[63]
Kilas memori masa kecil gue enggak terlalu bagus sebenarnya. Perkara teman kecil gue saja yang gue ingat cuma satu. Bukan apa, sepertinya setting kepala gue ini kalau yang enggak penting enggak bakalan gue ingat. Dan ... foto lama yang Ibu simpan di album yang ditaruh paling tinggi di buffet depan, bukti kalau gue ternyata pernah bertemu dengan Abang.
Dulu.
Saat gue mengenakan seragam putih merah, tepat kelas satu atau dua SD. Gue aja lupa.
Di foto itu, gue nyengir lebar banget. Manis tapi sorot mata gue tajam banget. Jadi, senyum pun kayak mengerikan gitu. oke, gue becanda. Di foto itu gue manis banget. Rambut panjang gue dikuncir dua, mengenakan jepit kupu-kupu di samping kanan dan kirinya. Dress kotak-kotak sebatas lutut dengan mengenakan sepatu pantofel hitam lengkap dengan kaus kaki berenda sebagai pelengkap yang paling manis.
Yang gue ingat, baju itu baju kesayangan gue dan masih gue simpan hingga kini. Dulu, kalau gue pakai dress itu, merasa sudah cantik sekomplek. Apalagi kalau Ibu dandani gue dengan banyak pernak pernik. Saat kecil gue menyukai hal-hal lucu seperti itu, beranjak remaja, gue merasa repot banget kalau terus mengenakan pernak pernik gitu.
Di sebelah gue, berdiri sosok cowok berperawakan kurus dan lebih pendek dari gue. Sumpah. Kecil, kurus, dan terlihat enggak punya gairah hidup. Gue sontak tertawa mengamati foto itu.
"Kamu ... engak takut jatuh?" tanyanya yang bikin gue melotot.
"Eh ... sana pergi! Jangan intip-intip!"
"Saya enggak ngintip apa-apa. saya cuma khawatir kamu jatuh."
Gue mencibir, mengangkat sedikit rok gue yang nyangkut di ujung pagar. "Sudah ah. Jangan bilang ibu aku, ya."
Hap! Gue mendarat mulus seperti biasanya. Segera kaki kecil gue berlari ke tempat tujuan gue, rumah Riri. Dia bilang, ada film Barbie baru.
Gue mengerjap dengan memori yang baru saja melintas. Iya. Gue ingat sekarang. Pada sosok cowok kurus itu. Nanta. Kadang Nanta dan ibunya datang berkunjung. Ibu bilang rumahnya masih di Bandung juga tapi mereka sekeluarga sering ke luar kota. Berhubung dia cowok, yang dunianya beda sama gue si pecinta Barbie, gue enggak mau temanan sama dia.
Ibu bilang, usia Nanta lebih tua dibanding gue dan mengharuskan memanggilnya Abang. Gue, sih, nurut aja. yang penting gue enggak temani dia main robot atau mobilan. Ogah!
Tapi satu hal yang paling gue ingat sekarang, saat gue nangis guling-guling. Obel di samping gue sudah kaku saat itu. Kenapa bisa gue lupa di bagian ini, ya? Apa karena terlalu fokus pada Obel?
"Kenapa kucingnya?"
"Enggak tau! Dia kelojotan gitu! gimana ini? Obel...," raung gue. enggak peduli seragam gue kotor karena tindakan ini. serius, deh. sedih banget lihat Obel begini.
"jangan nangis. Abang sudah lihat kayaknya Obel sudah meninggal."
Raungan gue terhenti saat itu juga. mata gue yang sudah buram karena air mata, menatapnya tanpa putus. "Meninggal itu ... mati, kan?"
Dia mengangguk tanpa ragu. Dan kembali, raungan gue makin jadi.
"Harusnya aku enggak main ke rumah Riri!" teriak gue dengan isakan yang bikin heboh gue rasa tapi berhubung saat itu sepi, enggak ada yang dengan gue nangis. Sejak pagi, si Nanta ini memang ada di rumah. katanya lagi sakit dan ibunya harus kerja jadi dititipkan ke rumah. gue, sih, enggak terlalu peduli yang penting dia enggak jahatin gue.
"Sudah, jangan nangis," katanya sembari jongkok di dekat gue. Obel dia bawa untuk gue peluk dengan hati-hati banget. "Kalau saja saya tau kucing kamu kesakitan, pasti sudah saya obati."
"Memang tau obatnya?" tanya gue sesegukan.
"Kalau jadi dokter hewan mungkin tau."
Mata gue menatapnya lama. Bola mata Nanta itu bagus. Bulat dan hitam tanpa cacat. "Ya udah Abang aja jadi dokter hewan. Biar Obel enggak sakit lagi atau meninggal."
Dia tersenyum. "Oke. Cita-cita saya, saya ganti. Biar kamu enggak nangis lagi."
Air mata gue masih turun tapi mata gue masih menatapnya. "Memang cita-cita kamu sebelumnya apa?"
"Tentara. Tapi buat kamu, saya jadi dokter hewan." Dia usap kepala gue lembut banget. "Sudah jangan nangis. Panggil Mbak kamu. Kuburin si Obel." Lalu dia bangkit dari setengah jongkoknya itu.
"Eh, kamu mau ke mana?"
"Pulang. Sudah dijemput."
Setelahnya, gue enggak pernah bertemu anak kurus itu lagi. Sama sekali. Gue juga enggak pernah bertanya mungkin karena gue enggak dekat dengannya. Dan saat gue dipertemukan kembali, di depan gerbang rumah gue, di mana hari itu adalah hari pertemuan gue kembali dengannya.
Dan sosok kurus itu berganti seperti Hulk. Hanya satu yang enggak berubah, kalau ingatan gue enggak salah juga; sorot matanya. Sehitam jelaga tapi bulat dan bertambah tegas.
"Enggak sangka kalau ini Abang," kata gue pelan. Mata gue enggak teralih ke mana-mana selain pada potret lama itu sementara Hulk? Cuma cengar cengir doang seperti ketahuan entah karena apa.
"Kenapa Abang enggak bilang kalau kita dulunya saling kenal?"
Dia menggaruk kepalanya gue rasa karena gugup yang melanda. "Yah ... abis respon Neng di awal bikin Abang ngelus d*da mulu. Ketusnya enggak udah-udah."
Gue terkekeh. "Iya, sih." tapi ada satu hal yang menggelitik gue dari ingatan ini mengenai sosok Nanta yang ternyata Rasyid Ananta, suami gue ini. "Dan ... kenapa Abang benar-benar menjadikan cita-cita itu kenyataan?"
Matanya yang sejak tadi menatap gue, segera dialihkan begitu saja. pun deham kecil yang gue merasa ... Hulk lagi gugup? Di situasi ini? Kenapa coba? Kayak remaja yang ketauan lagi naksir gadisnya dan memperhatikan gadis incarannya terang-terangan. Serius.
"Abang," desak gue dengan segera yang membuatnya kembali menatap gue walau masih enggan bersitatap lama.
"Yah ... Abang pikir, biar kamu enggak nangis dan paling enggak, kalau kamu punya hewan peliharaan lagi, Abang bisa bantu kalau ada apa-apa. enggak perlu sampai nangis histeris gitu," katanya pelan.
"Tapi, Bang, asal tau aja. sejak Arin kehilangan Obel, Arin enggak mau pelihara kucing lagi. takut. Trauma gitu." Gue kembali menekuri foto yang masih setia gue pegang. "Takut banget kalau nanti enggak bisa ngurus dan berakhir seperti Obel."
Yang gue rasakan selanjutnya, kepala gue diusap lembut. Lalu ia labuhkan juga satu kecup kecil yang sangat singat.
"Enggak perlu takut. Nanti kalau sudah bisa pelihara kucing lagi, Neng boleh pelihara. Mau yang seperti apa? kalau ada apa-apa, kan, ada Abang yang bisa merawat."
Senyum gue perlahan timbul dan rasanya ada kebahagiaan tersendiri yang menyusup tanpa ragu. "Benar boleh?"
"Kenapa enggak?"
"Takut," cicit gue pelan. Serius, sih, ini. Punya peliharaan kalau tiba-tiba mati karena sebab tertentu rasanya sesak banget. Kayak ... gue enggak bisa menjaga dia gitu.
"Enggak usah takut. Ada Abang."
Kami bersemuka pada akhirnya. Mengisi waktu yang tercipta di kamar gue ini. Sorot matanya, terlalu jelas mengungkapkan apa yang ada di hatinya. Banyak permohonan di sana biar gue kembali percaya. Pada semua tingkah juga sikap serta segala eksistensinya dalam hidup gue.
"Apa ... kira-kira Abang bisa Neng percaya lagi?" tanya gue dengan penuh gemetar. Bukan hanya suara gue, pun tangan gue yang terulur menyentuh rahangnya yang cukup kasar. Gue tau, dia belum shaving. Penuh hati-hati, gue susuri rahangnya yang tegas itu. Menikmati sensasi berbeda yang gue rasakan di indera perasa yang ada di telapak tangan gue ini.
"Abang enggak mau lagi berjanji, Neng. Ucapan Neng benar. Abang takut, Abang lagi-lagi ingkar. Bikin Neng sakit hati dan kecewa. Abang tau, salah Abang masih menggunung di hati Neng. Enggak apa. Abang enggak akan lelah berkata maaf." Tangan gue yang masih setia di rahangnya, ia balas dengan menahannya agar tetap berada di sana.
"Tapi Abang pengin banget, ini keinginan jauh dari lubuk hati Abang, biar Neng memberi kesempatan untuk Abang buktikan, Abang ini bisa dipercaya lagi. Memenuhi semua harapan Neng terhadap arti suami dan ayah buat baby kita."
Gue lihat ia memejam seolah merasakan tangan gue yang masih setia di bagian wajahnya.
"Sejak pertama kali Neng tolak main bersama Abang dulu, Neng itu sudah memenuhi hati Abang. Berjuang memenuhi kata-kata Abang dulu menjadi seorang dokter hewan biar suatu saat nanti, Neng sadar, kalau Abang sejak dulu memang tertarik."
"Tapi kemarin Abang rusak begitu aja," keluh gue tanpa ragu.
"Iya. Abang enggak pungkiri salah itu sampai kapanpun. Mau disindir ribuan kali pun, Abang enggak akan berkelit. Pasrah."
Sudut bibir gue tertarik sedikit. "Kok, gitu?"
"Daripada Abang tau dan lihat sendiri, Neng bisa tertawa sama orang lain. meninggalkan Abang begitu saja." Dia sontak menggeleng. "Enggak. Enggak. Abang enggak sanggup. Abang lebih sanggup kena sindir ketimbang ditinggalkan."
"Kalau memang cinta, jangan pernah menyakiti, Bang."
Dia mengangguk pelan.
Sementara gue, meresapi dalam-dalam serta kembali membuat perhitungan. Pada apa yang ada di depan gue. Pada masa depan gue yang mungkin nantinya akan kami bicarakan. Pada masa lalu yang enggak bisa dihilangkan karena bagian dari hidup.
Dan karenanya juga, gue perlahan mendekat. Memberi satu kecup panjang pada bibirnya. Yang tadinya enggak ada balasan tapi gue lihat, ia melotot kaget karena sikap gue. Enggak berlangsung lama, sih, karena setelahnya dia sambut cium gue. Dengan segenap perasaannya yang bisa jelas gue rasakan dalam tiap kecup, pagut, yang berubah jadi isapan kecil penuh tuntut.
Dalam sekali gerak, Abang menggendong gue. Menjatuhkan gue tepat di tengah ranjang tanpa memutuskan pagut yang kami lakukan. Satu hal yang paling gue suka setiap kali Abang berada di atas gue; ia selalu memastikan, kepala belakang gue nyaman dalam tangannya. Sebelum ia gantikan dengan sempurna dengan bantal empuk agar gue semakin rileks dibuatnya.
"Neng."
Gue tau banget sorot matanya sudah mengelam mendadak. Gertak tertahannya bisa gue dengar jelas sejak tadi di sela cium yang kami perbuat.
"Neng belum tanya dokter perkara hubungan, ya. Neng cuma cium Abang bukan berarti diperbolehkan sentuh yang lainnya, lho."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro