[64]
Gue pikir, hidup gue sudah kembali damai. Sudah berlalu sebulan dan Abang—gue ubah lagi panggilan Hulk, pelan-pelan. Anggap saja gue mulai kembali kasih dia apresiasi atas semua hal yang ia lakukan akhir-akhir ini.
Dia lagi sibuk banget sama toko barunya. Gue sesekali ke sana. Oh ... gue juga sudah pindah ke rumah kontrakan dekat ruko. Gue bilang kontrakan karena memang akadnya sewa, kan? Sama kayak ruko itu. Kontrak.
Di rumah, berdua, melakukan semua aktifitas dengan banyak bagian yang Abang kerjakan. Gue enggak boleh terlalu banyak aktifitas, kalau enggak, selain gue harus rela kuping panas dengar dia ceramah, belum lagi dia cerewet banget. Ngadu sana sini. Kan, si@l banget gue. Dimarahi sana sini. ketimbang gue harus menerima semua ocehan panjang kali lebar kali tinggi jadi volume, gue lebih baik nurut. Toh, enak. Duduk di sofa dengan tenang sembari melihat banyak akun shopping online. Membuat list belanja baru yang sekarang jarang banget isinya barang-barang gue, kecuali untuk keperluan baby.
Abang sudah enggak kembali ke Makasar. Sejauh yang gue tau, sudah benar-benar diserahkan pada Rama. Seharusnya masih ada satu hal lagi, tapi karena perkara kemarin, dia nyerah. Enggak mau ambil risiko. Hati kecil gue sendiri enggak menyetujui kalau dia balik lagi ke sana. Lagian, jarak Bandung Jakarta lebih dekat ketimbang Bandung Makasar. Logikanya aja dijalankan, kan?
Gue kembali bekerja memang, diantar jemput Abang pula. Enggak ada sedetik pun dia lewatkan tanpa tau keberadaan dan kabar gue tentu saja. dan yang enggak gue sangka, saat pulang kerja dan mampir ke toko—ini sudah jadi rutinitas gue sekarang. Gue tunggu Abang selesai di toko, baru pulang bersama—ada seseorang yang menunggu.
Nisa.
Abang kaget banget saat tau, ada Nisa di sana. Lagi bicara sok akrab dengan pegawai toko yang baru kami rekrut. Kebetulan anak itu rajin juga dan senang dengan dunia hewan.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Abang tanpa basa basi. Tangan gue sama sekali enggak dilepas genggamannya bukan karena gue takut menghampiri wanita berkerudung itu. Tapi sepertinya, Abang ini sedang menunjukkan kalau dirinya memang dimiliki gue. Gue meyakini hal itu karena saat kami masuk dan melihat ada sosok Nisa, Abang menatap gue dengan pandangan terganggu akan keberadaan dia.
"Tunggu Abang," katanya dengan senyum yang bikin gue muak. Tapi gue enggak mau menampilkan taring di depannya. Ngapain? Ada saatnya taring gue keluar.
Dan saat dia mendekat ke arah kami, dengan pedenya ia mengulurkan tangan. Seolah meminta agaar gue menjabatnya, berkenalan. "Pasti Arin, kan? Akhirnya bisa bertemu dengan layak setelah dilarang Tante Sofi di rumah sakit."
"Mau bertemu gue atau suami gue?"
Eh ... dia malah terkekeh gitu. Mirip kuntilanak. "Benar yang Kak Dini bilang, ya. Kamu kasar." Dan seenaknya, ia malah mendekat pada Abang. Wah ... sakit jiwa. "Masa selera Abang turun jauh gini, sih? Yakin dia istri Abang?"
"Yah ... dalam dunia yang gue tau, kasar itu lebih baik ketimbang lembut tapi penuh bisa." Gue meliriknya sekilas. "Oiya, Rara. Gimana hari ini?" tanya gue pada staff baru itu. Dia berdiri enggak jauh dari etalase makanan kaleng khusus kucing. Memperhatikan kami dengan penuh takut dan saat gue menyapanya, ia seperti dibebaskan dari cekikan di leher.
"Hari ini oke, Bu. bisa dicek laporannya."
Gue mengangguk sekilas dan melepas genggaman tangan Abang. "Ah, gue mau cek kerjaan malam ini. Kalian mau bicara berdua? Silakan."
Abang terperangah dengan sikap gue. sorot matanya dipenuhi tanda tanya yang besar banget sementara di sampingnya, sorot mata penuh kebahagiaan tanpa tau malu itu, nyata terlihat. Ah, sedikit pelajaran itu perlu kayaknya. Gue mendekat ke sisi wajah Abang yang membuatnya refleks menunduk. Satu cium gue beri bukan lagi di pipi—biasanya kalau gue gemas, sambil cium pipi, sekalian gigt rahang Abang. Enak banget bikin dia kesakitan gitu. Seru. Bukan nyiksa, ya. Gemas aja sama bentuk rahangnya. Buktinya dia enggak pernah keberatan, kok. Rara juga. sering banget memergoki gue yang jahil ini—tapi di bibirnya.
"Arin cek kerjaan Rara dulu, ya," kata gue pelan. "Silakan kalau mau bicara."
Bisa gue dengar dengan jelas, decih enggak suka dari Nisa. Ih ... seharusnya gue yang enggak suka karena keberadaannya. Dia siapa memang? Pengganggu.
"Ayo, Abang. Nisa belum selesai urusannya dengan Abang," rengeknya sembari seenaknya menggamit lengan Abang.
Ck! Ck! Ck!
"Saya mau bicara di sini."
Gue, sih, enggak lihat mereka bagaimana soalnya sudah mendekat pada Rara di meja kasir. Dia sudah siap dengan buku besarnya gitu. yang gue dengar dengan pasti, suara Abang itu penuh tegas. Dan saat gue benar-benar sudah di meja kasir, ternyata Abang enggak jauh dari posisi gue.
"Ra, saya minta tolong close aja tokonya. Ibu biar baca laporan kamu, sementara saya minta tolong pesankan Ibu jeruk hangat, ya. Sekalian makan malam. Kamu juga. Ibu menu biasanya."
Gue mengerjap pelan.
"Oke, Pak," kata Rara penuh semangat. Setelah Rara menerima sejumlah uang yang Abang keluarkan dari dompetnya, ia gegas pergi. Meninggalkan kami bertiga di mana si Nisa kembali mendekat pada Abang.
"Ih, aku ke sini mau ajak Abang bicara di luar. Urusan kita belum selesai, Bang." Nisa kembali menarik Abang tapi segera disentak Abang.
"Urusan apalagi? Semua sudah selesai. Kalau bicara mengenai hutang piutang, sudah diselesaikan sebelum saya ke Jakarta. Butuh apa kamu? Bukti transfer? Saya punya."
Ehm ... untuk bagian ini Abang memang belum cerita, sih. Dia hanya bicara mengenai hutnag budi selama dirinya membangun usaha. Enggak taunya ada sangkut pautnya dengan uang. Oke, ini agak sensitif. Sensitif banget malahan. Tapi gue sudah bisa menduga ke arah ini, sih.
Gue bisa membaca inti dari pesan-pesan yang sebelumnya masuk, selalu mengarah pada pembicaraan hutang budi juga pengingat, kalau Abang ini bisa disetir semau mereka. Saat mendengar kalau hutang itu sudah terbayarkan, seharusnya sudah selesai permasalahannya, kan?
"Bukan hanya perkara uang, Abang!" Nisa setengah memekik dan netranya mengarah tajam pada kami, lebih tepatnya ke arah Abang. "Abang janji, kalau Nisa sudah selesai urusannya dengan Niko, Abang mau nikahi Nisa. Nisa selalu ingat kata-kata itu, lho! Janji itu hutang, Bang. Lupa?"
Rahang gue hampir jatuh mendengar ucapan yang enggak ada basa basinya itu. di samping gue, si Abang malah asyik mainan sama ponsel! Wah ... ini? Serius? Abang berjanji hal seperti itu? gue sudah enggak tau mesti bagaimana menenangkan gejolak emosi yang mulai naik. Rasanya pengin banget gue cakar muka Abang saat ini juga.
Kebetulan banget, gue sekarang rajin memelihara kuku. Sering gue pulas pakai kuteks warna warni. Cantik aja dilihatnya. Kalau Sapto bilang, gue kurang kerjaan. Setiap kali mau sholat, pasti dihapus. Lalu dipakai lagi seolah, gue enggak punya pekerjaan yang bertumpuk. Padahal enggak ada santai-santainya sama sekali kalau Pak Bos sudah memberi email. Herannya, setelah gue pulas kuteks di tangan, gue selalu tepat waktu mengerjakan dan enggak ada kesalahan.
"Nisa ingat semua yang Abang katakan, lho! Nisa sudah dalam proses cerai dengan Niko. Nisa beruntung banget disadarkan sama Abang tentang Niko dan harusnya dengar kata Kak Dini, kalau Abang dari dulu cinta sama Nisa, kan?"
Tangan gue sudah terkepal kuat banget. Siap banget ini mulut melontarkan kata-kata keji. Dan sepertinya Utun paham banget kalau Maminya ini sedang dalam kondisi emosi parah. Biasanya, kalau sudah di toko, gue selalu minta Abang usap-usap biar enggak terlalu mual. Lalu makan bersama sembari cek laporan Rara sementara anak itu bebenah toko.
Nah kali ini, Utun anteng. Anteng banget malah.
Yang bikin gue tambah geram, Abang sama sekali enggak berkutik dari ponselnya. Kayak yang penting banget matanya ke arah ponsel.
"Mbak? Pakai bismillah ngomong kayak gitu?"
"Eh, saya enggak bicara sama kamu, ya. saya bicara sama Abang."
Gue menggeram kesal. "Yang lo ajak bicara itu suami gue."
"Enggak peduli. Yang saya pedulikan, Abang jadi suami saya."
Gue berdecak kesal dan bersiap menghampiri wanita enggak tau diri ini. Belum juga langkah gue menjauh, sudah ditahan Abang dengan gelengan pelan.
"Nisa, tolong. Hargai diri kamu sendiri. Saya enggak pernah bicara itu. Di sini, di depan istri saya, enggak mungkin saya berbohong. Atau ... perlu saya bicara dengan orang tua kamu? Memberi kabar keberadaan kamu? Om Heri pasti senang kalau tau kamu ada di mana."
Nisa agak terkejut mendengar apa yang Abang ucapkan. "Ah, aku bilang sama mereka kalau di sini. Bertemu calon suami."
Calon suami, my ass! Ih ... rasanya pengin banget gue maki-maki perempuan ini! Saking enggak tahannya, gue sedikit mendorong Abang agar menyingkir.
"Lo tau, Nisa? Di mata gue, lo rendah banget." Gue kini ada di depannya. Menatap nyalang pada wanita yang enggak ada gentarnya sedikit pun. Abang mau mencegah gue tapi gue larang. Enak saja. "Saking rendahnya, sampai enggak punya harga diri begini." Tepat di depan d*danya, gue tunjuk penuh penekanan.
Gue enggak peduli kalau nantinya dia berkata yang menyakiti hati gue. Mungkin bahas masa lalunya dengan Abang. Tapi sebelum dia bicara, gue lebih dulu menyelanya. "Seorang perempuan itu punya harga diri. Enggak akan mau menerabas milik orang lain apalagi sampai menjadi duri dalam rumah tangga orang lain."
Sorot matanya enggak terima gitu. "Saya cinta sama Abang. Kamu itu orang lain yang pantas dibilang duri di sini!" katanya dengan nada berapi-api. Dipikir, dia doang yang bisa seperti itu? Dipikir juga, gue bakalan takut gitu? Enggak.
Gue? Mencibirnya telak. "Yah ... kalau lo tuduhkan gue sebagai duri, lo mikir keadaan lo, lah!" Sekilas gue melirik pada Abang yang masih setia di belakang gue. "Lo tau," Gue berbalik sedikit. "Lo boleh tanya sama suami gue satu hal."
Dari gestur yang Nisa beri, gue yakin dia tunggu gue melanjutkan bicara. Mukanya mendadak kaku gitu.
"Yang ngejar gue itu ... Abang. Gue enggak pernah mengejar laki-laki selama dua puluh sembilan tahun ini, sih." Pelan, gue susuri wajah Abang yang enggak mengalihkan tatapannya ke arah lain. Gue bawa wajahnya mendekat dan dia nurut aja.
"Beda sama lo. Yang jelas sudah beda kasta sama gue yang lo bilang kasar ini. Mungkin lo lembut dan ayu, mungkin. Gue enggak tau. Tapi sayangnya, yang kasar lebih menantang ketimbang yang lembut." Sekali lagi gue kecup pipi Abang. "Iya, kan, Bang?"
****
Arin yang ketemu sama pengganggu, yang nulis yang deg-degan. Takut meja kasir dijungkirbalikin. Hhahahhaha
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro