Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[9]

Kita kencan, padahal cuma keliling mall doang. Di area sale banyak diskon, tapi gue sama sekali enggak berselera sedikit pun. Malas rasanya kalau harus jalan bareng sama orang yang enggak gue sukai ini. Apalagi gue jalan kali ini dengan sangat terpaksa.

Dia enggak buat salah, sih, bicara saja irit banget. Apanya yang mau kenal lebih jauh kalau dia sendiri aja pendiem banget gini. Buang-buang waktu dan tenaga banget, kan? Mungkin dia merasa gue terpaksa makanya enggak bicara apa-apa.

Salahnya sendiri.

"Arin ada yang mau dibeli?"

"Enggak."

"Jadi... kita ngapain di sini?"

Rasanya gue mau tepuk jidat. "Yang ngajak gue jalan siapa?"

Malah menggeleng pula tuh orang!

"Sebenarnya Abang enggak terlalu suka suasana mall. Abang lebih suka duduk di kedai makan atau menikmati suasana sembari ngopi. Enggak terlalu suka tempat ramai begini."

"Yang ngajak ke sini siapa?" Gue bersedekap. Mendongak sedikit agar mata kami bisa bertemu. Serius deh, kalau bicara sama si Hulk harus banget angkat kepala.

"Yah... Abang pikir karena kamu suka belanja, mungkin mall pilihan yang tepat."

Gue mendengkus enggak suka. "Biarpun gue suka shopping bukan berarti lo enggak bisa mengutarakan keberatan kalau enggak suka sama tempatnya."

"Belajar yang sopan kalau bicara bisa, kan, Rin?"

Gue berdecih. Dia mengabaikan. Matanya berkeliling memperhatikan sekitar. "Ada tempat ngopi di sini? Yang ada pisang bakarnya mungkin? Indomie rebus?"

"Mana ada! Itu sih adanya di warung indomie, Abang!" geram gue tertahan.

"Kamu keberatan enggak kalau kencannya di sana? Abang lapar pengin makan indomie pakai telur dua."

"Dekat kantor ada kafe yang kayak Abang mau. Outdoor juga. Mau ke sana aja?"

Dia senyum dan mengangguk kayak anak kecil mau dikasih permen. Gue mencibir. "Lain kali, kalau enggak suka sama tempatnya, bilang. Jangan diam aja. Arin bukan orang yang bisa membaca pikiran orang lain."

"Maksud hati pengin bikin Neng terkesan tapi sepertinya kamu enggak suka kalau ditemani ke mall, ya?"

Ck! Orang ini! Enggak ngerti bahasa manusia atau apa, sih? Gue jalan mendahului sambil menghentak saja lah! Meninggalkan si Hulk yang kayaknya melihat gue dengan pandangan bingung.

Di mobil, gue masih mempertahankan bibir gue yang manyun. Dari sudut mata gue, dia sesekali melirik ke gue sambil senyum-senyum enggak jelas. Dipikirnya gue bakalan tegur dia? Enggak.

"Ehm... Abang enggak tau di mana, Rin. Ini arah ke kantor kamu atau gimana?"

Gue tepuk jidat. "Iya. Kemarin Abang pakai maps sekarang nanya Arin?"

Dia tertawa malah. "Ya ampun. Abang masih harus menyiapkan banyak stok sabar, soalnya Arin kalau ditanya ketus terus. Jadi ketimbang dijawab tapi enggak niat, mending tanya sama google."

Kali ini gantian gue yang tertawa. Alasannya bisa banget! Eh... ternyata dia enggak berhenti sampai di situ.

"Coba kalau bicaranya seperti itu. Ada ketawanya, ada senyumnya. Enggak ketus terus. Pasti Abang ajak Arin ngobrol terus."

"Oh, Abang ini bisa mempergunakan bibirnya buat bicara? Enggak cuma diam dan hobinya melarang ini dan itu?"

Lagi-lagi dia tertawa. "Abang senang bicara, kok. Bukan tipe orang pendiam gitu. Dan melarang Neng itu untuk sebuah kebaikan. Bukan untuk hal lainnya, kok. Keberatan, ya?"

Gue enggak tau apa yang kami bicarakan sepanjang keluar parkir mall sampai patung Pancoran. Sebentar lagi kami tiba di tempat tujuan; kedai Whatsup di bilangan Tebet. Banyak hal yang tanpa sadar gue bicarakan dengan si Hulk ini. Ternyata memang benar, dirinya ternyata hobi bicara. Segala hal remeh ia kemukakan dengan cara yang asyik bikin gue pun enggak berhenti menanggapi.

Pun mengenai pendapatnya akan sesuatu hal. Dia menyanggah tapi ada sesuatu yang menjadi alasannya. Misal penggunaan helm yang jarang dipakai secara benar dan layak bagi pengendara motor di jalan. Katanya, helm itu penting banget. Enggak bisa asal digunakan. Harus safety ridding. Si pengendara sudah hati-hati dan enggak melanggar aturan, tapi belum tentu pengendara lain seperti itu.

Malah bikin bahaya orang lain dan untuk meminimalisir, paling enggak, penggunaan helm yang baik dan sesuai standart itu perlu. Gue sampai melongo mendengar ceramahnya itu. Dan di ujung khotbahnya, dia berkata, "Nanti Abang belikan helm yang bagus unutk Arin pakai ke kantor. Jangan cuma sebatas penghias kepala selama berkendara."

Gue terang saja ngakak. Sampai rasanya mau nangis saking gelinya. "Aduh, helm Arin di rumah sudah bagus banget. Warna pink pula. Enggak usah." Gue mengibaskan tangan.

"Suka pink, ya? Oke. Nanti Abang carikan yang warna pink. Fullface atau halfface?"

"Enggak usah. Di rumah masih bagus, kok. Dan sesuai standart." Gue tertawa lagi karena mengingat betapa seriusnya si Hulk bicara mengenai standart mengenakan helm. Mukanya enggak ada ekspresi tapi nada bicaranya berapi-api gitu. Kan, lucu.

Gue langsung beku saat dia menyentuh ujung kepala gue. Enggak lama, enggak sampai dua menit tapi efeknya! Gue sampai kaku saat menoleh ke arahnya.

"Ukurannya apa?"

"Hah?"

"Ukuran yang Arin pakai?"

Gue mengerjap bingung. Tangan yang tadi dia pergunakan untuk menyentuh kepala gue, sudah kembali mengendalikan setir. Matanya juga sudah menghadap jalan raya. Fokus.

"Helm?"

"Iya. Memang ukuran apa? Sejak tadi kita bicara tentang helm, kan?"

"M," sahut gue singkat. Jantung gue masih ada di tempat, hamdalah. Karena sentuh tadi, gue merinding sendiri.

***

Dia benar-benar mewujudkan apa keinginannya mengenai makan. Benar-benar indomis rebus lengkap dengan telur dua dan kornet. Oh, tambahan sawi dan irisan cabai. Luar biasa.

"Lapar?" tanya gue spontan.

"Enggak terlalu. Ini iseng."

Ya Allah. Gimana kalau dia lapar, ya? Gue jadi ingat saat dirinya makan di rumah dengan cah kangkung. Nambah sampai dua kali, lho. Belum lagi, dia habiskan cah kangkung itu tanpa sisa. Ada sisa sedikit; kuah dan potongan tomat.

"Arin cuma pisang bakar saja? Enggak lapar memangnya? Atau ada nasi sama ayam bakar mungkin di menu. Makan yang banyak, Rin."

Gue berdecih. "Ogah. Takut gendut."

dia cuma geleng-geleng. Selebihnya, gue menikmati sajian yang ada sembari sesekali memperhatikan Hulk makan. Sumpah. Makannya tuh kayak yang berselera banget. Padahal ini indomi biasa. Gue juga bisa bikin di rumah. Mau sepanci penuh juga bisa gue buatkan. Dia kayak yang ... meresapi banget gitu.

"Rin, dimakan. Jangan cuma diacak-acak gitu. Enggak baik."

Gue terkesiap. "Eh, aku makan, kok."

"Kalau makannya tadi pakai bismillah, pasti lebih enak. Kamu bengong ngeliatin Abang terus, sih. Kenapa? Mau mienya? Kalau mau tinggal bilang sama pelayannya. Pesan."

Mata gue berkedip heboh. "Eh, enggak gitu. Arin baca doa, kok, tadi. Lagian, siapa juga yang ngeliatin Abang. Rajin amat ngeliatin orang makan," dengkus gue enggak terima.

"Abang senang Arin mau bicara lebih sopan. Mau bicara banyak di pertemuan singkat ini."

Gue buru-buru minum biar mengurangi gugup yang tau-tau melanda.

"Besok Abang terbang jam 10 pagi. Arin masih cuti atau sudah kembali kerja?"

Ini gue kayak dihadapkan sama pilihan sulit. "Sudah kembali kerja," dusta gue.

"Alhamdulillah hari ini dikasih kesempatan bicara banyak sama calon istri." Dia menatap gue tanpa putus. Bikin gue tau-tau dihinggapi gugup yang banyak.

"Ehm... di sana Abang kerja apa, sih?"

Dia tersenyum dan sumpah, senyumnya bikin gue enggak kedip. Enggak selebar jalan tol, hanya menarik sudut bibirnya sedikit, tapi giginya yang rapi dan putih itu tampak sedikit. Dan itu ... manis banget.

"Dokter hewan."

Jadi... Ibu enggak bohong, ya? Duh, Rin, enggak mungkin Ibu bohong. Gue aja yang memang enggak percaya gitu saja. Soalnya si Hulk ini lebih pantas kalau bilang dirinya tentara atau polisi sekalian. Besar tinggi tegap gitu. terus, berhadapan sama anak-anak dalam kesehariannya? Apa enggak kabur para bocah di dekatnya?

Kan ... gue jadi bertanya-tanya. Wajar kalau enggak percaya. Ya, kan?

"Tapi aku tetap enggak mau kalau harus pindah ke Makasar setelah nikah nanti. Biasa kerja soalnya dan belum ada niat resign." Rasanya ini memang perlu gue kemukakan. Jangan sampai nanti setelah menikah, dia dengan seenaknya bilang, "Istri itu harus nurut sama suami."

Memang, itu benar adanya. Tapi gimana, sih? Makasar dan Jakarta itu jauh. Gue enggak pernah jauh dari Ibu dan Ayah. Kalau gue kenapa-napa di sana? Gue sendiri belu mengenal baik si Hulk. Kalau gue dibanting, digilas, ditindas, atau paling parah dianiaya? Gimana nasib gue? Secara gue sama dia kayak kurcaci dan raksasa.

Dia berdeham sekilas, meminum air mineralnya dan kembali menatap gue.

"Oke, kalau itu keputusan Arin. Abang juga enggak maksain karena tau, Arin suka dengan pekerjaannya, kan?"

"Iya lah."

"Abang pernah bilang, tunggu satu tahun untuk bisa Abang kembali kerja ke Jakarta. Sementara waktu LDR dulu. Itu pilihan yang berat untuk Abang sebenarnya."

Gue mencibir tapi enggak mengurungkan niat untuk bertanya, "Memang di sana kontrak atau gimana, Bang? Arin enggak paham."

"Sudah tetap dan punya jadwal bergilir di beberapa rumah sakit."

Gue mengangguk saja.

"Rin,"

"Ya?"

"Kalau Abang sudah di Makasar lagi, Abang diperbolehkan sering telepon atau video call Arin, kan?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro