Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[65]

"Neng ... ini enggak kebanyakan?" tanya Abang dengan pandangan yang enggak pernah lepas dari keheranan. Gue meliriknya sekilas dan mencibir.

"Diam aja. kalau memang sudah kenyang enggak usah protes terus ke Arin karena makan banyak."

Dia mesam mesem!

"Aku bilang, diam!"

"Abang enggak bersuara, Neng," katanya penuh pembelaan.

"Bukan cuma suara, Abang. Semuanya. Jangan bertingkah yang bikin Arin tambah kesal!"

Baru juga gue peringati hal ini, dia sudah tergelak sempurna banget sampai matanya berair gitu. kan, tambah bikin gue jengkel. Segera, gue sudah makan malam di lantai dua bersamanya ini. Tampang gue manyun kuadrat.

"Eh, mau ke mana? Ini belum habis, lho."

Gue menoleh dan memberinya tatapan sinis. "Sudah enggak n*fsu!"

Dia ketawa lagi. "Ya ampun, neng. Jangan gitu. sini ... sini ... habiskan dulu. Nanti malam lapar lagi, bingung mau makan apa."

"Ih, biar aja. itu urusan Abang. Yang cariin makanan untuk Arin itu Abang. Arin tinggak berucap."

Abang mengangguk sembari tersenyum lagi mengimitasi pula langkah gue ke wastafel. Kami masih ada di ruko. Makan malam yang agak telat setelah gangguan ular berbisa bernama Nisa itu sudah terlewati. Gue enggak tau Abang sebelumnya berbuat apa, tapi ada satu orang lelaki yang Abang perkenalkan sebagai sepupu jauh Nisa di jakarta ini yang datang menjemput.

Ada drama? Oh ... pasti. Dia teriak-teriak histeris gitu mirip orang kesurupan. Gue tanya Abang, apa memang Nisa seperti itu? Abang menggeleng pelan. Ada sorot sedih di matanya saat mobil sepupu Nisa itu bergerak menjauh.

"Dia depresi, Rin. Pernikahannya itu karena perjodohan awalnya. Dan yah ... semuanya baik-baik saja Abang pikir. Lagian, memang sejak awal Nisa dan Dini ini Abang anggap sebagai adik. Abang senang-senang aja Nisa sudah menikah. Ada yang jagain. Yang Abang enggak tau, kalau suaminya ini kasar dan puncaknya, ya ... malam itu."

Gue menunggu dia bicara saja. Tapi tangan Abang gerilya. Ia rengkuh pinggang gue untuk mendekat ke sisinya. Seharusnya yang bersandar itu gue, kan? Ini kebalik. Abang yang poster tubuhnya segede Hulk, malah sedikit bersandar ke gue! Kan, berat! Tapi gue enggak protes.

Semacam ada pelepasan yang ia inginkan di hatinya terkait Nisa ini.

"Suaminya selain KDRT juga buat Nisa keguguran."

Gue agak shocked di bagian ini.

"Dini anggap, Abang ini punya andil salah karena seharusnya Abang ini menurut Dini, berani meminang Nisa."

"Tapi?"

"Tapi gimana lagi? Yang Abang pengin itu Arin sejak dulu. Abang berusaha keras banget untuk membuktikan pada diri sendiri, suatu saat nanti kalau Abang sudah merasa mumpuni dengan hidup, Abang melamar kamu. Dan lagi, selama setahun belakangan itu Mama benar-benar cekoki Abang dengan cerita tentang kamu."

Gue sedikit mendongak ke arahnya. Mencari kebohongan yang Abang buat kali ini. Siapa tau saja, kan? Dia ini mahir soalnya mencari alasan dan menutupinya. Tapi ternyata enggak. Abang balik menatap gue dengan keyakinan penuh. Netranya yang gelap itu memang sesuatu banget. Bikin gue terus menerus tersihir tanpa sadar.

"Nisa depresi dan yah ... seperti ini. Menganggap Abang cinta sama dia. Enggak peduli status Abang sekarang. Kedatangannya ke sini malah bikin kaget orang tuanya di Makasar karena memang Nisa ini sudah enggak ada kabarnya semingguan lalu."

"Dan Abang tau?"

Dia menggeleng gtegas. "Enggak mikirin hal ini, Neng. Abang sendiri sibuk di toko. Sibuk urus Neng yang banyak mau."

"Oh!!! Jadi keberatan?!" Kali ini gue singkirkan sandar yang Abang lakukan ke gue. mata gue mendelik tajam ke arahnya yang malah disambut dengan satu cium yang gue enggak duga. Bikin gue megap-megap banget saking kayaknya Abang ini balas dendam.

"Abang enggak pernah keberatan, Neng," katanya di sela cium yang dia lakukan. "Tapi ucapan Neng ke Nisa tadi, bikin Abang berpikir." Lalu dia sedikit menjauhkan wajahnya dari gue. Tanpa sadar, gue menghela napas lega. Bukan apa, kami ini berdiri di ambang pintu kaca toko. Ya kali ... live show ciuman begini nanti kalau ada yang lihat bagaimana?

Belum lagi perkara Rara yang nanti datang dengan makan malam. Kan ... enggak lucu melihat bosnya malah bermesraan di depan toko begini. Seperti enggak ada tempat lain saja, kan?

"Pikir apa?" tanya gue sembari mulai memikirkan hal-hal apa yang bakalan dia katakan. Mengenal Abang selama beberapa bulan belakangan ditambah dengan terkadang ucapannya yang bikin gue jatuh ke dasar jurang paling dalam ini, bikin gue sukar mendapati prediksi yang pas.

Serius. Abang ini terlalu vulg*r bicaranya. Enggak disaring dulu, apa menyakitkan atau bisa diperhalus. Pokoknya, selama itu sudah ada di kepalanya, lidah milik Abang tinggal eksekusi. Gue pernah protes besar-besaran perkara hal ini.

Apa yang Mae bilang? Kak Kiki-nya ini kalem? Gue enggak percaya. Kalau bisa diandalkan, gue setuju. Orangnya enggak tegaan, ini apalagi. Yang bikin gue meradang banget karena kelakuannya yang sok jadi pahlawan super. Kalau jadi Hulk seperti di Avengers, sih, gue setuju aja. Atau tukar peran, deh. Jadi Thor. Sudah badannya besar, tegap, ganteng pula.

"Kenapa menyinggung bagian kasar dalam berhubungan? Memangnya selama ini Abang kasar, ya, kalau main?"

Gue bilang juga apa!

***

Pagi ini gue bangun dengan perasaan jauh ... jauh ... jauh lebih lega ketimbang pagi sebelumnya. Sebulan belakangan ini gue memang sudah tinggal berdua saja dengan Abang, kan? Gue sudah bercerita pada bagian ini. tapi perasaan gue masih seperti ngambang enggak jelas lantara masih ada sebagian hati gue yang belum menerima total kesalahannya. Masih sering bibir ini gue pergunakan untuk menyinggung hatinya. Memang, Abang enggak pernah marah atau mengubah air mukanya hanya saja ... gue lama-lama berpikir, gue keterlaluan juga.

Setelah semua yang coba ia buktikan, masa enggak ada satu pun penghargaan dari gue?

Semua hal yang berkaitan dengan Abang, gue mulai tau. Segalanya. Termasuk perkara pesan juga ponselnya yang sering digeletaki begitu saja. Siapa pun si pengirim pesan, gue tau apa isinya. Termasuk obrolan di telepon. Bukan gue yang meminta dirinya seperti itu, ya. Bukan. Sama sekali.

Abang sendiri yang melakukan hal itu.

Dan bukan hanya perkara ponsel juga, Abang lebih terbuka mengenai semua usahanya. Juga rencana-rencana jangka pendek untuk kehamilan gue. Kalau rencana jangka panjangnya jelas, membuka cabang baru tapi tunggu progress di ruko ini berjalan. Obrolan ini sering mencuat ketika kami mau tidur. Lalu Abang dengan teliti catat hal-hal yang menjadi point di notesnya.

Apa ... memang Abang ini benar-benar cinta gue, ya? Kalau sayang, gue enggak meragukan itu sama sekali.

Dan entah sejak kapan juga, perasaan gue berubah padanya. gue selalu tegaskan hubungan hutang budi itu harus segera diselesaikan kalau perkaranya menyerempet dengan uang. Saat Abang beri bukti transfer juga banyak chat dengan orang tua Nisa, karena beliau ini lah yang mendukung banyak Abang selama di sana.

Dulunya Abang ini bekerja pada keluarga Nisa di toko. Bekerja sembari kuliah jadi enggak terlalu menjadikan beban untuk Mama dan Bapak. Terangnya begitu. Hingga orang tua Nisa mempercayakan sejumlah uang untuk Abang kelola. Dan kebetulan semesta meledek Abang dengan dua orang anaknya itu. Mereka anggap Abang ini bisa selalu diandalkan seperti biasanya.

Supplier besar yang menyokong perputaran barang di toko Abang, berasal dari keluarga Nisa. Dikelola langsung oleh Dini yang membuat Abang memang enggak bisa untuk enggak berhubungan dengan Dini selama di Makasar.

Dan kini, semua urusannya sudah selesai. Orang tua Nisa sama sekali enggak mempermasalahkan perkara uang tapi karena sudah dimunculkan ke permukaan, gue enggak mau untuk enggak diselesaikan. Biar semuanya clear. Dan Abang setuju akan hal itu.

Hubungan mereka masih baik hingga kini, hanya Abang batasi untuk Dini dan Nisa. Bagi Abang, orang tua Nisa sudah selayaknya orang tua yang ia hormati.

Lekat gue perhatikan bagaimana wajah Abang yang masih pulas tertidur. Rambutnya sudah ia rapikan beberapa waktu lalu saking gue enggak suka dirinya enggak rapi. Rambut halus di sekitar wajahnya, sengaja memang enggak dicukur. Gue enggak memperbolehkan dirinya cukuran. Gue suka usap-usap rahangnya yang berakhir gue gigit.

Abang enggak marah sama sekali. Malah katanya, gue ini lucu banget kesukaannya. Kadang, Abang malah menggoda gue lewat rahang berambut halusnya itu. Ia gesek-gesek di ceruk leher gue sebelum tidur yang bikin gue meradang. Katanya gantian. Gue pikir enggak ada korelasinya dengan perbuatan gue ke dia, kan? Gue menggigit dia mengusili gue. Beda jauh, lah!

"Neng sudah bangun? Sejak kapan?" tanyanya sesaat sebelum matanya sempurna terbuka.

"Lupa, yang jelas dari tadi melototin Abang aja."

Dia terkekeh. "Kenapa?"

"Enggak boleh?" Tangan gue mulai menyusuri ujung hidungnya, pada seputaran matanya yang kembali ia pejamkan, juga ke rahangnya yang kini jadi favorit gue.

"Boleh. Kenapa enggak?"

"Neng mau sarapan bubur."

Dia mengangguk.

"Tapi bubur yang di Kemayoran."

Matanya sontak terbuka. Melotot ke arah gue dengan enggak percaya. "Kemayoran? Itu jauh, Neng."

Gue cemberut dan menghentikan aksi menyusuri wajahnya. pelan, gue usap perut gue yang sudah enggak lagi rata. Ada gelembung di sana yang bikin gue gemas sebenarnya. "Utun, Papi enggak mau beliin Mami bubur Kemayoran."

Helaan napas panjang Abang ciptakan. "Oke. Kita mandi dulu, ya. Mumpung weekend juga. Neng mau jalan-jalan?"

Senyum gue terbit tanpa ragu. "Memang itu tujuannya."

Abang mencibir ucapan gue tapi enggak lama karena satu kecup di kening, ia berikan ke gue. "Jangan ragu minta apa-apa ke Abang. Kalau perkara jalan-jalan doang, Abang masih sanggup."

"Apa yang Abang enggak sanggup kalau begitu?" Kini mata kami saling bertemu. Masih dalam posisi rebah di bantal masing-masing.

"Satu hal yang paling membuat Abang bergidik ngeri. Neng tinggalkan Abang. Dengan alasan apa pun."

"Sampai sekarang Neng masih ada di sini, kan?"

"Iya, Abang tau." Gue dibawa mendekat ke arahnya. Memerangkap gue dalam dekapnya yang nyaman dan hangat. Yang bikin malam gue lebih tenang karena dipeluknya. "Itu lah yang Abang sangat syukuri sekarang ini."

Lama gue dalam peluknya. Berhubung enggak ada kerjaan, gue gosok saja ujung hidung ini di dadanya.

"Neng," panggilnya. Suaranya berubah agak parau gitu.

"Hem." Gue belum mau berhenti. Selain menggigit rahangnya, salah satu favorit gue, ya ... ini. menggosok ujung hidung di dadanya.

"Nanti ada yang bangun."

Gue menghentikan kegiatan seru ini. "Bangun?" Sebenarnya gue tau arah bicara Abang tapi tunggu, gue masih mau mainan sedikit lagi. "Abang sudah bangun, kan?"

Dia menggeram pelan. "Yang lainnya." Kembali ia menarik gue lebih erat dalam peluknya. "Enggak terasa memangnya?"

Ya jelas, lah, sejak tadi juga gue rasakan ada yang bangun juga tegang. Memangnya indera perasa di kulit gue mati total? Paha gue masih bisa merasakan tonjolan di sekitar bawah perut Abang itu makin mengeras.

"Oh, yang ini, ya?" tanya gue sembari mengarahkan kaki yang ada dalam kukungannya, ke area sensitif miliknya.

"Rin!"

"Apa?" Gue mengedip pelan dan kembali melanjutkan kegiataan kesukaan gue tadi. "Kata dokter saat periksa seminggu lalu, kalau mau berhubungan sudah boleh. Tapi pelan-pelan."

Dagu gue dirampas begitu saja biar kami saling bersitatap. Bikin gue mendelik marah ke arahnya. "Abang!!!"

"Kapan kamu tanya hal itu?"

Cibiran jelas gue beri pada Abang yang rasanya enggak akan mau minta maaf atas perbuatannya tadi.

"Abang fokus banget melihat layar monitor USG. Enggak dengar memangnya?"

Dia menggeleng cepat banget. Dan enggak sampai dua detik, gue sudah berada di bawahnya.

"Ih, dibilang pelan-pelan!"

Dia malah tertawa. "Abang fokus itu karena merasa, anugera yang Abang dapat ini luar biasa dan Abang menyesal pernah berucap yang enggak baik ke Neng. Kayak ... takjub banget ada kehidupan lain di rahim Neng. Darah daging Abang. Buah cinta Abang."

Gue tersenyum menanggapi ucapannya. Rasa haru yang seharusnya muncul di awal-awal kehamilan dan kabar yang gue beri, baru timbul pagi ini. Enggak ada yang terlambat dari sebuah rasa saling melengkapi, kan?

"Tapi Neng lapar, Bang. Sarapan dulu gimana? Nanti dilanjut?"

Gelak yang tadi mengisi kamar kami, dihilangkan begitu saja. Matanya mengerjap pelan ke arah gue seperti menimang sesuatu. Lalu bahunya yang tadi tegap, merosot tanpa aba-aba. "Oke, deh. Kita mandi dulu."

Belum sempat Abang turun dari atas gue, lengannya yang kekar itu gue tahan. Kerlingan jahil gue beri sebagai isyarat, kalau ucapan gue tadi, belum seratus persen benar. "Sekali aja, ya. Tapi serius, Bang, pelan-pelan. Jangan ganggu Utun di dalam."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro