[62]
Welcome, home!!!
Gue senang banget akhirnya bisa pulang, diperbolehkan pulang setelah dokter benar-benar memastikan gue bisa kembali aktifitas di rumah. Untuk masalah kerja, belum boleh. Referensi dokter, masih butuh isitrahat di rumah seminggu lagi. Kandungan gue memang enggak bermasalah tapi menjaga lebih baik.
Mungkin, karena beban pikiran gue yang terlalu banyak makanya gue drop terus.
Saat dokter menjelaskan hal itu, bisa gue lihat Hulk makin menunduk bersalah. Genggam tangannya ke gue diperketat seolah tanpa kata dia mau bilang, enggak akan melakukan hal itu lagi. Gue, sih, enggak banyak ucap dan minta dia berjanji. Sudah malas mendengar janjinya.
Saat gue tiba, sudah ada Mama di rumah. Gue tanya keberadaan Bapak, katanya pulang dulu ke Bandung ada urusan tapi bakalan segera ke sini. Gue, sih, senang saja. Mereka semua sayang sama gue. Beda sama hulk, bibir bilang sayang kelakuannya minus total.
Eh ... gue sudah berjanji belajar memaafkan, sih, ya. Enggak boleh punya pikiran aneh lagi. Di hari terakhir gue ada di rumah sakit, gue merenung sejenak. Semua yang sudah terjadi di hidup gue, enggak mungkin enggak ada yang bisa gue ambil hikmahnya, kan?
Melihat Hulk yang sama sekali enggak menurunkan kadar perhatiannya, juga banyaknya info yang ia beri selama menjalankan toko—Ini sudah beres. Serius. Enggak sampai seminggu, paket sisaan dari Makasar tiba di ruko baru yang disewa itu. Semua list pesanan barang baru, sudah mulai Hulk order di langganannya. Yang hamdalah banget, berpusat di Jakarta.
Tuh, kalau niat pasti beres. Gue sempat menyindir akan hal itu, sih. Dia bilang, "Bukan enggak niat, tapi masih bingung teknisnya karena Abang mau satu toko tetap berdiri, Neng. Abang enggak tau peruntungan di Jakarta gimana tapi paling enggak, ada satu toko yang bisa dijadikan cadangan."
Gue paham akan hal itu.
"Tapi karena kejadian ini, Abang enggak masalah semuanya serba baru. Dari pada Neng pergi ninggalin Abang."
Kembali, bibir gue mencibir. Sejak gue jadi istri Rasyid, makin pandai lah bibir gue mencibir atau sinis bersuara. "Takut tapi melakukan salah."
Dia terkekeh, menyisir rambut gue yang baru saja dicuci. Enggak ada hair dryer, Hulk lupa bawa padahal kalau rambut gue enggak dikeringkan, lama banget basahnya. Enggak enak.
"Tapi, Neng, Abang serius enggak bisa tinggal di sana, ya. Kita kontrak rumah dekat ruko saja, ya. kan enggak terlalu jauh juga dari rumah Ibu. ibu bisa setiap hari berkunjung ke rumah jaga Neng. Kalau pulang nanti Abang antar. Teknisnya bisa berjalan lah nanti."
Kening gue berkerut. "Kenapa memang enggak bisa tinggal di ruko?"
Senyum manis dari Hulk muncul juga, tapi belum sampai bikin gue merona seperti dulu lagi. Gue masih datar bersikap padanya. Masih bagus tata bahasa gue sudah sopan sekarang, enggak dengan nada tinggi dan ber-gue-lo lagi. Gue sadar, itu keterlaluan.
"Biar kerja ... difokuskan kerja. Dan rumah, dijadikan tempat pulang. Di mana ada Neng yang menyambut Abang pulang."
"Asal kerja benar aja, Bang. Bukan modusin orang lain."
Lagi-lagi dia terkekeh, kali ini geli banget bikin gue keki mendadak. "Cemburu Neng sadisnya sampai ke tulang. Enggak sanggup Abang handle." Lalu setelah selesai menyisir rambut gue, dia mengarahkan apel. Bertanya dengan isyarat apa gue mau atau enggak. Gue jawab dengan anggukan kecil. entah kenapa apel buat gue sekarang semacam penangkal mual.
Apalagi kalau sudah dikupas. Enak banget.
"Memang sudah dapat rumah sewanya?" Gue comot dengan enggak sabar apel kupas tadi, mengunyahnya cepat karena enak banget rasanya di mulut.
"Sudah. Dua hari lalu Abang cek sama Ayah dan beliau beri izin. Tapi belum diisi apa-apa. Besok kalau sudah di rumah, Abang sama Bapak urus untuk isi rumahnya. Sementara sederhana dulu enggak apa, kan?"
Gerak gue mengunyah, gue perlambat. "Kapan, sih, Arin menyatakan keberatan?"
Sesaat, gue merasa Abang kembali menunduk tapi lantas memeluk gue demikian erat. "Enggak kurang-kurang Abang minta maaf atas hal ini."
Gue belum seratus persen melupakan hal itu, sih. Buktinya, gue masih sering menyindirnya dengan telak.
"Semua setuju sama keputusan Abang untuk sewa rumah di dekat ruko. Mengingat ruko itu belum tentu baik kalau ada bayi nantinya."
"Besar rumahnya?" Gue cukup penasaran mengenai keadaan rumah yang mau gue tempati itu. Abang justeru mengangsur ponselnya yang kini enggak pernah jauh dari gue. Iya. Dia bilang, gue diberi akses penuh untuk mengacak ponselnya. Banyak pesan masuk dari Dini juga Nisa awalnya, tapi sejak gue kirim satu pesan panjang, sudah enggak ada lagi pesan masuk dari mereka.
Enak aja. Dipikir suami gue apaan? Pesuruh?
Gue enggak peduli dengan ancaman kalau Nisa mau susul Abang ke jakarta. Dia punya kewajiban lain. Jadi istri orang, kan? Kenapa malah pengin menemui Abang terus? Itu mengganggu kami, kan? Abang juga sudah tegas banget, gue rasa. Mereka aja yang sepertinya belum mau menerima kenyataan. Mungkin.
Di dalam galeri ponsel Abang, foto-foto rumah itu ada. Tiap ruang dia foto hingga ke toiletnya. Rumahnya memang enggak besar, hanya ada satu kamar dan pekarangannya kecil. Hanya bisa dimasuki motor satu. Enggak masalah, sih, buat gue. Yang terpenting nyaman.
"Enggak, sih. Biasa aja. Enggak masalah, kan sementara waktu? Tunggu sampai uang Abang cukup untuk membeli rumah sendiri?"
Sudut bibir gue tertarik kecil. "Enggak apa. Asal nyaman."
"InsyaAllah nyaman."
Kami diam sesaat sebelum gue berkata yang masih mengganjal di hati. Sebenarnya lebih untuk memberi penegasan, sih. "Artinya, kita tinggal berdua, ya? Bertiga soon to be?"
Hulk menatap gue dengan pandangan sangsi. "Maksudnya? Iya lah kita tinggal bertiga nantinya." Dia kembali menggenggam tangan gue erat. "Kenapa? Ada yang Neng takutkan?"
"Khawatir dan takutnya Arin itu besar banget, Bang." Gue enggak alihkan ke mana-mana dari netranya. Biar dia juga tau, apa yang sudah ia rusak belum tentu bisa kembali normal. Ibarat retakan dalam kaca, selalu akan berbekas sampai kapan pun. "Karena Abang yang merusak duluan. Kecewa yang Arin punya, enggak gampang untuk bisa diterima seperti semula. Kayak ... bikin ketakutan terus menerus, Bang."
"Enggak apa. Abang sabar dan terus berusaha meyakinkan, kalau khawatirnya Neng bisa habis di angka nol."
Gue hanya mengamini dalam hati. Kembali melanjutkan kunyahan apel yang tertunda tadi. Mengawasi dari sudut mata, saat pria itu mulai merapikan barang-barang gue selama di sini. Jangan sampai ada yang tertinggal juga urusan dengan bagian administrasi. Gue memang gunakan asuransi dari kantor, tapi tetap saja mungkin timbul biaya lain. Saat gue tanya, Hulk hanya beri cengiran kecil sembari mengusap rambut gue.
"Arin sekarang hobi melamun, ya?" tegur Mama pelan sembari membawakan gue teh hangat. Coba? Nikmat mana yang gue dustakan, ya Allah. Semua orang di rumah ini sayang sama gue, gue bisa merasakan itu. gue enggak kurang kasih sayang dari kedua orang tua gue juga mertua gue. enggak ada yang bersikap seolah kehamilan gue ini adalah bentuk manja. Enggak.
Gue benar-benar diperhatikan dengan amat. Bikin gue semangat untuk enggak terus menerus sedih dan kepikiran akan kesalahan yang pernah Hulk buat.
"Enggak, kok, Ma. Kangen sama ikan."
Mama tertawa. "Setelah semingguan ini malah kangennya sama ikan, ya, Rin."
Gue terkekeh. "Gimana, ya, Ma. Teman Arin yang paling setia soalnya." Tapi itu kejujuran memang. Beberapa kali gue memastikan ke Ibu biar enggak lupa perkara pangan ke ikan. Jangan sampai ada yang mengambang mati saat gue pulang nanti. Ibu berulang kali berdecak kesal, katanya malah ingat ikan bukan kesehatan.
Di dekat akuarium, gue duduk sembari menikmati semua peliharaan yang gue rawat ini. Berenang sesuka hati dan gue jadi sedih andai nanti gue benar-benar pindah ke rumah yang Abang bilang itu.
"Rin."
Saat gue menoleh, Mama ternyata menyusul gue ke sini. Gue rasa ada yang mau beliau bicarakan. Buktinya dia langsung duduk di depan gue.
"Mama mau bicara."
Nah, benar tebakan gue, kan? "Ya, Ma?"
"Kurang lebih, Mama sudah tau perkembangan hubungan kalian."
Oh, Hulk pasti laporan.
"Dan Mama bersyukur kamu mau melunak untuk Rasyid. Memberi kesempatan untukd ia buktikan kalau kamu memang harus didahului ketimbang urusan lainnya. Memberi maaf karena salahnya." Mama menggenggam tangan gue dengan lembutnya. Binar matanya penuh syukur gue rasa. Gue sendiri enggak tau jadinya harus merespon bagaimana.
Soalnya, gue belum benar-benar maafin anaknya, sih. eh ... suami gue lebih tepatnya.
Gue tau, kata-kata gue saat itu keterlaluan banget. Sadar, kok. Itu seharusnya enggak terucap dengan gampangnya. Habis mau gimana lagi? Gue emosi banget. Tumpukan dari segala hal yang bikin sesak dada gue bergumul jadi satu. Akumulasi dari semuanya terbentuk lah kata itu demikian sempurna banget, kan, meluncur?
Tapi gue juga enggak gampang memaafkan.
Gue biarkan mengalir apa adanya saja. sembari memperhatikan dengan sangat, Hulk ini benarbenar mau berubah atau sekali lagi, cuma bibirnya doang yang manis?
Bukan apa. Senyum Mama, tawa Ibu, doa Ayah, dan enggak lupa juga, Bapak yang kadang seru banget bercerita tentang hobi mancingnya itu, taruhannya. Kalau gue berpisah dari Hulk, semua itu enggak gue rasakan lagi. Mungkin bisa tapi bakalan beda rasanya.
Dan ... lagi-lagi gue kalah sama semuanya. Demi mereka, sekali lagi, gue biarkan Hulk ada di samping gue. Hanya satu doa gue sama Allah, kalau memang Hulk ini kembali jahat sama gue, tolong dengan cara-Nya bikin dia pergi dari gue. terserah caranya mau gimana gue enggak peduli.
"Mama enggak segan marahin Rasyid juga Bapak. Kami kecewa banget anak Mama seperti itu ke Arin."
Gue tersenyum saja. bagus lah. enggak membela anaknya sendiri.
"Padahal dia sendiri yang ngotot pengin cepat nikah sama Arin saat tau, Arin sudah putus dari pacarnya."
Kening gue berkerut. "Bukannya karena Mama dan Ibu, ya? Jodohin kami berdua?"
Eh ... si Mama malah terkikik sampai matanya sipit gitu. Bikin gue penasaran banget maksudnya apa. karena yang gue dengar enggak seperti itu, lho.
"Memang Arin lupa, ya, siapa Rasyid?"
Punggung gue menegak mendadak. "Memang kita pernah saling kenal, ya, Ma?"
Bukannya dijawab, Mama malah mengusap lembut rambut gue. "Nah, pas banget ada orangnya. Jelasin, Rasyid."
Gue menoleh dan mendapati Hulk berjalan mendekat ke arah kami. Ia menatap gue bingung karena pertanyaan dari ibunya itu.
"Jelasin apa?" tanyanya yang sekarang mengambil duduk tepat di samping gue. Jus strawberry yang gue pengin banget sudah ia angsur dan sumpah ... menggugah banget liur gue buat turun. gue sampai membasahi bibir berulang kali melihat gelas yang Hulk beri.
"Kamu enggak bilang sama Arin kalau kalian itu kenal sejak kecil?"
Gue sukses tersedak. Sampai perih banget tenggorokan, mata, dan hidung gue saking kagetnya. "Apa?"
****
Yg penasaran sm cara abang minta maaf, apa yg terjadi, bagaimana hidup mereka berdua, setelah bagian arin tamat aku sebagai permulaan series DAKI MONYET.
Tunggu saja ya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro