Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Not in Wonderland | 16

V o m m e n t!

Chapter 16

Deru napasku memburu, ketika teringat hal tentang kamu. Tapi hanya ada bisu, tak menerjemahkan kata terlebih rasa yang terlihat semu.

🎼

Rachel terlalu terguncang atas pemikirannya. Apa mungkin pemikirannya itu benar? Rachel tidak pernah benar-benar tahu jika ia sendiri tidak membuktikannya.

Dirinya sedang duduk di salah-satu kursi depan gedung, sendirian. Angin malam menembus pori-pori kulitnya yang mendingin. Suara klakson yang berasal dari mobil putih itu mengembalikan kesadaran Rachel sepenuhnya.

Rachel menatap mobil yang kini berhenti tepat di depannya. Lathan membuka kaca, mengisyaratkan Rachel segera masuk. Apalagi sekarang, rintikan air yang berasal dari langit mulai jatuh.

Gadis itu beranjak, melangkahkan kaki untuk memasuki mobil Lathan. Ia duduk di kursi penumpang bagian belakang seperti biasanya jika ada Feyca. Bisa Rachel rasakan bahwa Lathan meliriknya sekilas, kemudian setelahnya, hening yang menyelimuti.

"Makasih, ya!" ujar Lathan memecah keheningan. Rachel hanya mengangguk pelan, tidak menanggapi lebih.

Mobil Lathan berhenti di depan bengkel, kemudian setelah klakson dua kali dibunyikan, Abang yang mirip Ade Rai itu datang, menggendong Feyca untuk dibawa ke dalam.

Tidak sampai sepuluh menit, Lathan kembali memberhentikan mobilnya di depan rumah berpagar biru muda yang tak lain adalah rumah Rachel. Gadis itu menghembuskan napasnya pelan ketika sampai kemudian turun.

Tidak hanya Rachel, tapi Lathan juga ikut turun. "Hel," panggil Lathan berhasil membuat Rachel menoleh.

Lathan mendekat, bersandar pada mobilnya. "Kenapa?" tanya cowok itu, karena ia yakin bahwa Rachel tidak sedang baik-baik saja.

Apa Rachel harus mengatakan bahwa ia sedang gusar? Bukan hanya karena masalah pijakan yang digunakan Ralin, tapi juga karena orang yang kini sedang berbicara di depannya. Bagaimana jika Lathan menjadi penyebab tewasnya Ralin?

"Gue cuma..," Rachel mencari alasan, "gak enak badan," jawab Rachel cepat.

Lathan menyentuh dahi gadis itu dengan punggung tangannya. Otomatis Rachel menutup matanya karena ia berbohong.

Lathan mengangguk, "Istirahat yang cukup!" Cowok itu mengusap kepala Rachel pelan kemudian kembali memasuki mobil.

Rachel melambaikan tangan, kemudian memasuki rumahnya. Ada yang sedikit janggal menurut Rachel. Karena dari luar ia melihat sebuah mobil hitam terparkir di halaman depan.

Benar dugaannya. Pria yang mengenakan jas hitam itu sedang duduk di ruang tamu, meminum secangkir teh pemberian May. Rachel tersenyum, yang tentu saja bukan sebuah senyuman ramah. Hari ini Rachel terlalu lelah untuk mengeluarkan emosinya, jadi ia hanya merasakan sebuah patah hati.

"Saya tidak suka kamu dekat dengan laki-laki yang mengantarmu tadi," ucap Mario berhasil mengintrupsi langkah kaki Rachel yang sedang menaiki pijakan anak tangga.

Rachel menoleh, menatap Mario dua detik kemudian kembali berjalan, "Saya juga tidak suka anda ada di sini." Gadis itu sedikit terkekeh.

Mario berdehem pelan, "Nyatanya, bukan saya yang menginginkan kehadiran saya di sini. Coba tanya Ibumu," ujar Mario, dari nadanya bicara jelas Mario tampak santai.

Rachel melihat ke arah May yang kini tertunduk. Rasa kecewa menyergap, Rachel kira May berada di pihaknya, namun perkiraannya itu salah. Jadi, Rachel hanya bisa mengangguk seadanya.

"Selamat!" ucap Rachel pelan namun menusuk. Bisa Rachel dengar bahwa May terisak sekarang. Rachel tidak tahu kenapa May meminta Mario kembali namun yang Rachel pikirkan, itu adalah sebuah kebodohan.

***

Rachel berbaring melihat langit-langit kamarnya, sudah hampir tengah malam namun rasa kantuk belum juga datang. Pikirannya bercabang, tentang May dan mantan ayah tirinya yang akhir-akhir ini jadi sering datang, tentang Ralin, tentang Lathan, tentang semuanya.

Gadis itu mensugestikan diri agar tidak menjadi lemah saat ini. Bukankah setiap orang memiliki kekurangan? Dan hal menyebalkannya, kerap kali kekurangan itu muncul saat kita sedang dalam kondisi lemah.

Rachel bertekad kuat agar sindrom itu tidak hadir. Ia masih mencintai dirinya, dan selamanya harus seperti itu. Ia tidak mau terus-menerus melukai fisik agar bisa keluar dari zona mengerikan yang dulu sering hinggap.

Dibukanya layar ponsel terkunci yang ia genggam. Dengan ragu, Rachel menghubungi nomor seseorang. Setelah bunyi dering beberapa saat, sambungan itu terhubung.

"Lathan..?" ucap Rachel pelan.

"Ya?" tanyanya singkat.

"Gue boleh cerita?" tanya Rachel dan entah kenapa dadanya sesak sekarang. Membicarakan sebuah masalah bukanlah keahlian Rachel.

"Apa gue terlihat seperti pendengar yang baik?" Lathan terkekeh sedikit kemudian mendengar Rachel yang mencebikkan bibirnya, "Mungkin lo juga butuh coklat atau burger, lima menit gue nyampe sana."

"Gak us--" Tut.. Tut.. Tut.. Panggilan diputus sepihak sebelum Rachel menyelesaikan kalimatnya. Gadis itu menatap cermin, matanya sedikit sembab. Dengan cepat ia memoleskan bedak juga lipgloss agar tidak terlihat pucat.

Pelan-pelan Rachel menuruni pijakan anak tangga. Rachel yakin May sudah tidur, karena jika belum, ibunya itu pasti tidak akan mengizinkan Rachel keluar apalagi hampir tengah malam seperti ini.

Suara motor terdengar, Rachel yakin itu adalah Lathan dengan motor gantengnya. Gadis itu sedikit berlari di halaman dan benar, menemukan Lathan disana, masih duduk di atas motor tanpa helm fullface yang biasa ia pakai.

"Jadi, kenapa?" tanya Lathan ketika Rachel selesai mengunci kembali pagar rumahnya dari luar.

Rachel mematung dua detik, ia lupa. "Jangan di sini," ucap Rachel sambil mengingat, Lathan mengisyaratkannya naik dan Rachel menuruti.

"Orang tua lo gak apa kalo lo keluar malem?" Lathan menoleh sedikit, kemudian melihat Rachel menggeleng.

"Mama gue udah tidur," jawab Rachel, "gue gak tega bangunin," lanjutnya.

Lathan mengangguk, "Gak tega atau takut gak di izinin?" sindirnya yang kemudian menyalakan mesin.

"Ish!" Rachel memukul bahu cowok itu pelan.

Lathan terkekeh, "TANTEEE! ANAKNYA MINTA SAYA CULIK DULU SEBENTAR!" teriak cowok itu membuat Rachel membulatkan mata dan otomatis membekap Lathan namun telat. Satu detik kemudian Lathan memutar gas dan melesat, meninggalkan kediaman Rachel.

Di jalan, Rachel baru ingat kenapa Lathan datang, ia ingin bercerita. Tapi setelah Lathan ada di depannya, Rachel jadi sedikit ragu. Bukan karena apa, tapi jika dekat Lathan, Rachel rasa ia lupa apa masalahnya, seperti meluap begitu saja.

Lathan memberhentikan motornya di depan sebuah kedai burger yang masih cukup ramai untuk ukuran tengah malam, letaknya tidak terlalu jauh dari komplek. Hanya Lathan yang turun, sementara Rachel enggan.

"Dibungkus aja, disini terlalu rame buat gue cerita," ucap Rachel dan Lathan menatapnya beberapa saat, kemudian membeli burger dan kembali setelah selesai.

"Mau kemana?" tanya cowok itu.

Rachel berpikir sejenak, "Taman depan komplek aja," ucapnya membuat Lathan memutar arah.

Mereka sampai di sana, lampunya menyala. Rachel yang terlebih dahulu duduk, kemudian Lathan mengikuti.

Rachel menatap langit malam yang cukup cerah, memperlihatkan bintang sebagai perhiasannya. "Lo suka bintang apa?" tanya Rachel masih menatap langit.

Lathan mengikuti arah pandang Rachel. "Pyxis, gue suka Pyxis," jawab Lathan yakin.

Rachel kini menatapnya, "Kenapa? Gue kira lo suka sesuatu yang besar dan mengagumkan, kenapa enggak pilih Sirius? Dia paling terang. Atau Arcturus? Orion? Aldebaran?"

Lathan menatap manik mata gadis itu dalam, "Gue pernah mengagumi empat yang lo sebut itu."

"Terus?" Rachel memiringkan kepalanya penasaran.

"Mereka hilang. Sesuatu yang bersinar dan besar itu cepat hilang. Bukan hanya manusia yang ingin, tapi tuhan juga. Jadi, tuhan ngambil mereka," jawab Lathan dengan pandangan menerawang.

Rachel menahan napasnya sesak, Lathan membicarakan lukanya. Rachel sebenarnya ingin bertanya lebih, siapa empat orang yang dijadikan Lathan sebagai bintang paling bersinarnya namun Rachel tidak berani. Jadi Rachel hanya mengangguk.

"Terus, kenapa lo suka Pyxis?"

Lathan tersenyum sedikit. "Pyxis itu gak terlalu bersinar, dia juga kecil, tapi..," Lathan melirik Rachel yang menunggu jawabannya dengan ekspresi yang sulit diartikan,

"... Tapi bisa jadi penunjuk arah buat nahkoda. Kebayang kalau nahkoda tersesat di lautan yang luas, lo pikir siapa yang bakal ngasih dia petunjuk arah kalau bukan Pyxis ini? Sederhananya, lo gak harus jadi seorang yang besar biar bisa bermanfaat bagi orang lain," jelas Lathan membuat Rachel mengangguk lagi.

Rachel memakan burgernya, ia ingin mengetahui lebih jauh tentang Lathan kalau saja ia lupa bahwa sekarang sudah pukul setengah dua malam dan besok ia harus bersekolah. Selesai makan, Rachel berdiri, "Gue lupa mau cerita apa," ucap Rachel padahal dia sudah ingat.

"Gue tau lo laper," jawab Lathan santai.

Rachel tersenyum memamerkan giginya, "Dingin.." ucap Rachel berharap Lathan peka.

Lathan hanya menatapnya kemudian berjalan mendekati motor.

"Gak ada peka-pekanya!" cibir Rachel memutar bola mata, saat itu pula sebuah jaket parka mendarat di wajahnya.

Rachel membawa jaket itu mendekat, memberikannya pada Lathan. "Gak usah!" ucapnya ketus. Lathan mengambilnya.

Gadis itu menaiki motor yang sudah siap dikendarai, kemudian Lathan kembali turun. Lathan menatap Rachel dua detik, menyampirkan jaketnya pada bahu Rachel kemudian kembali menaiki motor.

Saat Rachel masih mematung sempurna, tangan hangat itu membawa tangan Rachel pada pinggang yang kini menjadi alasan kenapa tangannya melingkar. Lathan melaju dengan cepat, menembus angin malam yang membuat setiap helaian rambutnya ber-riak. Mereka rasa suhu malam ini terlalu dingin, tapi entah mengapa hati mereka menghangat.

***

Tbc..

Buat kalian yang terus nanyain grup, mungkin kalian bisa baca author note part sebelum-sebelumnya. Makasih buat antusiasnya.

Jangan lupa buat follow instagram aku dan mereka

Jangan lupa juga baca cerita aku yang lainnya di akun  BellaAnjni

Aku juga mau ada satu novel  yang terbit judulnya Never be us, terbit di bentang belia juga  kok. Kalian tau sendiri lah gimana kecenya novel-novel belia.

Salam, BellaAnjni

Author jahat yang cinta banget sama makanan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro