[Epilog]
"Bang," panggil gue sembari meraba-raba sekitar. Saat tangan gue disambutnya, gue sedikit lega biarpun enggak lega total. "Ini kita mau ngapain, sih? segala mata ditutup. Neng takut!"
Dia malah terkekeh. "Namanya bukan kejutan kalau gitu."
Decak kesal gue beri pada Abang yang gue yakin ada di samping kanan gue kini. Dulu, dia pernah beri gue hadiah yang bikin gue nangis-nangis padahal gue sudah capek nangis.
Gimana enggak. Gue diberi satu anak kucing yang hampir mirip sama Obel. Shocked banget gue begitu buka kandang berwarna pink dan mendapati kucing itu menyembulkan kepalanya. Sumpah. Mirip banget.
Sudah gue dalam keadaan hamil yang mellow banget, ditambah Abang beri hadiah enggak pakai aba-aba pula.
Biarpun sekarang kucing itu—Oreo, sudah lama meninggal karena sakit dan juga sudah tua juga. Sepuluh tahun menemani gue bersama mengarungi rumah tangga yang super seru sama Abang, Nebula, dan Venus.
"Pelan-pelang langkahnya," katanya memberi peringatan. Gue memekin kaget saat ada aliran air mengenai ujung kaki gue yang telanjang ini.
"Abang," cicit gue pelan.
"Enggak apa. Ada Abang di sini."
Sumpah, ya, gue merinding banget. Sudah angin malam enggak tanggung-tanggung bikin gue kedinginan ditambah suasana dalam pendengaran gue ini sunyi banget. Kayak enggak ada kehidupan kecuali ... debur ombak.
Memang gue lagi temani Abang dinas ke Lombok. Anak-anak gue tinggal sama Ibu karena ada ujian di sekolahnya. Gue anggap sebagai liburan di saat paling bikin gue merasa bersalah karena meninggalkan Venus sendirian mengerjakan tugasnya. Tapi ketahui lah, yang paling dewasa memang Nebula. Kakaknya itu selalu saja terdepan buat menjaga adiknya.
Bikin gue tenang meninggalkan mereka di rumah Ibu. Soalnya, Ibu sudah tua. Gue takut banget merepotkan beliau. Tapi bukan Ibu namanya kalau enggak kegirangan ditinggalkan bersama cucu-cucunya itu.
"Duduk di sini," katanya sembari menuntun gue untuk duduk di kursi kayu? Entah lah. yang jelas begitu bokong gue mendarat mulus di sana, gue cukup lega. Air yang tadi mengenai kaki gue, hanya karena gue melangkah menyusuri bibir pantai. Gue rasa begitu.
"Sudah bisa dibuka?"
"Sebentar lagi."
Tapi bertepatan dengan tangan gue ia lepas begitu saja yanng bikin gue gelagapan. "ABANG!!!"
"Abang enggak ke mana-mana, Neng. Selalu di dekat, Neng."
"Jangan jauh-jauh. Neng takut,"
Setua apa pun gue, tetap saja takut itu ada. Sepuluh tahun mengarungi rumah tangga bersama Abang bukan perkara mudah. Tapi karena dirinya yang memang bisa banget membuat gue selalu menjadi diri gue yang apa adanya, alhamdulillah, berulang kali ucapan syukur itu gue ucapkan lantaran hingga kini, ujian rumah tangga kami bukan karena orang ketiga.
Pertengkaran, selisih pendapat, perbedaan usia dalam menyikapi sesuatu, adalah hal lumrah yang gue sam Abang bisa lalui. Selama bersama, Abang enggak pernah membentak gue apalagi menggunakan tangannya yang kekar dan kuat menggendong gue ini, mendarat mulus ke tubuh gue. Menimbulkan luka di sekujur tubuh gue pun di hati.
Enggak pernah.
Usaha Abang berkembang pesat. Langgan*n Abang banyaka tersebar sampai Jabodetabek. Mungkin pelayan*n yang ramah dari Abang juga tokonya yang lengkap menyediakan apa saja kebutuhan buat hewan peliharaan, yang membuatnya cepat dikenal. Belum lagi, Abang enggak takut menerobos market place yang gandrung hingga kini.
"Nah, sudah boleh dibuka."
Kata-kata itu bagai sihir di tubuh gue. Gegas, gue lepas penutup yang tadi menghalangi penglihatan gue dan ... Abang selalu sukses bikin gue merasa jadi perempuan paling spesial yang ada di dunia ini.
Semua keluarga gue berkumpul. Jangan lupa dua anak gue juga ada di sana. Masing-masing dari mereka bawa bingkisan yang sekarang bergerak mendekat ke arah gue.
"Happy annivesary, Mami! We love you!" pekik mereka kompak. Gue? yah ... nangis aja lah.
"Mami selalu, deh, merusak suasana. Bukannya terharu malah nangis!" Venus berkata tanpa memedulikan kalau gue ini ibunya yang bisa melayangkan satu cubitan kecil di pinggangnya. Tapi enggak. Itu cuma pemikiran gue aja. Gue merentangkan tangan, lalu mereka dengan buru-buru masuk dalam dekap gue.
Nebula, sudah berusia sepuluh tahun tapi tingginya ... masyaAllah. Sementara Venus? Gadis cantik berambut agak ikal ini memiliki postur tubuh seperti gue. Dua anak gadis gue sungguh bikin hidup gue berwarna banget.
Mereka segera meminta gue untuk membuka kado yang dibawakannya. Yang satu memberi gue tas, katanya biar kalau arisan di komplek bisa pamer. Gue tergelak mendengar alasan venus seperti itu. sementara yang satu lagi, memberi gue gelang dengan bandul masing-masing inisial nama kami. gelang emas putih aygn sederhana tapi dalam sekali maknanya. Nebula berikan katanya dari hasil menabung uang jajan.
Ya Allah, nikmat mana lagi yang aku ingkari? Diberi segala rezeki seperti ini? Kalau hamba enggak pandai bersykur, akan jadi apa hidup hamba ini?
Lalu di belakang mereka, ada Ibu dan Mama. Jangan lupa Bapak. Ah, gue jadi ingat Ayah. beliau berpulang dua tahun lalu. Stroke yang bikin Ayah kalah. Gue sedih bukan main saat itu. sedewasa apa pun gue, kalau di depan Ayah, gue tetap anak gadisnya yang selalu pengin ia lindungi. Berhubung Ayah kini enggak ada, Bapak selalu menjadi tempat gue bicara banyak hal mengenai obrolan seputar politik. Bapak selalu menggemari pembicaraan ke arah sana.
Usianya boleh sudah senja tapi sungguh, isi kepalanya selalu fresh. Gue beruntung, bisa mengenal Bapak demikiaan dekat.
Satu per satu dari mereka, memberi pelukan hangat. Dan saat itu lah gue menyadari, kalau Abang enggak ada di samping gue lagi.
Baru saja gue akan bertanya, suara dari salah satu sudut restoran—iya, ini restoran di bibir pantai yang gue rasa Abang sewa untuk acara malam ini. Niat banget, kan?
"Happy anniversary, Neng Arin. Istri Abang. Yang sampai detik ini, bikin Abang jatuh bangun mengejar semua perhatiannya. Cintanya. Juga hidupnya."
Dituntun Nebula, gue bangkit dan berjalan ke arahnya. Gue ingat banget, lekat di memori mengenai sosok yang menjadi suami gue. Duduk santai di depan piano. Menyanyikan lagu yang selalu gue kenang sebagai perwakilan isi hatinya.
"Terima kasih sudah menerima Abang yang banyak kurangnya ini."
Genggaman tangan gue pada Nebula, mengencang.
Dan suara denitng piano itu mengalun, membuat bulu kuduk gue merinding tanpa ampun.
Hanya kamu di hatiku, yang mampu mengertiku
Menjadikan diriku yang lebih baik
Aku menyayangi kamu
Kamu selalu setia menemani diriku
Abang selalu bisa membuat getar di hati gue enggak pernah redup barang sesaat. Enggak pernah ada sesal yang kini gue ucapkan karena menikah dengannya. Mungkin benar yang dikata orang, restu orang tua adalah jalan menuju berkah.
Cinta kita memang tidak semudah yang dibayangkan
Dulu kita saling menyakiti dan hampir menyerah
Tapi kini kita ada 'tuk saling menyempurnakan
'Ku berdoa untuk bisa hidup dan menua bersamamu
Dalam lirik ini pun benar, gue pernah hampir menyerah. Mengabaikan cinta yang seharusnya bisa berkompromi asal jangan ada pengulangan salah kembali. Gue dulu masih egois. Masih enggak memikirkan banyak sebab dan akibat. Gue jadi ingat, mungkin kalau bukan karena Mae yang memberikan banyak nasihat untuk gue, gue dan Abang enggak ada di sini.
Merayakan malam indah bersama keluarga yang bahagia.
Cinta kita memang tidak semudah yang dibayangkan
Dulu kita saling menyakiti dan hampir menyerah
Tapi kini kita ada 'tuk saling menyempurnakan
'Ku berdoa untuk bisa hidup dan menua bersamamu
Cinta kita memang tidak semudah yang dibayangkan
Dulu kita saling menyakiti dan hampir menyerah
Tapi kini kita ada 'tuk saling menyempurnakan
'Ku berdoa untuk bisa hidup dan menua bersamamu
Hidup dan menua bersamamu
Menua bersamamu, semoga saja
"Mau, kan?" tanyanya yang kini sudah berdiri di depan gue. menatap gue dengan pandangan penuh cinta. Cintanya yang demikian besar. Yang membuat gue selalu dan selalu merasa seperti perempuan paling bahagia. Ia beri segalanya untuk gue. bukan kemewahan semata. Bukan. Gue tau kapasitas dirinya memberi gue dalam hal material. Bukan itu.
"Kapan, sih, Neng nolak?" Gue enggak mau menahan buncah bahagia yang sudah menyelimuti diri. sepuluh tahun kami terlewati dengan baik dan harap gue sungguh ... tahun depan, depannya lagi, dan terus saja di depannya lagi, kami tetap saling menjaga.
Senyum manis yang selalu menghias bibir Abang, tercetak di sana. Pria yang gue cintai segenap hati ini, mendekat. Melabuhkan satu cium setelah sebelumnya berkata demikian lirih, "Abang cinta Neng. Selamanya."
Sebelum gue kehabisan napas, dalam jeda yang Abang beri untuk kami mengisi paru-paru karena sungguh, ciuman ini enggak ingin kami lepaskan begitu saja. "Neng juga cinta sama Abang."
Gue tau, gue enggak pernah mengatakan hal ini padanya. Sepuluh tahun gue tahan bibir ini untuk enggak mengucapkan kata-kata ini tapi seluruh hidup gue, gue refleksikan untuknya. Sebagai akibatnya, Abang tampak kaku dan mengerjap pelan.
"Coba ... bilang lagi? Abang enggak salah dengar, kan?"
Gue menggeleng pelan. "Enggak. Neng memang cinta sama Abang." Telapak tangan gue menyentuh rahangnya yang masih menjadi favorit gue hingga kini.
"Bilang lagi boleh, kan?"
Tawa gue berderai. "Selamanya juga bakalan Abang dengar. Kalau Neng Arin-nya ini, cintanya Cuma untuk Abang."
****
Akhirnya kisah Arin-Hulk menemukan ujung. Hahhahha.
Anyway, bisa dibilang kisah mereka ini PREKUEL dari salah satu series DAKI MONKEY.
Yaps bener banget. [not] Finding Nemo ini PREKUEL dari WHISKEY yang nanti aku tulis ulang dulu, ya. Semua ektra kisah arin dan Hulk ada di Whiskey. Gimana perjalanan Rasyid mengenal Arin dan perjuangannya mendapat maaf.
So ... tunggu mereka rilis ya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro