[6]
Gue pernah dengar kalau bohong itu memberatkan. Memang betul banget, sih. Sepanjang jalan ini gue bingung mesti gimana. Bukan karena salah tingkah, tapi ini serius si makhluk tanpa ekspresi mengantar gue ke kantor!
Subhanallah.
Mau memberi berjuta alasan, dia sudah mendorong gue masuk ke mobil. Dia nyetir tanpa banyak kata, cuma tanya alamat kantor gue. Langsung pasang google maps sementara gue ada di sampingnya! Sumpah. Pria model begini seharusnya dimuseumkan, bukan malah dijodohkan sama gue!
Oke, itu perkara simple. Ada yang lebih kacau dari sekadar maps yang dia pasang di ponsel. Buru-buru gue berkirim pesan pada Mae, berharap dia bisa bantu gue barang sesaat. Satria sudah approved permohonan cuti gue Jumat sore. Pekerjaan gue juga sudah di-handle Bu Ira, pun Sapto gue tinggalkan pesan kalau-kalau ada nota susulan dari supir kantor.
"Di sini, kan?" tanyanya yang membuat gue terkesiap. Gue perhatikan sekitar dan benar memang, ini area perkantoran tempat gue kerja.
"Iya."
Dan mobilnya masuk ke area parkir! Gimana ini!!!
Belum habis sial yang gue punya, si Muka Datar parkir tepat di samping Fortuner Satria, turun untuk membukakan pintu buat gue yang sebenarnya enggak perlu. Rasanya gue mau menghilang detik ini juga.
"Lho, Rin? Kok kamu ngantor? Batal cuti?"
Gue nyengir. Sementara di samping gue, si Muka Datar melirik minta penjelasan.
"Ada yang ketinggalan, Pak."
Satria mengangguk saja. "Saya duluan."
Lega sesaat tapi begitu gue menoleh, si Muka Datar dengan entengnya berkata, "Oh, kamu cuti. Bagus lah. Ambil barang kamu yang bilang ketinggalan. Kita kencan."
Sial.
Sial.
Sial.
Enggak ada yang bisa gue lakukan selain masuk ke dalam kantor dengan menghentak kesal. Rasanya mau kabur tapi mana bisa. Gedung kantor gue enggak punya pintu belakang. Ada pintu lain di lantai empat tapi langsung ke ruko lain. Argh! Ini semua salah si Muka Datar!
"Rin, enggak jadi cuti?" Ini pertanyaan dari Bu Ira yang sorot matanya kaget melihat gue masuk ke kantor.
"Jadi, Bu. Ada yang ketinggalan." Gue agak bingung juga dengan barang apa yang mesti gue ambil, sementara gue jarang banget meninggalkan barang di mana-mana. Penuh pertimbangan gue cek satu per satu laci. Dan seketika gue ingat, ada satu scarft gue yang memang belum dibawa pulang.
"Bu, Arin pulang, ya."
Bu Ira tergelak. "Makanya, Rin, jangan pelupa. Kayak gitu aja lupa."
Gue nyengir saja. Di tangan gue sudah menenteng satu paper bag berisi scarft tadi. Warnanya bagus, soft pink gitu. Pas banget sama sepatu yang gue kenakan pagi ini. Dengan langkah santai awalu penuh perhitungan karena bakalan bersama si Muka Datar seharian ini, gue tetap mengenakan scarft itu sebagai pelengkap blouse print flower broken white yang gue kenakan. Enggak butuh kaca karena gue terbiasa mengenakan kain lembut tipis nan cantik ini sebagai pelengkap pakaian gue.
"Sudah?"
Hampir aja gue teriak saat keluar pintu kantor, badannya yang gede itu ada di samping. Gue berdeham sekilas menutup gugup yang tadi menerpa. Lama-lama dikagetkan makhluk besar ini, bikin jantung gue enggak sehat juga. Bisa mati muda gue.
"Sudah."
"Apa yang tertinggal?"
Mata gue mendongak menatap tepat pada manik matanya yang hitam itu. "Bukan urusan lo." Gue memang kecil dibanding dia yang kata Mae kayak Hulk, tapi bukan berani gue enggak berani. Enak saja.
"Jadi? Kita mau ke mana?"
Kami sudah di jalan dengan banyak waktu di mana enggak ada di antara kami saling bicara. Kalau gue sendiri, ngapain amat ngajak dia ngomong. Gue saja sudah sebal ada di dekatnya, sekarang malah harus menghabiskan waktu berduaan. Alasannya? Biar lebih mengenal calon suami gue.
Enggak banget sumpah!!!
"Rin?"
"Bebas." Gue masih setia menatap jalan di depan yang agak macet. Jam segini, mengambil lajur jalan protokol utama di Jakarta? Selesai sudah. Terjebak macet kecuali mau minggir sedikit ke area mall atau kafe yang bertebaran di kiri jalan.
"Kalau begitu kita pulang saja."
Nah, itu lebih baik. Gue bisa melanjutkan tidur. Dia? Enggak ada urusan sama gue. Dan dia benar-benar mewujudkan hal itu. enggak sampaia satu jam gue sudah berada di halaman rumah lagi. ah, senangnya!
Buru-buru gue tutup pintu mobil dan bergegas masuk, enggak perlu basa basi macam-macam ke dia, kan? Eh, tunggu. Kenapa dia ikutan turun?
"Mau apa lo?"
"Pulang, kan?"
"Ya lo pulang ke rumah lo, lah!"
Untuk pertama kalinya gue lihat dia menarik sudut bibirnya, tipis banget kayak orang enggak niat senyum. Gimana, sih? Lo bayangin seseorang yang mukanya datar tanpa ekspresi tau-tau menyungging senyum kayak enggak niat. Nah, mirip banget sama si Hulk ini. Sumpah.
"Buatkan Abang kopi, Rin. Abang ngantuk banget sebenarnya."
"IH! Tuh, warung kopi di depan sana. Lo beli aja. Enak aja lo nyuruh-nyuruh gue," gertak gue sembari menunjuk ke sembarang arah. Yang jelas, ada di luar rumah gue arah yang dituju.
"Oh, oke."
Eh... dia benar-benar melakukannya! Mampus gue. Kalau Ibu tau, bisa habis gue disidang! Sebelum semuanya terlambat, penuh terpaksa gue panggil juga akhirnya.
"Woi."
Enggak nengok! Iya, lah, Arintania Maharani yang Maha Benar. Enggak bakalan dia nengok kalau dipanggil 'woi'! Gegas, gue beranjak dan menarik tangannya tanpa basa basi. Membuatnya menoleh dan memberi gue tatapan bingung.
"Kopi doang, kan? Jangan minta lebih."
Dia tersenyum dan bikin gue mengerjap dua kali. Serius dia senyum? Kok... manis. Aduh... buru-buru gue enyahkan pemikiran aneh bin absurd ini. Pun cekalan tangan gue di tangan kekarnya itu.
"Makasih, Rin."
***
"Sejak kapan suka ikan?"
Pertanyaannya jelas buat gue mengalihkan pandangan yang semula pada layar ponsel dengan aneka barang shopping online incaran, menjadi ke arah pria yang duduk santai di depan gue. Kami duduk di spot favorit gue di sudut rumah. Ibu ada di dapur, masak makan siang. Katanya gue enggak usah bantu, disuruh temani saja si Rasyid-Hulk ini.
"Sejak dulu," kata gue dengan malas. Kembali menekuri ponsel sekadar memilah mana yang akan gue beli dua minggu lagi. gue sudah menghitung berapa menghabiskan uang gajian yang sebentar lagi menyapa rekening. Kali ini sneakers abu-abu juga training hitam yang sedang hits menjadi incaran. Lumayan untuk jogging di Senayan kalau malam weekend.
"Arin suka apa?"
"Belanja."
"Kalau makan?"
"Apa aja selain batu dan pasir."
Dia tertawa dan suaranya kayak petir di siang hari. Oke, gue berlebihan. Gue baru tau kalau di Muka Datar bisa ketawa dan senyum ternyata.
"Kenapa kamu malah memperhatikan Abang? Baru tau kalau calon suaminya ini ganteng?"
Allahuakbar! Pedenya setengah dewa!
"Ih, mohon maaf Tuan Datar. Anda salah persepsi. Saya pikir Anda itu berasal dari gua di tengah padang pasir sana. Kaku dan enggak punya ekspresi. Ternyata bisa senyum dan ketawa juga," jawab gue dengan cibiran dan pandangan jengah.
"Si Tuan Datar ini juga manusia, kok."
Bodo amat. Gue memilih meneruskan men-scroll laman jual beli online. Banyak yang gue incar tapi gue enggak mungkin membeli semuanya. Tabungan dan budget belanja gue sudah habis beberapa hari lalu.
"Rin, Abang serius untuk ajak kamu tinggal di Makasar. Setahun saja."
"Gue lebih serius lagi menolak. Lo boleh ambil kebebasan gue dengan nikahin gue. Enggak apa, gue rela jadi seorang istri padahal terpaksa. Tapi bukan berarti lo bebas menentukan hidup gue." Gue menatapnya penuh menantang. Kayaknya label calon istri durhaka pantas banget disemat ke gue, ya. Belum jadi istri sah pria ini saja, banyak banget yang gue bantah mengenai dirinya.
Iya, lah! Gue enggak mau ada pernikahan ini. Syukur untung kalau dirinya membatalkan pernikahan gue nanti. Enggak masalah. Paling jadi gosip beberapa bulan doang. Toh, gue bukan artis. Aman.
"Ya sudah kalau gitu. Kita LDR dulu setahun."
Gue mengedikkan bahu saja. "By the way, kenapa lo ngotot banget mau nikahin gue, sih? Lo enggak punya calon sama sekali? Sampai mau dijodohin begini?"
Dia menggeleng. "Calon saya cuma kamu."
"Aduh... manis banget." Gue mendrama sedikit. "Sayangnya gue enggak tersentuh." Lalu mata gue fokus lagi ke ponsel. Tau-tau ponsel gue direbut begitu saja, membuat gue terpekik kaget.
"EH!"
"Bicara sama Abang enggak sampai berjam-jam, kok. Nanti kamu bisa teruskan mainannya kalau Abang sudah pulang."
Gue menggeram kesal. "Balikin."
"Nanti, Rin. Pergunakan waktu dengan baik. Abang cuma mau kenal kamu dengan sisa waktu yang ada. Lusa Abang kembali ke Makasar sebelum kita bertemu dua minggu jelang menikah."
Enggak ada yang bisa meredakan amarah gue karena tindakannya ini. Oke, gue tau enggak sopan mengabaikan seseorang hanya karena ponsel. Tapi benar, deh, gue memang enggak ingin bicara sama si Muka Datar kelamaan.
"Kamu kerja sudah berapa lama?"
"Lima tahun," tukas gue singkat.
"Naik motor setiap hari?"
Gue mengangguk doang malas bersuara.
"Hobi kamu apa?"
Mata gue melirik sekilas sebelum berkata penuh malas, "Belanja." Gue lihat dia mengangguk kecil. Kayak orang pura-pura paham atau mungkin sedang menilai sesuatu. Masa bodo.
"Arin," panggil Ibu dari dapur. Suaranya cetar membahana sampai gue merasa Ibu pakai toa masjid untuk memanggil gue. Tanpa banyak kata, gue pergi ke dapur menghampiri Ibu. Toh, ponsel gue terkunci otomatis nantinya. Enggak ada yang mesti ditakutkan juga, sih. Kalau meninggalkan si Hulk di sana, ada ikan yang menemani. Biar saja.
Biar rasa!
"Ya, Bu." Gue sekarang ada di dapur. Aroma cah kangkung langsung memenuhi indera penciuman gue. Enak banget pasti! "Ibu masak apa aja?"
"Bu Sofi bilang, Rasyid itu suka banget cah kangkung sama bakwan jagung. Kamu mesti hapalin makanan kesukaannya dia. Masak. Kali ini Ibu yag masak, seterusnya kamu harus belajar masak."
Gue comot satu bakwan jagung yang ada di meja makan. Mengunyah enggak pakai permisi lagi. "Bu, yang jual makanan mateng banyak. Tinggal beli aja. Enggak perlu repot masak."
Gue langsung kesakitan saat Ibu melayangkan satu cubitan persis di pinggang. Ketahui lah, pasti nanti ada noda biru di sana. Ibu sadis banget sama anaknya! Heran banget.
"Rasyid itu anak rumahan. Pulang dari rumah sakit langsung pulang, enggak pernah keluyuran. Memang kamu? Shopping melulu."
Gue berdecak pelan. "Gimana kalau Ibu aja yang nikah sama Rasyid kalau Ibu merasa dia hebat banget gitu."
Bukan pinggang lagi yang kena cubit, tapi kepala gue kena sutil yang Ibu pegang. Untung sudah enggak ada minyak panas di sana. Kalau enggak? Aduh... "Becanda, Bu," kata gue sembari mengusap kepala yang kena pukul tadi.
"Bu," panggil gue minta atensinya sedikit. Saat ucapan Ibu tadi, baru selesai gue proses soalnya. Jadi kepikiran untuk bertanya. "Ibu bilang dia kerja di rumah sakit? Satpam?"
Ibu ngakak! Sumpah. Ngakak yang geli banget gitu. Lalu matanya mengarah ke gue tapi ketawanya enggak berhenti. Bikin kening gue berkerut makin dalam. Salah memangnya pertanyaan gue?
"Dia itu dokter hewan."
"HAH?!"
"Iya, dokter hewan yang dikenal ramah, sopan, sayang banget sama pasien-pasiennya. Aduh, Rin... kamu kayaknya bakat jadi pelawak. Masa calon mantu seganteng itu dibilang satpam. Sudah mana dia punya klinik sendiri dan langganannya banyak. Terkenal di sana."
Gue mengerjap pelan. "Dokter hewan?" Gue ulang sekali lagi informasi yang baru banget gue dengar ini.
"Memang kamu enggak tanya sama dia?"
Kepala gue refleks menggeleng.
"Dari tadi kamu ngapain?"
"Ngeliatin ikan."
Ibu menggeleng heran gue rasa dengan jawaban yang gue beri. "Sudah sana, panggil Rasyid suruh makan."
Otak gue penuh banget sama hal yang sungguh enggak gue sangka. Rasyid? Dokter hewan? Si Hulk? Si Muka Datar?
Belum habis semua keterkejutan gue, saat gue menghampiri pria kekar itu, ponsel gue tau-tau sudah disodorkan kembali.
"Tadi ada yang telepon, nama My Honey tertera di layar. Pria yang kemarin jalan sama kamu, ya?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro