[60]
Hulk duduk di tepi ranjang gue dengan wajah masam. Sekilas gue lihat, masih ada plester yang setia banget nempelin mukanya yang garang itu. belum lagi, jalannya yang masih agak tertatih mungkin pengaruh operasinya di perut. Gue enggak ada simpatinya sama sekali. Sakit dan penderitaannya bukan untuk membela gue, kok.
Dipikir, dengan dia datang atau gue tau kondisinya yang mengenaskan, hati gue bisa lembut? Enggak. Gue bukan perempuan seperti itu. Keras hati gue untuk sekadar memberi maaf.
Gue tetap melakukan aktifitas selepas pulang kerja, buat apa bertanya banyak padanya kalau gue sendiri masih kesal luar biasa. Seenaknya kalau bicara. Apa selama seminggu ini dia bertanya tentang gue dan anaknya? Enggak. Dia lagi pemulihan? Begitu alasannya?
Bullshit.
Sudah habis semua percaya yang gue punya buat Hulk. Enggak menyisakan barang satu karena sungguh, rasanya menyebalkan kalau ingat kelakuan Hulk ke gue. gila. Gue pikir dia kerja, sibuk ngurus toko yang mau dipindahkan, repot ngurus ini dan itu, eh ... malah sibuk dengan istri orang.
"Neng, kita mesti bicara." Gue tau banget, dirinya gusar dengan tingkah diam gue sejak masuk kamar. Bahkan saat bersemuka dengan ibu tadi, gue pun diam saja. Dari nada bicaranya, Hulk berusaha banget meredam emosinya. Bukan cuma dia saja yang butuh diredam, gue juga.
"Abang mau memperbaiki semuanya. Abang salah dan tau, rasanya bicara maaf ke Neng enggak cukup menebus semuanya. Abang sudah selesai di sana. Abang hanya enggak tega ka—"
Refleks, gerak gue mengenakan piyama tidur terhenti. Sorot mata gue tajam mengarah padanya. Enggak peduli lagi dengan banyak hal yang gue tahan selama ini. Semua amarah yang terlipat rapi di hati, mulai bergejolak minta dikeluarkan secara utuh.
"Enggak tega? Sama istri orang? Abang bela sampai merugikan diri sendiri? Begitu?"
Dia diam.
"JAWAB!!!"
"Abang sungguh enggak sangka kalau kejadiannya akan seperti ini. Nisa sudah Abang anggap sebagai adik dan perasaan enggak tega enggak bisa diabaikan begitu saja, Neng."
Gue tertawa miris. Seringai gue sudah enggak lagi santai menanggapi ucapannya. "Lo tau? Lo yang gila sama hidup gue. Kalau lo masih mau peduli sana orang lain, silakan. Pintu kamar gue terbuka karena gue memang enggak mau terima orang yang masih berkubang dengan masa lalu. Membela orang itu tanpa memedulikan istrinya gimana? Otak lo waras?!" Tanpa ragu, gue menudingnya. Enggak peduli kalau dirinya nanti akan balas menggunakan nada tinggi. Marah gue, sudah enggak bicara dengan kata-kata sopan yang akan menimbulkan rasa sakit hati.
Enggak. Hulk masih diam dengan sorot mata sendu yang mulai bergelayut. Mau bikin gue segampang itu memaafkan? Enggak akan.
"Yang lo nikahin itu gue, Rasyid. Bukan Nisa. Yang hamil anak lo pun gue. Sudah gue tegaskan kemarin, kan? Yang gue dapat apa? Dikecewakan sedemikian hebat, ya? Gue mesti tepuk tangan atau apa sama suami sendiri?"
Akumulasi semua perasaan gue untuk Hulk, merebak. Mencekik hati gue tanpa ragu dan membuat sesak dengan amat. Air mata gue kembali jatuh, mengabaikan perut gue yang bergejolak hebat, berkali-kali gue mengepalkan tangan berusaha banget biar enggak luruh kalah karena rasa enggak nyaman yang sudah mendera.
"Abang minta maaf. Ribuan kali akan Abang bilang hal seperti itu sampai dapat pengampunan Neng. Abang sudah selesai dan mulai hari ini enggak akan menjauh lagi. urusan Abang sudah selesai dengan Nisa. Bukan hanya perkara membela dia saja, Neng, tapi adanya hutang budi itu bikin Abang enggak bisa terlalu leluasa lepas dari Nisa."
Gue berdecih. "Hutang budi? Perkara hutang budi saja sampai lupa sama istri?"
Hulk lagi-lagi diam.
"Kalau lo memang enggak bisa bikin gue jadi prioritas hidup lo, gue enggak masalah. Mumpung lo di sini. Lo bilang sama orang tua gue, lo kembalikan gue sama mereka. Gue enggak masalah." Satu dua tetes air mata yang gue tahan, sudah turun dengan lancarnya.
"Lo tau ... sakit hati gue karena kelakuan lo ini, enggak gampang memberi maaf. Lo sudah keterlaluan banget bikin gue sedih dan kecewa." Ugh! Utun ... ayo dong kerja sama sama Mami. Jangan dulu bikin Mami lemas seperti ini.
"Ceraikan gue, Rasyid."
Gegas ia menggeleng dan bergerak mendekat tapi gue sudah memperhitungkan kalau dirinya akan bertindak seperti itu. "Diam di situ. Gue enggak mau lo sentuh," peringat gue tegas.
"Enggak, Rin. Enggak semua masalah ini diakhiri dengan cerai. Abang enggak mau. Abang mau membuktikan sama Neng, kalau kemarin adalah pelajaran demikan berharga untuk Abang. Abang enggak mau kehilangan Neng."
Lagi-lagi gue tertawa miris. "Berharga? Seharusnya lo tau, siapa yang harus jadi prioritas hidup lo sejak lo mutusin nikah sama gue."
"Abang minta maaf," katanya sekali lagi. Pelan ia kembali melangkah tapi gue makin mundur. Berulang kali gue menggeram kecil menahan amukan di perut yang membuat pening mendadak. Pandangan gue sudah enggak terlalu jelas, mulai berbayang tapi gue tahan.
"Ceraikan gue, Rasyid. Ceraikan."
"ARIN!"
Hanya suara itu yang gue dengar sebelum semuanya gelap. Pusing di kepala gue merajamnya hebat banget. Mirip ribuan tusuk duri yang menerpa semua sistem syaraf gue.
***
Gue enggak tau seberapa lama terpejam. Terakhir kali gue ingat, gue ada di kamar dan meraung mirip orang gila karena ada Hulk. Gue rasa, gue lagi mimpi saat itu. perlahan saat mata gue terbuka, silau yang menyapa bikin gue rasanya mau menutup mata saja. Dan ... ugh! Aroma citrus yang kuat banget serta obat-obatan yang gue rasa menusuk banget penciuman gue.
Kenapa, sih, rumah sakit selalu khas dengan bau seperti ini? Bikin gue serasa sakit banget padahal cuma pingsan, kalau enggak salah ingat itu juga.
Pening yang gue rasa, masih ada walau enggak sekuat tadi. Dalam pejam yang masih gue lakukan, gue ingat, Utun. Tangan gue refleks meraba perut dan rasanya masih sama. Walau masih agak rata, tapi gue yakin Utun aman di dalamnya. Gue menghela napas lega setelahnya dan mulai kembali membuka mata. Mulai membiasakan netra dengan cahaya yang kelewat terang ini.
Dan saat menoleh ke tepi ranjang, Hulk di sana. Sebagian kepalanya ia taruh di ranjang gue dengan bertumpu pada lengan. Gue enggak tau apa dia tertidur atau pura-pura tidur, yang jelas, gue enggak mau membangunkan dia. Memilih menikmati rebah gue di sini, yang berakhir di ranjang rumah sakit.
Sekelebatan ingatan gue tertuju pada kata-kata yang meluncur sukses sebelum gue jatuh pingsan. Kata cerai yang enggak pernah pengin gue syahdukan tapi mau gimana lagi? gue kecewa dan sakit hati banget. Jangan kan perhatian kecil saat gue hamil, pas tau gue hamil saja responnya seperti itu.
***
Ah, memang nyatanya dia enggak pengin gue hamil lantaran masih pengin memberi waktunya ke tempat lain.
Dan saat dengan seenaknya dia pergi, Allah beritahu gue dengan telaknya, kalau untuk orang lain lah dia meninggalkan gue yang lagi hamil ini.
Lantas, esensi pernikahan seperti apa yang sedang gue jalani ini? Gue pikir, gue itu menuruti Ibu dan Ayah demi agar langkah gue berumah tangga, damai, sentosa, enggak ada kendala berarti, dicintai sama suami dan gue belajar mencintai dia selayaknya seperti pasangan suami istri lainnnya. Ah, tapi yang gue dapat apa?
"Neng sudah sadar?" Hulk yang tiba-tiba bangun, tampak terkejut mendapati gue yang sudah setengah duduk dengan tenang. "Apa yang Neng rasa? Sakit di mana? Abang panggil dokter, ya?"
Gue memilih bungkam. Terserah dia mau berlakon apa, gue enggak peduli. Semakin cepat gue bertemu dokter, semakin cepat juga gue tau keadaan gue.Satu hal yang pengin banget gue ketahui kondisinya, Utun. Semoga dia baik-baik saja. Seharusnya gue bisa kontrol diri dan lebih mementingkan utun ketimbang emosi gue yang gila-gilaan beberapa waktu lalu.
Dan enggak butuh waktu lama, dokter juga perawatnya datang. Memeriksa gue dan bertanya banyak mengenai ini dan itu.
"Kondisi kandungan Ibu lemah dan butuh bedrest semingguan ini. kita lihat perkembangan janinnya selama bedrest, saya beri penguat dan vitamin juga Ibu jangan terlalu banyak memikirkan banyak hal. Stress bisa memicu keadaan Ibu menjadi lebih buruk lagi. Kalau tumbuh kembangnya baik, pasti saya bisa referensikan Ibu pulang segera. Enggak enak rasanya bedrest di rumah sakit, kan?"
Gue tersenyum paksa. "Makasih, Dok."
Selepas kepergian dokter, gue kembali memasang mode datar. Pengin bertanya Ibu di mana tapi masih enggan. Yang enggak gue persiapka, sesaat setelah pintu ruang rawat gue tertutup, Hulk menjatuhkan dirinya tepat di samping gue. meraih tangan gue dengan lembutnya dan mengecupi berulang kali.
Juga gue rasa, ada tetes air yang menyapa punggung tangan gue. Hulk nangis?
"Maafin, Abang. Maafin," katanya demikian lirih. Gue bisa dengar ada sengau di sana tapi gue memilih diam saja. "Ini semua salah Abang. Abang yang paling bersalah dengan keadaan Neng sekarang. Abang yang buat kalian seperti ini. Abang minta maaf," imbuhnya lagi dan makin gue rasa air mata Hulk terus membasahi tangan gue.
Saat kami bersemuka, netra Hulk memang basah. wajahnya seperti menanggung banyak kesakitan dan penyesalan. Oh satu lagi, gue bisa jelas melihat pipinya yang agak membiru entah kenapa. padahal saat tadi di kamar, lebam itu enggak ada. Tapi gue enggak mau peduli. Bukan urusan gue.
"Jangan minta hal yang enggak sanggup Abang luluskan, ya, Neng. Neng boleh hukum Abang semau Neng asal jangan minta pisah. Abang enggak sanggup.'
Detik itu juga, gue tarik tangan yang ada di genggamannya. "Jelas, kan, tadi dokter bilang apa? Jangan buat gue stress. Ada di dekat lo, bikin stress gue naik ribuan kali lipat."
Dengan enggak tau dirinya, Hulk malah menyentuh sisi wajah gue. Merapikan rambut gue yang cukup mengangguk lalu mengecupnya singkat. "Abang enggak bisa beranjak, Neng. Abang takut, Neng pergi jauh dari jangkauan Abang."
Gue abaikan semuanya. "Gue mau Ibu. Lo keluar, deh, mendingan."
Dia mengangguk pelan sembari mengusap pipinya yang masih basah itu. Gue enggak peduli kalau dia menangis heboh, tersakiti sama ucapan gue, atau kecewa karena gue yang seperti ini. Karena buat gue, dia yang sudah memulai segalanya.
Segala hal yang gue rangkai dalam hal rumah tangga, dia hancurkan seperti itu. Dan maaf, adalah hal yang paling sukar gue katakan.
***
"Mae, lo yang benar saja lah. masa gue dikasih apel enggak dikupas?"
Sahabat gue malah ngakak. "Lo kayak gue aja. Senangnya apel dikupas. Bilang dong."
Bibir gue mengerucut. Mau misuh-misuh kelamaan pun percuma. Gue cukup senang kamar rawat gue dipenuhi Mae dan anak-anaknya. Seru banget melihat mereka berceloteh ini dan itu terutama Gio. Bocah ganteng itu ternyata perhatian banget ke gue. Mengusap punggung tangan gue seperti bentuk perhatian khusus darinya. dia bilang, "Kata Papa, seorang gadis bersedih itu harus dihibur banget. Salah satunya, dengan usap-usap begini."
Gue tergelak mendengar penjelasan bocah enam tahun ini.
"Biar Aunty Rin enggak sedih lagi, ya," katanya sembari memberi kecup singkat di pipi. Duh ... si Mae punya anak imut amat, ya.
"Gio sama Nendra sama Papa dulu, ya," kata Mae begitu melihat suaminya alias bos gue masuk dan menyapa gue. gue berkali-kali bilang maaf lantaran kondisi ini tapi yang bos gue katakan, "Pikirkan kehamilan kamu dulu aja, Rin. Kerjaan gampang."
Sungguh, gue enggak enak hati banget jadinya.
Dan apa yang Mae katakan barusan, benar-benar dipatuhi oleh mereka bertiga. Meninggalkan kami berdua saja di sini. Gue tau Mae mau bicara tapi gue belum tau apa yang mau dibicarakan. Kalau seputar Whiskie, gue lebih baik menghindar. Masih enggan bicara banyak tentang pria yang kini mirip banget sama lintah.
Enggak sedetik pun dia lewatkan tanpa menunggu gue. Sampai gue ke kamar mandi saja, ia tunggu. Katanya takut gue jatuh atau butuh bantuan. Dan yang bikin gue kesal, Utun berulah banget. Semua yang masuk ke mulut gue, enggak lama dikeluarkan dengan sempurna. Bikin gue sampai lemah banget. Dan enggak terhitung lagi si Hulk yang telaten banget merawat gue.
Gue sama sekali enggak bicara. Walau ada Ibu dan Mama yang datang, gue anggap Hulk enggak ada. Mungkin mereka berdua tau, marah gue masih kentara banget untuk Hulk. Jelas, lah. Sebelum Mama kembali ke rumah untuk membantu Ibu menyiapkan semua keperluan gue di rumah sakit ini, beliau sempat berpesan ke gue.
"Mama tau Rasyid salah banget dan Mama enggak kurang-kurang marahin dia. Wajar Arin marah dan kecewa, tapi Mama harap jangan terlalu keras menghukum Rasyid, ya."
Gue melengos saat Mama bicara seperti itu. anaknya tetap saja dibela. Gue mah apaan.
"Arin menantu kesayangan Mama. Sampai kapan pun, untuk hal ini rasyid yang terus Mama salahkan. Apalagi sampai bikin menantu Mama sedih begini. Enggak mudah memaafkan Rasyid juga Mama, Rin."
Bibir gue memilih bungkam enggak mau bersuara sama sekali. Hingga mereka benar-benar meninggalkan gue berdua dengan Hulk saja. Lalu kabar kedatangan Mae serasa angin segar dari sesaknya berduaan dengan Hulk saat ini. Gue sambut gembira banget kedatangan si mae, lah.
"Gue marahin Kak Kiki tadi. Di depan Mas Satria. kesal banget gue sama sikapnya."
Gue masih diam, memilih menikmati apel kupasnya.
"Dia enggak banyak bantah dan minta maaf karena bikin lo seperti ini."
"Basi," kata gue pelan. "Minta maaf mulu entah dari kapan tapi begitu lagi, begitu lagi. Malas lah gue."
Mae terkekeh. "Jadi lo maunya gimana?"
"kemarin gue bilang minta cerai," kata gue ringan. Tapi belum juga apel gue masuk ke mulut, Mae dnegan seenaknya memukul bahu gue dengan kekuatan yang cukup bikin gue meringis sakit. "Lo gila?"
"Lo yang gila, Rin!"
Bibir gue manyun.
"Gue tau lo kecewa tapi bukan ini yang gue harap dalam penyelesaian masalah lo, Rin. Lo boleh marah, maki-maki, atau mendiamkan Kak Kiki selama yang lo mau. Gue tau rasanya kecewa apalagi sama suami sendiri. Rasanya beda. Tapi bukan berarti lo bisa minta cerai begitu saja."
Gue masih mempertahankan manyun yang gue punya.
"Pikirkan ulang untuk hal itu, Rin. Pergunakan waktu dengan baik. Lihat sejauh apa dia berjuang untuk memantaskan diri buat lo. Lo sudah berusaha menjadi istri yang baik buat Kak kiki, sekarang waktunya dia yang harus membuktikan diri."
"Kalau nyatanya dia enggak mampu? Bikin gue kecewa lagi? Sama aja gue sia-siakan waktu dan hati gue, Mae."
Eh ... kurang ajarnya Mae senyum ke gue.
"Jujur sama gue, lo cinta sama Kak Kiki, kan? Kalau cinta, masih ada harapan memperbaiki, Rin. Kesempatan kedua itu kadang diperlukan dalam sebuah hubungan. Ini bukan sekadar pertunangan doang, tapi sudah suami istri. Terikat sah. Apalagi sebentar lagi ada anak."
***
Sebenernya bukan Mae ga dukung Arin. Justru dia ne lagi jadi penengah yang netral biar clear semuanya.
Pov Hulk nanti aku taruh di Karya Karya ya. Biar tau seberapa ngeselin dan perjuangan dia dpt maaf
Versi ini aku cut utk pov hulk. Knp gitu? Emang dr awal begitu pas aku up di innovel. Hahhahaah
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro