Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[61]

"Nak, jangan buat Mami seperti ini, ya?" katanya pelan sembari mengusap perut gue. Baru banget gue memuntahkan makan yang memang enggak enak tapi gue paksakan makan ketimbang gue kena infus terus. Gue enggak mau. Sakit rasanya sekarang. Belum lagi gue makin enggak bebas bergerak. Bedrest nyiksa gue juga, ya.

Tapi gue enggak boleh nyerah, kan? Gue harus berusaha untuk menstabilkan kondisi gue demi Utun. Kepala gue agak pening lantaran hanya bisa masuk infus. Oh ... apel yang siang tadi gue makan. Selebihnya? Enggak ada yang bisa masuk dan berakhir—lagi dan lagi—di closet. Gue sampai capek dan pengin nangis tapi kalau ingat Utun, gue berusaha banget untuk menahan diri.

Apa yang Hulk lakukan di perut gue, gue abaikan.

"Masih enggak enak perutnya?" tanyanya pelan. "Mau teh hangat?"

Gue menggeleng atas tawarannya. "Gue mau tidur. Lo pulang aja sana," usir gue sembari menepis tangannya yang lagi-lagi ingin menyentuh perut gue. yang gue dengar hanya kekehannya saja.

"Abang enggak akan pulang. Di sini temani kamu, Neng."

Selimut yang tadinya tersibak, kembali gue raih dan menutup sebagian badan gue. memberinya punggung tanpa berkata apa-apa lagi. mungkin karena capek muntah-muntah terus, bikin gue cepat banget ngantuk. Mungkin juga gue seharian ini capek lantaran memikirkan banyak hal yang Mae suarakan untuk gue pertimbangkan setelahnya.

Enggak tau, lah. Yang jelas, enggak berapa lama gue tertidur. Enggak peduli Hulk mau temani gue, kek. Dia milih pulang, kek. Sebebasnya dia aja. gue enggak tau seberapa lama gue terpejam, yang jelas, tidur gue malam ini nyaman dan nyenyak. Enggak ada rasa khawatir berlebih atau pikiran gue yang terlalu penuh sama hal-hal yang enggak bisa gue jangkau.

Gue sendiri enggak tau kenapa adanya rasa nyaman itu. Dan saat gue membuka mata kembali, jam di dinding kamar rawat gue sudah menunjuk pukul tiga dini hari. Gue lirik, Hulk lagi sholat. Khusu' banget. Kurang ajarnya, mata gue enggak teralih ke mana-mana. Memperhatikan dengan amat semua geraknya.

"Jujur sama gue, lo cinta sama Kak Kiki, kan? Kalau cinta, masih ada harapan memperbaiki, Rin. Kesempatan kedua itu kadang diperlukan dalam sebuah hubungan. Ini bukan sekadar pertunangan doang, tapi sudah suami istri. Terikat sah. Apalagi sebentar lagi ada anak."

Perkataan Mae kembali memenuhi kepala gue tanpa permisi. Gue enggak menjawab pertanyannya karena enggak punya jawaban yang pasti.

"Gue enggak tau hutang budi model gimana yang dimaksud Abang saat menyinggung si Nisa ini," kata gue pelan. Rasa apel yang tadinya manis dan segar, berubah jadi hambar. "Gue cuma mau, dia cerita semuanya. All of. Enggak ada yang ditutupi. Kalau gue marah karena cerita yang dia punya, bukannya lebih baik ketimbang dia bohongin gue? Ditutupi begini? Yang bikin gue kecewa banget."

Mae mengusap bahu gue pelan tanda simpati.

"Dia bilang, sudah cerita semuanya tapi apaan? Buktinya masih bilang kalau dengan Nisa ada hutang budi. Coba lo jadi gue? Hati gue ini enggak setegar kelihatannya. Kayak puyo. Rapuh."

Dasar punya sahabat yang enggak bisa banget bikin hati gue adem. Satu cubitan cukup kencang diterima lengan gue padahal gue ini lagi bedrest. Bukannya diusap-usap sayang malah dianiaya. Gue protes malah dibilang berlebihan. S!alan, kan, Mae itu?

Hamil tapi tambah sadis.

"Mungkin ... ada sesuatu yang enggak perlu lo tau." Mae berkata agak hati-hati di sini yang bikin gue melengos.

"Gue istrinya kali. Masa iya gue enggak boleh tau hal itu? Dia tau gue masih cinta sama Hekky."

Mae ngakak. "Yakin? Bukan cuma bibir doang yang bilang cinta? Kalau cinta sama Hekky, gue yakin banget Hekky sekarang sudah di sini, Rin. Temani lo. Lo, kan, lebay masalah sakit sedikit. pasti sudah laporan sama Hekky minta disayang-sayang."

Mae dan kata-katanya serta kekurang-ajarannya itu bikin darah gue mendidih mendadak. "Gue enggak gitu, ya!"

Mae malah berdecih sembari mencibir. "Lo lupa? lo itu manjanya kebangetan sama Hekky. Ditutupi pakai kata-kata tajam aja jadi enggak kentara," sanggahnya telak bikin gue mingkem mendadak.

"Lagian, memang lo cerita sama kak Kiki beberapa kali bertemu Hekky di belakangnya?"

"Ya enggak cerita memang. Tapi pertemuan gue enggak ada apa-apanya. Sebagai bentuk penegasan kalau gue memang sudah bersuami dan yah ... kalau semingguan kemarin, gue agak bersyukur, sih. gGue ditemani. Lo enggak tau aja, dia mirip tukang ojek. Boro-boro banyak ngobrol sama gue. Cuma anter jemput aja. Enggak lebih."

"Buat lo seperti itu, tapi di mata kak kiki bisa jadi enggak gitu. Sama seperti dia mungkin. gue enggak tau banyak, sih. Tapi enggak ada salahnya, lo coba saling terbuka. Kali ini benar-benar terbuka. Perbaiki diri masing-masing. Yah ... biarpun untuk kali ini, Kak Kiki salah banget. Gue hantam tadi pakai tas aja dia enggak berkutik."

Gue melongo. "Lo serius?"

"Iya. Kepalanya benjol kali. Gue enggak tanya lagi, tapi dia kesakitan gitu." Mae nyengir tanpa dosa. Ya Allah, Mae yang gue kenal kalem, enggak banyak bicara, bisanya diam saja kalau merasa disakiti sementara gue yang cuap-cuap dan geram lantaran dia yang enggak banyak gerak gitu, sekarang berubah drastis.

Efek hamil, kah?

Gue rasa, sih, iya. Soalnya berbanding terbalik sama keadaan gue. gue jadi kayak orang yang mundur ke belakang bukannya maju. Aduh ... hormon ibu hamil itu benar-benar bikin jungkir balik, ya, ternyata.

"Neng? Bengong?"

Gue mengerjap heboh. Saking terlarutnya sama obrolan Mae tadi, gue enggak sadar kalau hulk sudah selesai sholatnya. Duduk di samping gue lagi sembari menatap gue lekat-lekat. Benar yang Mae bilang, bagian pipinya ada yang memerah. Juga sudut bibirnya kayak ada yang luka gitu. Bikin gue pengin menyentuhnya.

"Ini kenapa?" tanya gue pelan dan sedikit menarik sentuhan lantaran Hulk meringis sakit.

"Enggak kenapa-napa."

Gue benci banget dia yang seperti ini. Bikin gue lagi-lagi melengos. Kesal banget dengan tingkahnya yang bikin gue merasa, dia ini memang enggak anggap gue istrinya. Gue rasa, sih, begitu.

"Bisa enggak, sih, lo bikin gue tenang? Lo bikin gue merasa gue ini istri lo? Atau memang lo memang cuma butuh status gue sebagai istri lo? Dengan mengumbar kata-kata manis di awal hingga lo berhasil nikahin gue? Begitu?"

Dia terperangah. Gelayapan juga. matanya enggak dialihkan ke mana-mana selain menatap gue yang tersengal karena kata-kata barusan, sungguh bikin sesak di hati gue bukannya bebas, malah makin mencekik.

"Maafin Abang."

Gue sampai bosan dengan semua permintaan maafnya. Kalau Cuma minta maaf, gue bisa. Lakukan kesalahan lagi, minta maaf lagi. Gitu terus sampai jalan kelok sembilan di Sumatera sana, berubah selurus rambut gue ini.

"Neng mau Abang gimana? Abang sudah enggak mau berhubungan dengan mereka lagi. Abang salah. Memang hutang budi enggak harus seperti itu cara balasnya. Taruhan Abang besar banget dan jujur ... Abang takut banget saat melihat darah di malam Abang berantem itu."

Gue menyimak biarpun mata gue enggak melihat Hulk.

"Abang takut, enggak dikasih kesempatan untuk terus bersama Neng lagi."

"Kenapa enggak sekalian mati aja, ya, Abang? Jadi nyesal seumur hidup dibawa mati."

Dia kayak shock banget gue bisa bicara seperti ini. "Kok, gitu? Jahat banget."

"Lebih jahat juga Abang. Membela orang lain tapi ninggalin Arin sendirian di rumah."

Dia bungkam. "Makanya, Abang enggak akan berhenti berucap maaf sembari membuktikan ke Neng, Abang kali ini serius dan sudah enggak mau lagi salah meletakkan posisi. Abang salah."

Dengan penuh kurang ajar, Abang meletakkan kepalanya di paha gue. "Maafin Abang, Neng. Abang terima semua perlakuan Neng yang menjauh asal jangan benar-benar pergi. Abang enggak sanggup."

"Arin sanggup ngadepin Abang yang enggak tau diri. Kenapa giliran Arin marah, Abang enggak sanggup?"

Dia diam.

"Mumpung Arin berbaik hati, mungkin malaikat yang tadi sholat bareng sama Abang lagi berbisik lembut biar mau mendengar penjelasan mengenai hutang budi yang dimaksud. Kalau Abang enggak bisa jujur juga, Arin enggak tau lagi gimana mesti bersikap."

Refleks, Hulk angkat wajahnya dan menatap gue tanpa jeda. Senyumnya timbul walau gue tau, dalam sorot matanya sudah berkaca-kaca. Segera, gue ditariknya masuk dalam peluk yang gue tau penuh rindu. Pun kata-kata demikian lirih yang kali ini, mengusik banget hati gue.

"Makasih, Neng. Makasih."

****

"Dia cuma mau jenguk Arin, bukan mau bawa kabur Arin." Gue menatap Hulk dengan sinisnya. "Beri masuk. Enak saja dilarang gitu."

Gue dengar banget, helaan putus asa keluar dari Hulk dan juga sorot matanya enggak percaya kalau gue masih bertemu dengan Hekky. Biar saja. Biar gue puas membalas rasa kecewa dari Abang. Berhubung gue enggak mau menurunkan sorot mata sinis ke arahnya, ia pun mengalah.

Saat Hekky masuk ruang rawat gue, jangan harap ada senyum dari Hulk. Dia dengan seenaknya duduk di samping gue, bikin Hekky enggak mendekat tapi gue rasa dia sendiri memang enggak lebih dari sekadar berdiri di ujung ranjang gue.

Kalau boleh gue luncurkan sebuah pujian, betapa memang Hekky ini pria yang baik, dia memang layak mendapatkannya. Gue selalu berdoa, akan tiba masa di mana Hekky, bisa berbahagia tanpa melihat ke arah gue lagi.

"Hai, Rin," katanya dengan senyum kecil. Mengabaikan Hulk yang mendengkus mirip kerbau marah. Gue mau tertawa tapi sungguh, gue tahan biar dia paham juga. Saat si Nisa-pret masuk ke ruang rawat Hulk, lalu dengan ramahnya Hulk menyambut, itu yang gue rasa.

Gue pendendam? Yes. Sangat.

"Ibu bilang, kamu pingsan?"

Gue mengangguk saja.

"Tapi kandungannya gimana?"

"Anak dan istri saya sehat, kalau itu yang kamu mau tau." Ini jawaban dari Hulk. Gue lihat, Hekky melirik ke arahnya dan tersenyum kecil disertai anggukan.

"Syukur lah kalau begitu. Saya khawatir keadaan Arin. apalagi seminggu ini, dia sendirian. Beruntung saya berbaik hati, menemani. Saya enggak tau akan jadi apa kalau istri Anda, pingsan di tempat umum."

Hulk segera bangkit dari duduk tapi gue tahan. Melihat cekalan tangan gue, dia menggeram kesal banget dan duduk lagi. patuh banget.

"Iya, makasih bantuannya, ya, Mas Hekky. Maaf, merepotkan beberapa hari ini."

Hekky masih setia sama senyumnya.

Gue rasa, Hulk enggak tahan. "Maksud Anda apa?" Dia sudah berdiri tepat di depan Hekky.

Hekky pun enggak mau kalah dalam bicara. matanya nyalang ke arah Hulk tanpa gentar. ucapnya sembari melirik sekilas ke arah gue tapi kembali mengimbuhi kata-katanya dengan segera.

Lalu Hekky pergi begitu saja. mengabaikan Hulk yang terlihat memerah menahan amarah.

Gue? Diam saja. Menikmati.

"Ada hal yang seharusnya Abang tau, Neng?" tanya Hulk dengan nada memaksa. Wajahnya masih kaku nan geram bersamaan. Gue? Mau ngakak tapi serius, gue masih bisa tahan. Gue mengedikkan bahu sebagai jawabannya. Pengin tau, dia sampai seperti apa menanggapi ini.

"Neng," panggilnya lagi. Dan sekarang, Abang benar-benar duduk di samping gue. Matanya menatap gue tanpa ragu. "Semalam Abang sudah jujur semuanya. Semuanya tanpa ada yang ditutupi. Sekarang Abang juga mau Neng jujur."

"Jujur dalam hal apa? Yang Hekky bilang itu kejujuran, kok."

Dia mengusap wajahnya dengan nada frustrasi. Kentara banget soalnya. "Berapa kali Neng bertemu Hekky?"

Gue sok berpikir sejenak. "Mungkin semingguan kemarin."

"Ya Allah," desah Abang pelan. Keningnya sengaja ia jatuhnya persis di bantal yang gue kenakan dalam posisi setengah rebah ini.

"Kenapa pakai sebut nama Allah segala?"

"Kenapa harus bertemu Hekky, sih? memangnya ada keperluan apa? kenapa Abang enggak tau?"

Gue berdecih pelan. "Tolong ditanya sama kegiatan Abang semingguan kemarin. Ngapain aja selain pemulihan? Tanya kondisi Arin enggak? Yang Hekky bilang benar, lho. Arin hampir pingsan di tempat umum. Muntah-muntah hebat. Karena itu Hekky nawarin bantuan antar jemput Arin ke kantor. Ibu setuju. Abis ... punya suami tapi mentingin orang lain gitu."

Gue dengar dia menggeram lagi. Kenapa coba? Hobi banget menggeram, biar dibilang apa? Sangar? Nyeremin? Enggak takut gue, sih.

"Seharusnya Abang bilang makasih karena Hekky jagain Arin. Dia enggak lebih seperti seorang kawan baik yang tau posisi."

"Tapi ngeliat wajah Hekky tadi, Abang enggak merasa seperti itu. Dia seperti berharap banget sama Neng."

Gue menoleh ke arahnya yang kini dekat banget sama gue. Embus napasnya aja sudah menyapa wajah gue tanpa ragu.

"Kalau dia berharap, itu urusan hati dia. Bukan Neng. Neng enggak bisa melarang mengenai hati seseorang. Yang jelas, hati Arin bukan untuk Hekky lagi. hati Arin ya ... milik Arin. Mutlak."

"Milik Abang, kan?" tanyanya dengan satu cengiran konyol yang sudah lama enggak gue lihat.

"Bukan. Percaya diri banget. Apalagi setelah apa yang Abang lakukan? Hati Arin mahal harganya. Arin bisa aja mendepak Abang dengan segera."

Matanya memejam cepat, "Jangan gitu. Abang sudah jelaskan, kan?"

"Tapi, kan, belum dimaafkan."

"Enggak apa. Abang enggak masalah. Setiap hari, Abang terus menerus minta maaf pun rela. Asal jangan bergerak menjauh dari Abang, ya." Hulk perlahan merapikan surai gue yang agak berantakan. "Abang mohon hal itu saja."

Gue masih belum mau merespon pintanya. Walau semalam ia menjelaskan dengan sejelas-jelasnya, buat gue, enggak mudah untuk kembali memberinya percaya. Mungkin, permohonan maafnya sudah mulai mengusik tapi tetap saja, kecewa itu ada.

"Perkara hutang budi, di saat Abang baru merintis. Nisa, terutama. Banyak menyokong dukungan baik material juga waktu. Dukungannya saat itu, bikin Abang terus bangkit dan yah ... hingga ada di titik satu tahun lalu. Juga keluarga besar mereka, Neng. Biarpun Abang sudah enggak berhubungan lagi, tapi dengan keluarga Nisa, hubungan kami tetap baik."

Gue masih ingat semua penjelasan Abang.

"Belum lagi saat Abang ada masalah. Mama dan bapak enggak tau. Biar tenang di Jakarta. Abang yang repot enggak apa. Mungkin itu juga yang membuat Abang enggak tega saat tau, suami Nisa seperti itu. Belum lagi Tante Kiki cerita panjang lebar mengenai suami Nisa. Bikin Abang kalap."

Tangan gue terkepal kuat banget. Beruntung kuku gue enggak panjang dan enggak sampai melukai telapak tangan.

"Abang lupa ... kalau Abang punya prioritas. Abang benar-benar mirip orang bodoh saat itu. Abang salah, Neng. Salah banget. Maaf."

"Kalau Arin enggak mau memaafkan Abang seumur hidup, gimana?"

Abang mendongak dari kepalanya yang sudah ia rebahkan di samping gue semalam. Saat ia berkisah mengenai hutang budi yang gue tanyakan itu. Matanya tampak putus asa dan pada akhirnya ia mengangguk pelan.

"Enggak apa. Asal Neng jangan bergerak menjauh dari Abang. Anggap saja ... itu hukuman yang Abang layak dapatkan."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro