliminasi nanti gak bisa lanjut, hehehehe.

So guys, apapun keputusan para tim belia, aku terima dengan lapang dada dengan sedikit maksa kalo NIW gak boleh tereliminasi gak mau tau.

POKOKNYA GAK BOLEH.

Gimana udah liat trailernya? JANGAN LUPA LIKE KOMEN DAN SUBSCRIBE karena kedepannya di chanel itu aku mau bikin audio poems gitu.

Kalo sampe enggak LIKE KOMEN DAN SUBSCRIBE, author jahat ini bakal rebut doi kalian, karena aku pelaqor kelas ikan asin.

Salam, Bellaanjni

Author jahat yang jadi pelaqor.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro