Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[8]

Gue berakhir di kafe yang sering gue kunjungi sekadar untuk menemani Hekky minum kopi. Di depan gue duduk pria yang enggak putus-putus menatap gue dengan pandangan rindu.

Sama. Gue juga. Kangen banget biarpun beberapa hari lalu enggak sengaja ketemu. Tapi entah kenapa suasana jadi canggung gini. Hekky lebih banyak diam ketimbang biasanya. Sudah orangnya memang pendiam, ditambah sekarang? Gue sendiri masih mencari topik apa yang bagus untuk dibicarakan sementara gue masih takut, ujung-ujungnya kita membahas hubungan yang enggak pernah ada ujungnya ini.

"Arin cuti?"

Pertanyaan macam apa itu? Jelas kalau hari kerja gue kelayapan di luar kantor, artinya gue cuti. Pantang buat gue membolos kerja biarpun kerjaan gue untuk sebagian orang menjemukan. Berkaitan sama uang dan nominal angka yang enggak bisa masuk ke rekening gue.

"Iya." Begonya gue menjawab. Astaga. Secanggung ini kah suasana kami?

Lalu gue dengar dengan jelas dia menghela napas panjang. Seperti mau bicara tapi ia tangguhkan gitu. gue jadi penasaran, kan. "Mas Hekky kenapa?"

Dia cuma senyum. "Mau mastiin aja, sih."

Kening gue berkerut. "Mastiin apa?"

"Arin serius sudah bertunangan dan mau menikah dalam waktu dekat ini?"

Pernah dengar suara petir tanpa ada mendung atau gerimis di siang hari enggak? Nah, persis seperti ini yang gue rasa. Pertanyaan Hekky bikin gue ketar ketir mendadak juga enggak bisa berkutik barang sedikit.

"Ah, ngeliat ekspresi kamu berarti hal itu benar, ya?" Hekky tersenyum kecut. Gue menelan ludah yang rasanya seperti ditabur duri ikan yang banyak banget. Bikin nyangkut di tenggorokan yang membuat gue makin susah bernapas.

"Mas masih sayang sama Arin," katanya sembari menggenggam tangan gue. Erat. Ya Allah, gue sendiri aja masih merasakan hal yang sama. "Dengan cara apa lagi biar orang tua Arin paham?"

Gue menggeleng dengan mata yang sudah basah air mata. Tiap kali bertemu, pasti ujung-ujungnya nangis. Padahal setiap kali bertemu Hekky, pasti gue bisa tertawa lepas juga menikmati hari. Sebelum Ibu dan Ayah menvonis kalau hubungan gue enggak mendapat restu.

Sakit rasanya.

"Tapi rasanya terlambat, ya? Arin sudah ada yang melamar dan setuju."

Mata gue mengerjap pelan. "Setuju? Dari mana?" Setengah berteriak gue berkata. Enak saja Hekky menyimpulkan hal itu. "Mana ada begitu!"

Hekky masih dengan senyumnya yang kecut itu. "Cincinnya dipakai."

Refleks gue tarik tangan gue yang dia genggam. Menyembunyikan yang gue rasa percuma banget karena dia tau. Sial banget memang cincin ini!

"Siapa pria yang beruntung itu, Rin? Mas boleh tau?"

Bahu gue merosot tiba-tiba. "Bisa enggak bicara hal ini enggak? Aku malas banget."

"Maunya enggak bicara hal itu, tapi entah kenapa ucapan pria yang angkat telepon Arin kemarin bikin Mas kesal."

Gue mengerjap. "Si Hulk bilang apa?"

"Ya?"

"Itu... cowok yang angkat telepon Mas Hekky. Bilang apa dia?" Gue yakin banget telepon itu pasti diangkat. Dia enggak ngaku pula. Ditanya malah cuma mengedikkan bahu gitu. Kan... dugaan gue tepat! Pasti ada yang dia bicarakan sama Hekky.

"Namanya Hulk?"

Gue mengusap wajah dengan frustrasi. "Bukan!"

Hekky malah tertawa kecil. "Kayaknya dia bisa bikin kamu stress tiba-tiba, ya, Rin?"

Gue mencebik saja. bukan stress lagi, gue ini sudah setengah gila kayaknya menghadapi si Hulk yang enggak tau malu itu. Sudah enggak punya banyak ekspresi selain datar, selalu seenaknya sama gue, belum kenal banget tapi nyebelinnya ngalahin orang kantor yang ujung-ujungnya juid sama hidup gue!

Argh!!!

"Kapan nikahnya?"

"Mas... please!" Gue menggeram menahan emosi. "Bisa enggak, bicara hal lain aja? Arin serius."

"Mas juga maunya bicara hal lain, Rin. Hal tentang kita. Hal yang seharusnya kita bicarain karena mau nikah. Tapi kenapa, sih, orang tua kamu egois banget."

"Kok, Mas nyalahin Ibu dan Ayah?"

"Iya, lah!"

Baru kali ini gue lihat seorang Hekky Ramadhan yang biasanya kalem dan enggak banyak omong, malah berkata seperti ini. Gue sampai mengatupkan bibir berulang kali. Bingung sendiri harus merespon bagaimana tuduhannya. Bukan tuduhan, sih. kata-kata itu benar adanya hanya saja...

"Mas Hekky enggak berjuang lebih keras lagi," lirih gue. pelan banget sembari menunduk. Karena memang ini yang gue rasakan. Saat Hekky ditolak tegas Ibu dan Ayah di rumah, dia nyerah. Untuk pertama kalinya, gue perkenalkan Hekky, Ibu dan Ayah terima baik-baik.

Gue masih ingat semuanya, kok. Gue sudah gembira banget saat Ibu bilang, "Ya, sudah. Bawa pacar kamu ke rumah. Kenalkan sama Ibu dan Ayah. Enggak baik pacaran terlalu lama. Kalau dia serius, bisa segera nikah saja. Toh kamu juga sudah cukup usia."

Merasa dapat lampu hijau yang terang benderang, gue bicara sama Hekky semangat banget. Pun dirinya, sih. Bahkan pria berkacamata itu mau repot-repot bertanya pakaian apa yang kira-kira pantas untuk ke sana. Membawakan apa untuk Ibu dan Ayah. Sungguh, gue happy banget saat itu.

Hekky tiba di rumah, Ibu dan Ayah masih menyambut baik. Gue enggak tau apa yang mereka bicarakan saat gue membuat minum dan menyajikan camilan. Saat gue keluar dari dapur, air muka mereka enggak ada yang happy lagi. Terutama Ibu. Lalu Hekky pamit pulang tanpa menyentuh sedikit pun suguhan dari gue.

Malamnya, gue disidang habis-habisan tanpa tau salah gue apa. Dan final dari semuanya, restu untuk melangkah dan menapaki dunia yang bernama rumah tangga bersama Hekky Ramadhan, sirna gitu aja.

Gue tanya sama Hekky pu, dirinya enggak tau kenapa mereka berubah setelah bertanya ini dan itu. Pun penolakan yang terdengar tegas dan menyakitkan Hekky terima. Gue sampai enggak bisa berkata apa-apa saat Hekky mengeluarkan unek-uneknya.

"Enggak berjuang lebih keras?" tanyanya dengan nada seolah menyudutkan gue di pojok kafe. Gue sampai enggak berani menatap matanya. "Aku berusaha banget, Rin. Tapi selalu ditolak."

"Dari mana usahanya? Setelah Ibu dan Ayah menolak, Mas enggak coba mengambil hati mereka lagi. Mas seharusnya bisa meyakinkan mereka dong. Masa aku? Aku sudah banyak berjuang meyakinkan Ibu kalau yang kuinginkan Cuma Mas Hekky." Ini benar. Sejak hari penolakan itu, gue selalu berusaha sungguh-sungguh meyakinkan Ibu kalau Hekky ini baik. Gue sengaja berjarak dulu biar Ibu dan Ayah paham, gue ini enggak main-main sama Hekky.

Sering gue pinta Hekky sekadar menuruti saran gue; datang berkunjung sesekali bertemu Ayah, bicara antar lelaki. Ambil hati Ibu yang gue tau banget, Ibu hatinya lembut kayak kapas. Berusaha lebih keras meyakinkan mereka berdua kalau kami saling cinta.

Tapi yang gue dapat? Enggak ada.

Setelahnya, ya sudah... Hekky enggak pernah muncul lagi ke rumah. Walau berat gue akui, gue masih cinta sama dia. Enggak terlalu peduli bagaimana perjuangannya untuk gue tapi karena disudutkan seperti ini, gue jadi berpikir.

Sebenarnya siapa yang paling keras berjuang?

"Rasanya juga sia-sia kalau bakalan ditolak lagi," cibirnya dengan nada yang kentara banget enggak suka.

Kira-kira gue ini bodoh enggak, ya, kalau mempertahankan Hekky seperti ini? Tapi gue masih sayang. "Jadi Mas Hekky mau bagaimana? Arin bingung."

Kami sama-sama diam. Sesekali gue meminum capucinno iced yang ternyata masih belum tersentuh ini. Sekadar membasahi tenggorokan karena pembicaraan ini bikin kepala gue makin sakit.

"Kalau Arin memang sayang sama Mas, tawaran yang pernah kamu ucapkan masih berlaku?"

***

Gue berjalan lunglai setelah diantar taksi. Sengaja gue minta turun di depan dan masih menyisakan jarak yang bikin gue jalan kaki gini. Gue butuh sendiri dan berpikir biarpun tadi di mobil gue hanya sama si supir, tetap saja gue enggak bisa berpikir jernih.

Kapan gue bisa berpikir bagus kalau otak gue diserang terus begini?

Belum habis pusing yang melanda diri gue, mobil yang kemarin dikendarai si Hulk ternyata parkir persis di samping rumah. Ngapain coba?

Tadinya gue mau misuh-misuh.

Tadinya gue pengin usir dia biar gue bisa istirahat.

Tadinya juga gue berniat banget enggak mau bertemu sama si Hulk.

Tapi...

Saat gue masuk pekarangan rumah di mana dekat garasi mobil Ayah biasa terparkir, si Hulk sedang mainan sama cangkul. Merapikan taman Ibu yang enggak boleh sembarangan disentuh. Bahkan Ayah pernah dimarahi Ibu lantaran salah naruh pot. Pot lho... bukan tanah yang sedang diacak-acak sama si Hulk ini!

"Assalamu'alaikum," sapa gue biar bagaimana pun gue masih punya sopan santun. Apalagi ada Ibu yang terlihat jadi mandor di taman.

"Kamu enggak kerja, Rin?"

Gue mencibir ke arah Ibu yang enggak menjawab salam gue. "Jawab dulu salam Arin."

Ibu tertawa. "Wa'alaikum salam."

Gue salim penuh khidmat ke Ibu, enggak lupa kecup pipinya. Yah... kalau gue lagi damai sama Ibu, hal ini selalu gue lakukan kok. Biar bagaimana pun, Ibu adalah orang yang paling gue sayang sedunia.

"Iya, Arin hari ini enggak kerja. Habis dari rumah Mae."

"Gimana dia? Sudah lebih baik?"

Gue duduk di samping Ibu. "Sudah. Tapi sama bos enggak boleh kerja dulu. Paling juga disuruh resign nanti."

"Itu pertanda suaminya sayang sama si Mae," kata Ibu sembari terkekeh. "Eh, Nak Rasyid nanti pot lidah buayanya dibongkar dulu yang itu. Anaknya sudah banyak. Mau dibagi ke tetangga."

"Iya, Bu."

Dia menoleh ke arah kami. Sekilas si Hulk menatap gue tapi langsung beralih ke tanah lagi. Memangnya dia berharap apa sama gue? Gue senyum ke dia? Enggak deh.

"Biasa kerja tau-tau di rumah itu enggak enak, Bu. Mae sih biarpun enggak kerja mainan sama laptopnya aja bisa menang kompetisi."

Ibu cuma menggeleng atas respon gue. Tapi gue serius, lho. Mae itu sebenarnya keren. Orang saja memandang sebelah mata tapi gue enggak. Gue selalu dukung Mae dengan kegiatan anehnya itu. Biarpun aneh tapi menghasilkan uang banyak. Kecipratan pula gue.

"Ibu buatkan minum dulu. Kamu temani Rasyid. Jangan judes-judes. Ingat, dia itu calon suami kamu."

Gue mendengkus tapi berusaha enggak kentara.

"Masih cuti?" tanyanya setelah selesai memisahkan pot yang tadi Ibu maksud.

Kepala gue mengangguk saja sebagai jawaban.

"Kenapa enggak balas pesan Abang sejak pagi?"

Gue tau sejak pagi memang dia mengirim gue beberapa chat dan sengaja enggak gue balas. Buat apa? Gue bukan seseorang yang punya kewajiban memberitahu dia kegiatan gue, kan?

"Padahal kalau tadi dibalas, Abang bisa temani cuti. Shopping mungkin."

"Duh, makasih tawarannya."

Dia duduk di samping gue setelah mencuci tangannya yang kena tanah. Titik keringat sudah ada di bagian dahinya. Belum lagi kaus yang ia kenakan, basah peluh karena mungkin dia sudah agak lama berkutak dengan taman Ibu.

"Besok pagi Abang kembali ke Makasar."

Gue diam saja. Mau mengeluarkan ponsel, gue masih belum berani. Nanti disita sama dia lagi.

"Abang harap, Neng jaga hati karena suka atau enggak suka, Neng calon istri Abang."

Hati gue rasanya kayak ditusuk sama paku karatan dan dicabut paksa. Perih, sakit, dan mengeluarkan banyak darah juga bekas yang enggak sembuh. Gue sama sekali enggak merespon ucapannya dia. Justeru kepala gue sedang mengingat banyak pembicaraan dengan Hekky yang masih belum tiga jam berlalu.

"Lo orang mana, sih, aslinya?" tanya gue tiba-tiba. Entah kenapa gue pengin banget bertanya mengenai hal ini.

Eh... si Hulk malah tertawa. Kali ini sampai matanya segaris gitu. Selain badannya yang memang besar dan tegap juga tinggi menjulang mirip raksasa itu, wajahnya sebenarnya manis. Kulitnya enggak putih tapi enggak cokelat gosong juga. Rambutnya agak ikat dan potongannya rapi. Bulu matanya agak lentik dan dia punya alis yang tebal gitu.

Dia turunan arab kali, ya?

"Abang orang betawi." Dia berdeham sekilas yang membuat gue mengedipkan mata dua kali. Mengusir bayang pengamatan gue akan sosoknya yang duduk di samping gue ini.

"Kok kerjanya ke Makasar?" Gue langsung membekap mulut dengan pertanyaan aneh ini.

"Memang enggak boleh kalau kerjanya di Makasar?"

Gue mengedikkan bahu saja. Lebih baik gue mandi dan berganti pakaian, atau malah gue mending tidur karena capek juga seharian tadi di luar biarpun enggak ngapa-ngapain.

"Rin,"

Langkah gue berhenti dan menoleh ke arahnya. "Kenapa?"

"Kencan lagi? Kali ini dengan benar?"

Kening gue berkerut dan baru akan menolak penuh tegas, Ibu dari belakang gue yang menimpali. "Iya, Rasyid ajak aja si Arin jalan ke luar. Harus saling kenal satu sama lain. Kalian mau berjarak gitu. Arin mau mandi dulu pasti. Ya, kan, Nak?"

Selesai hidup gue.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro