Not in Wonderland | 1
A/n: Can i get 1k comments in this chapter? Kalo dapet Bella kasih chapter selanjutnya yang jauh lebih panjang dari chapter ini.
I Love potato, so, I Potato you 💕
🍃
Diantara jutaan manusia, jutaan masa, dan jutaan ruang. Kenapa Tuhan membiarkan aku berada pada tempat itu, detik itu, dan bertemu kamu pada saat itu?
🎼
"Obengnya, Sen, obengnya!" desis Rachel memerhatikan sekeliling. Jantungnya berdebar, takut-takut ada yang memerhatikan mereka. Namun dengan cepat Rachel menepis pikirannya, mana mungkin ada orang keliling sekolah jam dua malam.
Sena membuka tas, dengan penerangan seadanya, ia mencari obeng. "Lo jadi cewek sabar dikit napa Hel!"
"Gak ada neraka yang sabaran, Sen!" Gadis itu langsung mengambil obeng yang barusaja ditemukan Sena. Dengan susah payah, ia memasukan obeng pada lubang kunci sebuah pintu berwarna coklat. Pintu ruang musik yang kedap suara itu tidak mau bergeming sedikitpun. Untuk apa dua orang siswa itu kini membobolnya? Untuk apa lagi jika bukan karena nilai kesenian mereka yang jelas bobrok. Guru seni mereka sangat menyebalkan, tidak bisa berkomitmen. Jika mereka mendapat nilai C, maka akan dipastikan bahwa mereka akan tertinggal kelas.
"Sen! Ini gak bisa dibuk-" Belum sempat Rachel meneruskan ucapannya, mulut gadis itu sudah dibekap oleh tangan Sena.
"Sttt!" Telunjuk kiri Sena mengisyaratkan Rachel untuk diam. Suara derap langkah kaki beberapa orang kini terdengar, mungkinkah mereka ketahuan penjaga sekolah?
Ckrek!
Sebuah cahaya flash kamera kini terarah pada mereka. Refleks, Rachel melepaskan bekapan Sena lantas berlari secepat yang ia bisa. Bisa kacau kejadiannya jika sampai ketahuan pihak sekolah. Cowok yang memegang kamera itu tersenyum miring, di belakangnya terdapat salah satu pembimbing polisi keamanan sekolah, "Alsena Bramasta! Ikut saya ke ruang keamanan!" ucapnya tegas sementara Sena hanya pasrah. Benar, ide Rachel itu terlampau gila.
Rachel belum juga berhenti berlari meski kakinya sudah memintanya untuk berhenti. Deru napasnya seperti orang akan mati, ia melemas kemudian tersungkur diatas ubin koridor sekolah. "Gila!" decaknya menahan sesak, jantungnya seakan dipompa lebih cepat.
Cekrek.
Lagi-lagi cahaya flash itu mengenai wajahnya. Rachel menatap tajam ke arah cowok yang membawa kamera. "Sialan!" Rachel menggapai kertas berserak yang tak jauh darinya. Meremas kertas tersebut menjadi gumpalan bola dan melemparnya asal ke arah cowok tadi. "Nekat!" cibir cowok yang tidak Rachel ketahui namanya itu. "Yakin mau bobol ruang seni? Pasti buat ubah nilai doang!" Rachel membulatkan matanya seketika, melihat punggung cowok yang kini sudah berbalik dan semakin menjauh itu. "Heh lo tau dari mana!" teriak Rachel yang tidak bisa mengontrol volume suaranya, alhasil suaranya itu menggema di seluruh koridor.
Cowok itu menoleh pada Rachel yang kini masih setia dengan posisi duduknya yang tidak elegan. "Emangnya, menurut lo, buat apa gue dateng ke sekolah malem-malem?" ucap cowok itu pelan namun masih bisa terdengar jelas di telinga Rachel. Gadis itu mencoba mencerna kata-kata yang dilontarkan cowok berkamera, dan langsung beranjak ketika ia paham.
"Tunggu!" kejarnya seraya meringis.
Cowok itu sengaja melambatkan langkahnya, "lo mau ubah nilai juga?" tanya Rachel yang kini berjalan di sampingnya, dengan napas yang diatur gadis itu senormal mungkin. "Gue join!" Rachel tiba-tiba bersemangat lagi.
Cowok itu menaikan sebelah alisnya, "Partner lo lagi di ruang keamanan, lo tega?" Gadis itu mengangguk, "Nanti gue ubah nilai dia juga!" ucap Rachel meyakinkan dan kini langkah mereka kembali menuju ruang musik.
"Lo kok bisa bareng sama Pak Fatan? Kok lo gak ketangkep?" tanya Rachel penasaran, mereka sudah berada di depan ruang musik sekarang.
Lathan, Lathanael Kaisar - cowok yang membawa kamera tadi mengeluarkan sebuah obeng dari dalam tasnya. Ia tidak peduli dengan pertanyaan Rachel, karena yang ia inginkan sekarang adalah menuntaskan tugasnya.
Sebenarnya, Lathan bertemu dengan Pak Fatan di gerbang sekolah, dengan kamera yang ia bawa, ia beralasan untuk mengambil dokumen jurnal yang harus besok pagi selesai. Pak Fatan tidak percaya begitu saja, karena itu ia menemani Lathan untuk mengambil dokumennya.
Namun ternyata, Pak Fatan melihat keberadaan Rachel dan Sena- putra sang pemilik sekolah sedang berusaha membuka ruang seni dengan gerak-gerik yang mencurigakan.
Rachel sedikit tersentak ketika Lathan memukul pintu coklat tersebut, "Gak bisa dibuka!" ucap Lathan masih berusaha.
Cring
Terdengar sebuah benda yang jatuh dari dalam ruang seni tersebut. Beberapa detik kemudian, pintu ruang seni berhasil dibuka. Semuanya gelap, tangan Rachel merayap untuk mencari stop kontak lampu yang ia yakini berada di dekat pintu. Ketemu dan ya, Rachel langsung menyalakannya.
Namun, tubuh Rachel kini bergetar seketika. Tangannya mendingin dan lututnya melemas, hingga ia tidak mampu menahan berat badannya sendiri. Rachel terduduk dengan mata yang membulat sempurna.
Lathan pula terkejut dengan apa yang kini dilihatnya. Pemandangan yang tak seharusnya ada. Cepat-cepat Lathan mematikan kembali lampu. Seluruh tubuhnya terguncang hebat namun ia masih bisa mengendalikannya.
Lathan menutup pintu dan berlutut pada Rachel yang kini masih mematung. "Ayo!" bisik cowok itu langsung menuntun Rachel menjauh. Gadis itu menurut tanpa bantahan, berharap malam ini ia sedang bermimpi, tertidur pulas pada kasur empuk dan terbangun dengan normal di kamarnya. Namun sayang, apa yang dilihatnya adalah nyata.
🌱
TBC..
Gombalin Bella dong biar di up cepet, muehehehe.
Komen sampe sejuta aku up lagi deh:)
BellaAnjni
Author jahat yang lagi sedikit baik.
Bandung, 14 Februari 2019
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro