Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[66]

Gue ngalah total. Parah banget memang kalau semuanya sudah bertitah. Gue sama sekali enggak bisa bantah. Sudah gue enggak ikut gathering kantor karena hamilnya bikin gue enggak leluasa bergerak, belum lagi dua minggu lalu gue masuk rumah sakit lagi. Kelelahan.

Dan final dari semuanya, gue sekarang ada di ruang Pak Bos. duduk sembari menunggunya membaca surat yang gue beri.

"Kalau itu keputusan kamu, saya enggak larang."

Iya, lah. Dia bolak balik tau keadaan gue gimana.

"Tapi kalua sudah bosan di rumah, pintu kantor saya terbuka lebar buat kamu."

Gue mengerjap heboh. "Eh, serius, Pak?"

Pak Satria, yang gue kenal kaku, nyebelin, tukang perintah, enggak ada ramah-ramahnya, maunya selalu benar, lelaki perfectionist, tapi sayangnya ganteng sampai level maksimum itu terssenyum lebar. "Kenapa enggak serius? Kamu termasuk yang tahan sama saya dalam hal pekerjaan. Kinerja dan ketelitian kamu, saya suka. Jarang ada staff keuangan seperti kamu, Rin. Tadinya, selepas kamu melahirkan nanti mau ada promo jabatan buat kamu. Tapi saya dikasih hadiah surat ini."

Gue terkekeh. "Permintaan suami dan keluarga, Pak."

"Kamu benar. Utamakan keluarga dan juga suami. Toh saya yakin, kamu masih bisa berkarya di rumah. Sementara ini, lebih baik jaga kondisi selama kehamilan."

Pak Bos jadi bijaksana banget, lho, akhir-akhir ini. Enggak pernah cemberut kalau gue enggak ada di meja karena mendadak pusing. Atau pas gue enggak teliti pada bagian akhir, hanya dicoret dan minta koreksi segera tanpa misuh-misuh.

Sudah jinak, kalau kata Sapto begitu.

"Jangan lupa semua laporan ditake over dengan baik ke Bu Ira."

Gue mengangguk sebagai jawaban. Lalu tangan gue terulur menyambut tangan Pak Bos yang lebih dulu mengarah ke gue. "Terima kasih, ya, Rin. Sudah bantu saya di sini selama beberapa tahun belakangan. Sungguh, saya merasa kehilangan tapi saya yakin banget, yang merasa kehilangan bukan cuma kamu. Butuh waktu buat saya, Bu Ira, untuk adaptasi tanpa ada bantuan kamu. Juga kamu saya rasa, ya."

Yah ... Pak Bos bicaranya bikin gue mewek. Sumpah, ya. Hamil ini bikin mood gue jungkir balik banget. Jadi lah gue menangis tanpa tau malu di depan Pak Satria.

"benar kata Mae, kamu sensitif banget. Sudah-sudah jangan nangis. Kalau Nendra dan Gio saya tau obatnya. Mae juga. Lah, kamu?"

Ini antara gue pengin melanjutkan tangis atau tergelak, ya? Pak Bos bisa aja bercandanya!

"Ya sudah saya pamit, ya, Pak. Mau ngerjain take overnya dulu," kata gue sembari menyeka sudut mata yang sudah basah ini. gue lihat, Pak Satria mengangguk saja. Terhitung sejak hari ini, seminggu ke depan gue hanya mengerjakan take over saja.

Iya, gue resign. Kehamilan gue ternyata enggak bisa disambi terlalu banyak pekerjaan. Padahal gue sudah banyak banget mengurangi aktifitas tapi tetap saja. makanya begitu gue mendapat ceramah di Minggu pagi, tepat di saat semua orang tua gue berkumpul, gue nangis sesegukan di kamar.

Gue cinta banget sama pekerjaan gue. Sumpah.

Sejak awal lulus kuliah, gue sudah terjun cari pekerjaan dan menghasilkan uang sendiri. Apa yang gue pengin, enggak perlu bilang ke Ibu atau Ayah untuk membelinya. Banyak yang bisa gue lakukan dengan uang gue sendiri termasuk kebanggaan karena bisa memberi Ibu uang belanja dari gaji yang setiap bulan gue terima

Oh, jangan lupa perkara bonus dari Wahana Logistic itu ... besar. Bisa bikin tabungan gue gendut mendadak. Gue sisihkan sedikit demi sedikit untuk membeli apa yang jadi wishlist jangka panjang termasuk mengumpulkan investasi emas.

Biarpun gue doyan belanja, mata gue juga hijau banget melihat batang emas di toko.

Abang temani gue sepanjang menangisi ocehan Ibu dan Ayah. Juga nasihat Mama perkara pekerjaan gue.

"Jangan sedih," kata Abang sembari mengusap puncak kepala gue. "nanti kita bicarakan masalah ini, ya."

"Abang ... Abang maunya Neng resign juga?" tanya gue sembari mengusap ujung hidung yang basah. Enggak peduli kalau wajah gue sudah jelek banget karena tangis ini.

"Maunya, sih, gitu. tapi Abang ingat banget, kalau Neng aja sanggup LDR karena pekerjaan artinya Neng memang berdedikasi dengan apa yang Neng suka."

"Tapi Utun gimana?" Gue kembali memikirkan Utun. Dia prioritas gue sekarang.

"Nah ... itu yang mau Abang bicarakan."

Mata gue menatapanya lekat-lekat. "Ya sudah bicara sekarang aja. Neng enggak apa-apa."

Abang sedikit menarik gue mendekat, mendudukan gue tepat di pangkuannya. Perut gue yang buncit ini sudah beradu dengan perutnya yang masih rata. Padahal makannya Abang ini banyak, lho. Tapi kenapa perutnya enggak membuncit?

Bukannya kebanyakan pria beristri itu perutnya makin lama makin seksi alias buncit, ya?

Apa karena Abang rajin olah raga?

"Apa yang buat Neng berat sama pekerjaan?"

"Aktifitasnya. Enggak suntuk di rumah dan otak Neng kepake jadi enggak lemot."

Dia ngakak sama jawaban gue padahal itu jawaban paling relevan yang gue punya. Itu kebenaran, lho. Perempuan yang sudah mencintai pekerjaannya, bakalan bingung kalau enggak punya pekerjaan pengganti. Mungkin sebulan dua bulan, rasa jenuh di rumah itu enggak ada. Tapi makin hari, bisa jadi singa ngamuk kalau terus menerus melakukan rutinitas yang sama tanpa pembaharuan.

Enggak mesti kerja sebenarnya, asal ada rutinitas yang enggak melulu dilakukan di rumah. Sudah sejak pagi melihat keadaan rumha, hingga mau jelang tidur pun rumah lagi yang dilihat.

Sumpek! Itu gue, ya.

"Abang punya toko, kan? Toh, kebisaaan Neng masalah keuangan sudah diberdayakan di toko. Nanti selepas melahirkan dan anak kita sudah bisa disambi kerja, Neng di toko bantu Abang. Gimana?"

"Nanti kalau Neng mau jajan gimana? Jajan Neng banyak banget, lho. Abang tau sendiri."

Senyum manis Abang yang jarang banget dikeluarkan itu muncul. Kayaknya dia sengaja, deh. kalau sedang merayu gue, atau saat gue benar-benar butuh sosoknya yang sama sekali enggak eprnah beranjak menjauh ini, dia keluarkan senjata pamungkasnya itu.

"Abang kerja keras banget untuk hal itu, kok."

Gue masih belum mau tersenyum atas jawaban Abang.

"Selama ini juga Abang jarang lihat Neng pergunakan uang yang Abang kasih untuk hal yang macam-macam. apa Neng gunakan uang sendiri untuk belanja?"

Gelengan dari gue Abang dapatkan sebagai jawabannya. "Memang belum pengin belanja aneh-aneh, sih. kayak mikir aja, kebutuhan kan nantinya bakalan banyak. Arin enggak boleh terlalu egois lagi dalam hal menggunakan uang."

Satu usap lembut gue terima di kepala. Lagi-lagi.

"Nah itu saja Abang sudah yakin, kalau Neng ini bisa dan pandai mengantur uang dalam rumah tangga. Neng tau prioritas dan mana yang masih bisa ditunda sesaat."

"Hubungannya sama Neng bekerja?"

"Abang sanggup penuhi semua kebutuhan Neng walau Neng enggak kerja. Karena itu bagian dari kewajiban Abang."

Gue tampak berpikir sejenak mencerna ucapan Abang. Gue tau maksudnya. Enggak ada sepeser pun uang yang ia tutupi dari gue. gue bebas kelola dan pergunakan tapi itu, kan, uang suami. Enggak sebebas kalau gue pergunakan uang pribadi gue. Ya, kan?

Satu helaan napas yang agak berat, kentara banget gue beri. "Mungkin untuk hal itu bisa Abang penuhi. Arin ini terbiasa beri Ibu uang belanja. Biarpun Ibu seringnya nolak tapi makin hari, kan, Ayah itu enggak mungkin bekerja terus."

Itu benar. Gue ini anak satu-satunya. Bantuan apa yang bisa gue beri untuk Ibu pasti bakalan gue lakukan.

"Abang juga sama, kok. Makanya Abang berjuang keras di perantauan biar ada hasilnya. Biar bisa angkat derajat orang tua. Mama buka catering itu Abang beri peringatan keras. Kalau dirasa capek, enggak usah terima orderan. Abang masih bisa penuhi. Kalau sekarang ada Arin dan baby, insyaAllah itu enggak pengaruh. Rezeki istri, anak, orang tua, itu sudah punya porsi masing-masing. Dan Abang pahami banget akan hal itu, Neng."

Mata gue masih menatap Abang lekat-lekat.

"Neng boleh pergunakan uang yang Abang beri untuk kasih ke Ibu. Sama dengan saat neng beri pakai uang hasil kerja Neng sendiri. Atau lebih. Terserah Neng. Abang ridho."

Ah, kalau begini senyum manis yang tadi Abang beri itu ... makin manis.

"Rin, kamu melamun?" tanya Bu Ira yang kini enggak jauh berdiri dari gue yang memang enggak bergerak mengerjakan apa-apa. buru-buru gue pasang senyum biar enggak ketauan kalau memang tadi gue melamun.

"Enggak, kok."

Bu Ira hanya menggeleng tapi satu tarikan kursi di belakang gue, bikin gue enggak mengalihkan pandangan ke mana-mana. Gue menunggu apa yang akan Bu Ira lakukan sekarang. "Ibu bakalan kangen sama cerewetnya kamu."

Yah ... si Ibu bikin gue makin mellow nantinya.

"Bu, jangan bikin Arin nangis lagi. Tadi sudah di meja Pak Satria."

"Hah? Yang benar kamu?"

Gue tanpa ragu mengangguk. "Ucapan Bapak bikin Arin mellow. Sudah tau ibu hamil yang satu ini baperan."

Bu Ira tergelak. "tadinya mau bersedih-sedih ria tapi sama kamu enggak bsia dibuat begitu, ya, Rin."

Tetap saja gue sedih, Bu! Hal ini gue akumulasikan dengan gerak mendekat ke arahnya. Memeluknya dengan erat karena gue merasa, Bu Ira ini sudah lebih dari sekadar rekan kerja. Di usianya yang terpaut jauh dari gue, beliau bisa imbangi gue yang berapi-api. Belum lagi gampang tersulut emosinya dan bicara ngaco tanpa ampun.

Dalam peluknya, gue nangis. Dan Bu Ira enggak mempermasalahkan kalau kemejanya basah karena tangis gue ini. penuh sayang, dia usap punggung gue.

"Enggak apa, rin. Ada pertemuan ada perpisahan juga. Yang terpenting dari semua itu, kan, kualitas komunikasi. Jangan sungkan chat Ibu kalau lagi galau sama kelakuan Mas Hulk yang kamu bilang ajaib. Jangan lupa juga kalau sempat waktu main ke sini."

Gue mengangguk saja.

Hari ini, gue kerja sambil nangis judulnya.

***

"Kamu ... kenapa?" tanya Abang dengan wajah risaunya. Saat dia jemput gue, dia langsung menatap gue dengan kebingungan. Tadi gue sempat bercermin, kalau mata gue bengkak dan memerah.

"Nangis." Gue serahkan tas yang gue bawa padanya. lalu setengah bersandar padanya. yang segera ia sambut dengan rangkulan erat.

"Kenapa bisa nangis? Ada yang jahat? Kerjaannya banyak? Bos kamu reseh?"

Gue menggeleng pelan. "Surat resignnya sudah Neng kasih."

Rangkulan itu terlepas. Abang sontak meraih bahu gue agar kami saling bersitatap. Ini masih di parkiran, lho. Gue sama dia sedang mengarah ke mobil yang terparkir beberapa space di jujung sana.

"Kamu ... serius?"

Lagi-lagi gue jawab dengan anggukan dan kali ini, lebih mantap ketimbang tadi. "Arin sudah putuskan, Bang. Kali ini, Arin fokus dulu sama kehamilan."

Entah kenapa gue merasa, ada secercah bahagia di wajah Abang. Dan benar saja, tanpa aba-aba dia beri gue kecup tepat di kening. Gue, sih, sebenarnya enggak masalah dengan skinship yang sering ia beri. Tapi ini parkiran, lho! Parkiran! Banyak orang yang nantinya melihat. Kan, mengesankan pamer kemesraan banget di muka umum.

Gue pernah protes akan hal ini, kalian tau jawaban Abang?

"Bukan urusan Abang kalau mereka iri."

"Makasih mau mempertimbangkan banyak saran dari Ibu dan Mama," katanya sembari merapikan surai gue yang tertiup angin.

"Tapi kalau Arin bosan gimana?"

Eh ... bukannya menjawab, Abang malah menarik gue untuk segera ke mobil.

"Abang," tuntut gue segera. "Nanti kalau Arin bosan gimana?"

"Kalau ada utun, memangnya bakalan bosan?"

Iya juga, ya.

Gue pasti banyak aktifitas baru yagn lebih seru. Kalau gue memang merasa bosan, tawaran membantu di toko Abang bisa gue lakukan dengan jam yang lebih banyak lagi. Mungkin gue bisa melakukan ini dan itu. Nanti coba gue bicarakan dengan Abang apa yang bisa gue lakukan nantinya. nanti. Kalau gue sudah melahirkan utun dan sudah sehat beraktifitas lagi.

"Makasih sekali lagi, Neng." Kali ini, tangan Abang menyusupi sela jemari gue. membawanya mendekat dan satu kecup gue terima di punggung tangan ini. Lembut banget biarpun ada sensasi geli-gelinya karena gue masiih belum membiarkan Abang bercukur. Hanya dirapikan sedikit saja.

"Buat?"

"Neng mau mempertimbangkan banyak hal termasuk berkorban buat hal yang Neng sukai."

Gue membenarkan hal itu dalam hati.

"Abang tau, selama mengenal Abang banyak hal yang Arin korbankan. Waktu, perasaan, belum lagi penerimaan atas salah Abang." Gue mengangkat tangan sejenak biar enggak dipotong Abang untuk hal ini. Gue lihat Abang mengatupkan bibir. "Tapi Arin rasa semuanya sebanding."

Abang masih belum mau bicara mungkin menunggu gue melanjutkan apa yang memang sejak tadi sebelum gue benar-benar memutuskan untuk menyerahkan surat yang bikin gue galau mendadak ini.

"Arin merasa dicintai dengan tulus. Disayangi dengan demikian berharga. Dengan banyak pembuktian dari Abang kalau kemarin, memang benar-benar Abang jadikan pelajaran berharga. Iya, kan?"

Dia mengangguk tegas. "Iya. Berharga banget."

"Dan enggak ada yang salah dengan apa yang Neng putuskan ini, kok. Semuanya demi keluarga kecil kita. Di mana ada Abang, ada Arin, juga Utun yang nantinya akan tumbuh."

Abang memang belum menyalakan mesin mobil. Bikin gue tanpa ragu membalas genggaman tangannya yang kemudian ia lingkupi lagi dengan jemarinya yang satu lagi.

"Saling mengasihi, saling menyayangi, saling mencintai hingga batas waktu yang sudah menjadi ketetapan, itu yang Arin mau dan pinta ke Abang selama menjalani hubungan rumah tangga ini."

"InsyaAllah Abang beri untuk Neng. Tegur Abang jika salah. Beritahu apa yang mengganjal di hati Neng jika ada perbuatan Abang yang enggak benar."

Gue mengangguk disertai satu senyum yang gue buat semanis madu. "Makasih sudah mencintai dan sayang sama Arin."

"Abang yang seharusnya bicara makasih karena sudah mau menerima Abang kembali. Enggak akan Abang sia-siakan kesempatan ini."

"Harus lah. Kalau enggak, ehm ... Arin tinggalin! Enggak peduli lagi sama Abang!"

Dia tertawa.

Lalu perjalanan pulang kali ini, gue lalui dengan perasaan yang jauh lebih ringan ketimbang pagi hari tiga bulan lalu. Mungkin, kesempatan ini benar-benar ia manfaatkan dengan baik dan membuat sebagian hati gue percaya, kalau Abang, suami gue, seorang Rasyid Ananta enggak akan mempermainkan kepercayaan yang sudah gue beri padanya.

Segala ragu yang gue punya, gue serahkan pada pemilik hati. Dan hati kecil gue mengatakan, beri satu kesempatan dan bahagia bakalan gue jelang. Dan gue rasa, ini jawabannya. Banyak banget syukur gue hatur atas hal ini.

Dan semoga saja, kalau pun badai dalam rumah tangga kami ini datang lagi, gue lebih siap menghadapi.

Karena gue tau, cinta padanya sudah ada. Cinta itu sesuatu yang enggak kasat mata tapi kuat banget mengikat. Membuat pondasi makin kuat dan bikin enggak gampang digoyahkan.

"Hadiah?"

Dia malah nyengir. Mendadak gue curiga.

"Hadiah apa?"

"Nanti juga tau. Sabar, ya. Enggak boleh maksa kali ini. Harus sabar."

Abang dan pengetahuannya akan gue yang tukang maksa. Bikin gue gemas tapi berhubung dirinya sudah fokus pada setir, gue tahan banget untuk enggak menggigit rahangnya itu. Sabar. Sabar. Sabar. Orang sabar disayang Allah.

****

PoV Hulk aku update besok ya. Semoga aja enggak bikin aku pengin remake🤣🤣🤣🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro