Not in Wonderland | 12
Ternyata kalian sukanya yang panjang-panjang-,-
🍦🍢
Spam aku pake emot makanan kesukaan kalian!
Si akhir aku kasih di next chapter, jangan lupa share cerita ini.
Authornya bawel banget.
Happy reading, sistahh, bradah!
Chapter 12
Di depanmu, aku merasakan detak jantung yang tidak menentu. Dibanding ketika aku berada di depan ratusan orang kala itu.
🎼
Percayalah, tampil sendirian di depan umum bukan keahlian Rachel. Tangannya sedikit mendingin ketika sebuah piano berwarna hitam dinaikkan ke atas panggung. Sorot warna-warni dari cahaya lampu menyelinap masuk melalui celah berlubang ruangan.
Tenang Rachel, ini cuma tampil biasa. Cuma buat perpisahan guru. Rachel memberi dirinya semangat, namun tangannya tidak berhenti meremas rok abu selutut yang ia kenakan. Sebuah cahaya flash dari arah belakang membuat Rachel menoleh.
Dilihatnya Lathan yang memakai kemeja putih dengan lengan yang dilinting, jas hitam ia sampirkan di lengannya.
Lathan tersenyum, kemudian mengambil gambar Rachel untuk yang kedua kalinya. Senyum Lathan tiba-tiba hilang, membuat Rachel bingung seketika. Suara langkah kaki terdengar, lantas Rachel merasakan bahunya disentuh.
"Sena?" ucap Rachel tersenyum. Sena juga memakai jas, tapi tidak terlalu kelihatan formal.
"Tegang banget." Sena membenarkan poni Rachel.
Lathan yang ikut berada di sana kini sedikit menaikan dagu, melihat kedekatan mereka membuatnya sedikit.. Entahlah, tapi Lathan tidak nyaman. Jadi, Lathan memutuskan untuk melangkahkan kaki pergi.
"Eh lo, lo ketua jurnalis, kan?"
Bisa Lathan pastikan bahwa orang yang barusan memanggilnya adalah Sena. Cowok itu menoleh tanpa menjawab.
"Fotoin gue sama Rachel dong," pinta Sena yang kemudian merangkul bahu gadis itu.
Lathan mengarahkan kamera dan membidik gambar tepat saat ekspresi Rachel terkejut, mungkin karena dirinya dirangkul Sena. Setelahnya, Lathan kembali berbalik untuk benar-benar meninggalkan ruangan.
Panggilan dari pembawa acara kini menggema, seorang panitia yang Rachel yakini sebagai salah-satu pengurus OSIS menghampirinya untuk segera bersiap.
"Kalau lo deg-degan, lo liat gue aja, gue ada di barisan paling depan." Sena menatap manik mata gadis itu dalam yang dibalas Rachel dengan anggukan.
Sesaat kemudian Rachel menaiki pijakan berupa anak tangga kecil. Di hadapannya ratusan orang duduk berkumpul, menatap Rachel dengan tatapan menilai. Rachel membungkukkan badannya sekali, kemudian duduk di depan piano yang sudah menggoda untuk dimainkan.
Ini piano yang biasa digunakan Ralin, bahkan catatan tangan Ralin masih tertempel di samping tempat buku nada. Hanya untaian nada dasar dan nada itu tidak asing bagi Rachel, karena Ralin selalu memainkan nada itu di intro ketika bermain piano.
Intro: mi fa sol | do| mi si fa la| mi do re re| do| si si
Bahkan yang Rachel tahu, Ralin menggunakan nada itu jauh ketika sebelum mengenalnya. Tapi Rachel tebak, mungkin itu lagu pertama yang bisa diciptakan Ralin semasa kecil. Karena, Ralin merupakan seorang yang sangat menghargai kenangan.
Rachel menghembuskan napasnya pelan saat semuanya menjadi hening. Perlahan, tangannya bergerak, menekan setiap tuts piano dengan nada minor yang kemudian berubah mayor agar suasana tidak seperti sedang berkabung. Bahkan, Rachel menutup matanya karena tidak sanggup melihat tuts yang ia sentuh.
Lathan yang semula berada di belakang kini berjalan, anggaplah sekarang Lathan sedang modus. Karena ia memiliki wewenang untuk menuju kemanapun dengan dalih mendokumentasikan, Lathan jadi leluasa mendekati gadis yang terpejam itu.
Rachel beberapa kali merasakan cahaya flash, namun ia tidak peduli karena Rachel mengakui dirinya cantik dalam segala kondisi.
Dan Lathan, bahkan mungkin Lathan tidak mengedip memerhatikan setiap langkah gadis itu menikmati alunan yang dibuatnya.
Sampai permainan Rachel selesai dan dirinya tertangkap basah sedang terkesima. Cepat-cepat Lathan menaikan kameranya seolah membidik, kemudian tersenyum menutupi ekspresi terkejutnya barusan.
Rachel selesai dan semuanya hening. Apa seburuk itu penampilannya sampai tidak ada seorang pun yang memberinya tepuk tangan?
Sena berdiri dengan bangga dan bertepuk tangan, membuat yang lain berhenti dari sihirnya dan ikut bertepuk tangan riuh.
Sekali lagi Rachel membungkukkan badan, kemudian menuruni pijakan anak tangga dengan perasaan lebih lega. Apa dulu Ralin selalu merasakan apa yang sekarang Rachel rasakan? Ternyata, ini menyenangkan.
Ketika turun, Sena memberinya selamat dan sebuah minuman ringan. Mungkin mulai sekarang, Rachel harus membuat nada intro dan outronya sendiri agar bisa memiliki ciri khas seperti Ralin. Tapi, Rachel bukan penyimpan kenangan yang baik, karena sepanjang hidupnya kenangan baik itu tidak ada.
***
Minggu pagi, Rachel sudah dua kali mengelilingi komplek. Keringat jatuh membasahi dahinya. Apa lagi yang sedang ia lakukan jika bukan jogging. Rachel kini sudah duduk di atas kursi taman komplek seperti biasa, untuk menyambut hangat sinar mentari.
Namun sepertinya, cahaya itu tertutupi awan yang menggelap. Padahal masih pagi, batin Rachel masih menatap awan, berharap cahaya matahari bisa menembus awan tebal berwarna kelabu itu.
Rachel masih tidak mau beranjak, angin dingin pagi hari menembus pori-pori kulitnya. Rachel menatap ke depan kemudian melihat sosok tak asing yang mungkin saja tidak menyadari kehadirannya.
"Lathan!" Panggil Rachel nyaring saat dirinya menemukan Lathan tengah berlari, mengenakan hoodie abu juga training. Lathan juga memakai topi berwarna putih.
Cowok itu menoleh sedikit, kemudian tidak peduli, membuat keinginan Rachel untuk mengejar semakin meminta untuk diwujudkan.
Akhirnya Rachel menyusul, dengan terengah-engah. "Lo punya kepribadian ganda ya?" tanya Rachel memiringkan kepala, Lathan bahkan tidak menolehnya.
"Kemaren lo baik, perasaan. Kenapa sekarang diem terus? Atau lo lagi sariawan?" tanya Rachel lagi.
Sekarang, Lathan berhenti. "Gue baik ke semua orang," ucapnya santai, menatap Rachel seperti 'biasanya'.
Rachel mengangguk, "Berarti, omongan orang-orang tentang lo yang cuek itu, salah ya?" Gadis itu terus bertanya.
Lathan menatap perempuan di depannya, kemudian teringat seseorang. Ralin pernah bertanya hal yang serupa seperti Rachel. Anggap saja Lathan gila, karena sekarang tujuannya lari setiap minggu pagi adalah untuk mencari peruntungan, siapa tahu ia bisa menemukan senyum gadis itu lagi. Dan sekarang Rachel benar-benar membuatnya gila, karena dengan melihat Rachel, Lathan seperti melihat sebagian diri Ralin.
"Yah.. Hujan," ujar Rachel mendongak ke atas. Rachel membuka telapak tangannya hingga tetesan air mengenai telapak tangan gadis itu.
Lathan melepas topinya, kemudian memakaikan topi tersebut ke kepala Rachel. "Cepet pulang," bisik Lathan kemudian berlalu, setelah mengusap pelan puncak kepala gadis itu.
Rachel mematung, menatap punggung tegap yang semakin mengecil karena jarak. Ia menahan napasnya beberapa saat. Rachel bahkan merasakan detak jantungnya lebih tidak normal sekarang, dibanding saat ia akan tampil. Dan ini juga lebih menyenangkan dari apapun.
Gadis itu memejamkan mata, kemudian tidak bisa menahan dirinya untuk tidak berteriak. Rachel berteriak, kemudian sepanjang perjalanan pulang, ia tidak berhenti tersenyum.
Tbc..
Gendang, gendang apa yang bisa dimakan?
Jangan lupa follow: bellaanjni beserta anak-anaknya di instagram.
Salam, Author jahat yang kiyut.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro