[59]
Semesta itu kadang kurang ajar banget bikin suasana rikuh di gue. Gimana enggak. Tim audit eksternal yang dimaksud Bu Ira, ternyata adalah tim Hekky. Gila enggak, tuh? Setelah malam itu dia antar gue pulang, dengan Ibu yang banyak bertanya ini dan itu ke gue terkait Hekky. Parahnya, gue disangka janjian bertemu.
Ibu kalau nuduh enggak pakai bismillah gue rasa. Gue bantah keras lah. Gue belum se-enggak waras itu, kok. Gue masih bisa jaga diri sendiri tapi mau bagaimana lagi? gue memang butuh orang lain membantu dan kebetulan yang enggak manusiawinya, Allah kirim Hekky ke depan gue. Bukan Hulk. Jadi ... yang salah siapa?
Gue sampai nahan napas saat perkenalan anggota tim dari Pak Bos. Pak Satria sendiri mengakui cukup terkejut mendapati Hekky bertandang lagi di kantornya. "Makin sukses, ya, Hekky," katanya sembari tersenyum dan menjabat tangan mantan anak buahnya.
Hekky membalas dengan cengiran kecil, "Ini semua berkat Bapak juga. Kalau Bapak enggak keras, pasti saya enggak ada di tahap ini."
Yang Hekky ucap itu kebenaran, kok. Buktinya, Pak Bos langsung berdeham kecil menutup gugup. Iya, lah. Disindir di muka umum gitu. Bos dan gengsinya yang selangit enggak akan pernah mau luntur dan kalah saing.
Gue mencoba untuk enggak hilang konsentrasi. Toh, mereka pasti beda ruang sama gue. Gue masih dalam skala aman. Lagian gue bersikap profesional, kok. Bantuannya kemarin gue juga sudah berkali-kali berucap terima kasih yang amat. Kalau enggak ada Hekky, gue terkapar enggak berdaya di restoran orang.
Tadinya gue mau check up sendirian, tapi karena kondisi gue balik kerja diantar orang lain, Ibu protektif. Yang pada akhirnya, gue enggak bisa ke mana-mana selain perjalanan rumah dan rumah sakit. Lalu kamar. Rebahan mirip orang enggak punya kerjaan padahal otak gue sudah melanglang buana pengin nongkrong cantik di kafe.
"Rin, laporan bulan April sudah oke, kan?" tanya Bu Ira yang memecah lamun gue. Otak gue segera menyambungkan pada ingatan deretan file yang sudah gue rapikan dengan baik. Anggukan tegas dan penuh yakin gue beri sebagai jawaban dan Bu Ira tampak mendesah lega.
"Kenapa, Bu?" Gue cukup penasaran karena Bu Ira enggak biasanya menampilkan wajah gusar gitu. Biarpun dijepit deadline sedemikian rupa, wajah Bu Ira selalu santai menghadapi. Apa karena gugup adanya audit dari luar seperti sekarang?
"Tadi Ibu ditanya cukup detail, sih, untuk pembelian barang dan laporannya. Takut ada yang keselip, rin. Kamu sudah cek, kan, ya?"
Kembali, gue mengangguk yakin. "InsyaAllah enggak ada apa-apa, Bu."
Gue lihat, Bu Ira mengangguk kecil. Seolah menenteramkan hati serta pikirannya akan pekerjaan lampau yang kini diperiksa itu.
"Eh, kamu gimana? Hasil cek dokternya?"
Senyum gue semringah mendadak. Bu Ira, salah satu yang selalu gue tanya mengenai perkembangan selama hamil. Apa yang boleh dan enggak boleh dilakukan atua makanan apa saja yang bisa gue konsumsi selama hamil ini, kepada beliau lah gue konsultasikan. Biarpun beliau bukan dokter, tapi jam terbang mengurus anaknya sudah mumpuni. Ibu dua anak itu terampil banget dengan hal-hal yang berkaitan dengan anak.
"Dokter bilang, sejauh ini baik-baik aja dan berkembang baik. Tapi memang masih suka mual. Ibu dan Bu Ira bilang, itu wajar, kan? jadi aku nikmati aja." Sungguh, tiap kali pembicaraan mengenai kehamilan gue mencuat, gue selalu bersemangat. Enggak ada yang gue pedulikan kecuali Utun. Padahal Utun belum lahir tapi sayang yang gue punya, sudah mendekati ribuan persen padanya.
"Alhamdulillah. Ibu senang dengarnya. Iya, kalau mual-mual, sih, wajar. Yang penting, masih bisa masuk makanan. Selama pengin makan, makan aja, Rin. Enggak usah peduli dengan badan dulu. Ibu dulu naik puluhan kilo. Enggak apa. yang penting anak."
Senyum gue masih belum mau luntur. Bu Ira benar, yang terpenting anak. Dunia gue kini.
Dan obrolan kami diseling dengan melakukan pekerjaan yang sudah menanti. Tim audit sesekali ke kubikel kami minta data ini dan itu. bukan Hekky, kok, yang menghampiri tapi orang lain. gue bersyukur, sih, dengan begitu enggak banyak interaksi di antara kami.
Bukan apa, gue menjaga diri aja. Sepanjang jalan saat Hekky antar gue, tatapannya seperti orang yang sedih banget tapi enggak bisa berbuat apa-apa.
"Rin, lo mau makan apa siang ini?" tanya Sapto mendadak yang bikin gue berjengit kaget. Bagus gue sudah menulis rapi laporan di buku besar, kalau enggak bisa kena coret saking kagetnya. Gue memberi delik tajam ke arah Sapto yang malah membalas dengan tatapn bingung. "Ih, gue tanya baik-baik juga. Lo mau makan apa? Lo kalau makan sekarang, kan, ribet."
Yah, sudah lah. sekarang teman makan siang gue memang cuma Sapto. Jadi mengalah saja karena Sapto sering banget berbaik hati mau direpotkan dengan kemauan gue yang kadang ajaib. Kata Sapto begitu.
"Makan sate taichan yuk," ajak gue dengan mengedipkan mata setengah memohon.
"Astaga, Rin. Itu enggak kenyang buat ukuran gue. yang lain aja, ya? suki-suki mau?"
Gue menggeleng cepat. "Gue maunya sate, Sapto. Jadi sate makan siang gue kali ini."
Dia tepuk jidat. "Lo hamil anak siapa yang direpotin siapa! Sialan banget lu, Rin."
Gue ngakak.
"Bagus gue sayang sama lo," imbuh Sapto yang segera gue beri satu pukulan kencang pada bahunya.
"Siapa yang lagi hamil?" tanya Hekky tiba-tiba yang membuat gue terutama terhenti begitu saja memukul Sapto. Sementara Sapto meringis lalu dengan kurang ajarnya meninggalkan gue berdua dengan Hekky.
"Jadi ... kemarin muntah-muntah bukan karena masuk angin? Tapi hamil?" tanyanya pelan tapi matanya menelisik ke gue yang sudah enggak bisa melarikan diri ke mana-mana. Satu helaan napas pelan gue embuskan sekadar menormalkan kerja jantung.
"Iya, Mas. Arin memang lagi hamil." Gue bicara seringan mungkin dengan satu senyum kecil sebagai penutup. "Sapto, buruan. Gue lapar. Suki-suki pun jadi." Setengah berteriak biar Sapto segera menyusul langkah gue. yang enggak gue persiapkan, Hekky menahan laju langkah gue begitu saja. bikin kening gue berkerut dalam.
"Makan sama Mas."
"Sudah janjian sama Sapto, Mas," kilah gue.
Dia menggeleng. "Ayo. Nanti keburu enggak pengin makan suki-suki lagi."
Hekky tau dari mana kalau orang hamil enggak segera dituruti apa inginnya, bisa hilang selera?
***
Enggak banyak yang gue bicarakan sama Hekky selain makan, kok. Selain pertanyaan, "Mau makan apa lagi?"
Gue lebih banyak menjawab dengan jawaban tertutup alias enggak butuh diperpanjang dengan pertanyaan lain. Makan siang kali ini juga biasa saja, enggak terlalu bern*fsu seperti saat gue makan ayam bakar. Soalnya gue pengin sate taichan bukan makanan berkuah gini. Tapi enggak mungkin, kan, gue keberatan sama yang Hekky tawarkan.
Kalau Sapto, gue berani banget sanggah. Lah Hekky? Aduh ... bisa panjang urusannya.
"Kenapa sudah kerja kalau kondisinya masih belum sehat banget?" tanyanya di akhir saat makan siang gue benar-benar selesai. Gue hany meliriknya sekilas dan menyeruput teh lemon pesanan gue tadi.
"Sudah sehat, kok. Dokter enggak masalah dengan kegiatan aku di kantor."
Dia mengangguk pelan. "Kemarin kenapa enggak jawab pertanyaan Mas, Rin?"
Memang, saat diantar Hekky, ia sempat bertanya aku ini kenapa. Berhubung pusing juga mualnya enggak keruan, gue milih diam saja. Menahan gejolak perut selama perjalanan pulang itu luar biasa banget, lho. "Sekarang sudah tau, kan?"
"Sudah berapa bulan?"
"Ehm ... sembilan minggu menurut pemeriksaan dokter."
Lagi-lagi dia mengangguk pelan.
"Arin sudah selesai makan. Mas Hekky?"
"Ah, oke. Kita kembali ke kantor."
Dan sepanjang jalan ke kantor pun, gue memilih diam. Walau Hekky bertanya ini dan itu, gue hanya menyahut sesingkat mungkin. Pun berterima kasih karena traktirannya siang ini.
"Nanti pulang bareng, ya."
Ucapannya membuat gerak gue membuka handle pintu mobil terhenti. Iya, Hekky bawa mobil kantor dan dipergunakan seenaknya untuk makan siang berdua gue. Tadinya gue protes tapi semua teman satu timnya malah mendorong kami segera pergi. Gue tau banget mereka semua, karena pernah diperkenalkan Hekky, gue sebagai pacarnya.
"Enggak, Mas. Makasih. Arin bawa motor sendiri." Sekali lagi gue coba menarik handle pintu yang ternyata masih dikunci. "Mas?"
Sorot matanya berubah tajam ke arah gue. Rahangnya mengetat mendadak dan bikin gue merinding seketika. Gue yakin, sih, Hekky enggak akan berbuat aneh-aneh apalagi kami sudah ada di parkiran kantor. Tapi tetap saja, ia agak mengerikan sekarang.
"Mas antar selama enggak dijemput suami kamu."
Nada suaranya penuh intimidasi, dingin, kaku, dan enggak ada ramahnya sama sekali. Bikin gue enggak bisa berkutik barang sejenak.
"Mas, bisa mengerti batas yang Arin bilang?"
Ia memejam sejenak, "Rin, dengar. Mas tau batas itu ada. Sejak kemarin juga Mas sadar. Tapi apa yang Mas lihat itu benar-benar enggak bisa Mas kendalikan. Arin sendirian. Arin kepayahan gini. Mana suami kamu? Enggak ada! Mas enggak bisa membiarkan Arin seperti ini. Terserah nantinya mau seperti apa. Mas tanggung risikonya."
Gue menelan ludah yang banyak banget durinya ini.
"Mas enggak bisa biarkan wanita yang sangat mas sayang seperti ini. Apalagi sedang hamil. Enggak bisa, Rin. Enggak bisa. Mau dilarang seperti apa sama kamu, Mas enggak peduli. Yang Mas ingin, hanya kamu yang baik-baik saja. Tiba di rumah juga ke kantor."
***
Sejak Hekky berkata yang bikin perut gue mules mendadak, dia serius merealisasikannya. Enggak bisa gue bantah barang sejenak selain akhirnya gue duduk di motornya. Lagi. Seperti mengulang adegan di mana gue sering pulang kerja bersama, dijemput Hekky tentu saja. Gue enggak pernah meminta tapi dia dengan sangat senang hati, sudah ada di parkiran kantor atau mengabarkan sudah dalam perjalanan ke kantor gue.
Setiap hari. Dulu.
Dan sekarang, diulang sempurna banget sama Hekky tapi dengan keadaan yang jauh banget berbeda. Satu hal yang bikin gue mau menerima semua tawaran Hekky; dia enggak pernah lagi bertanya mengenai Abang.
Menyinggung pun enggak pernah dalam tiap obrolan kami yang biasa saja sebenarnya. Malah kalau gue pikir, Hekky jadi seperti tukang ojek gue. enggak banyak bicara, hanya memastikan gue sampai di rumah dengan aman. Lalu ke kantor dengan nyaman. Itu saja.
Hekky izin sama Ibu? Dia enggak peduli kalau larangan Ibu benar-benar bikin gue gemetar sebenarnya. Tapi satu hal yang bikin Ibu enggak bisa berkutik, "Enggak masalah kalau Arin naik ojek atau taksi, saya tetap ikuti Arin, Bu. Memastikan Arin sampai di kantor dengan selamat, cukup buat Hekky saat ini."
Sudah seminggu ini berlalu dengan kegiatan aneh yang gue bingung harus bersikap seperti apa.
"Kamu mau makan malam apa, Rin?" tanyanya setelah berkendara hampir dua puluh menit lepas dari parkiran kantor gue. Hari ini, hari terakhir audit eksternal dari tim Hekky bekerja. Salinan pekerjaannya sudah Bu Ira dapatkan dan tinggal meeting final di hari senin depan. Enggak ada temuan berarti kecuali satu dau laporan yang kurang data tapi hamdalah, ada salinannya.
"Enggak tau."
Dia terkekeh. "Mie kuah?"
Gue berpikir sejenak. "Boleh, deh. yang acarnya enak, Mas. sama pengin pakai irisan tomat."
"Oke. Di Mampang, ya? Tempat biasa kita makan dulu? Mau?"
Ah, gil@ sih ini. Kenapa semingguan ini gue dibuat seolah bernostalgia manisnya pacaran sama Hekky, ya? "Boleh."
Tapi sungguh, Hekky enggak pernah menyentuh gue barang seujung kuku. Kecuali saat di restoran ayam bakar itu, ya. Itu pun karena gue hampir pingsan di kamar mandi. Obrolan gue juga enggak banyak. Sebatas kerjaan itu pun baik gue atau Hekky batasi banget. Dia benar-benar menjaga apa yang gue bilang sebagai batas. Gue ini perempuan bersuami. Dan dia hanya pengin, melihat dan tau gue aman secara langsung.
Entah ini dibenarkan atau enggak, gue tau jawaban sebenarnya, sih. Tapi gimana lagi, ya?
Saat gue cerita ke Mae, dia marah. Katanya gue enggak bisa tegas sama keberadaan Hekky. Gue tertawa. Ternyata gue sama Abang sama, ya? Masa lalu masih membayangi. Tapi kalau gue enggak didului, gue enggak pernah ingin ada kondisi seperti ini. Toh ... selama seminggu ini, intensitas dirinya menghubungi gue berkurang jauh.
Gue juga enggak pengin bertanya mengenai keadaannya. Gue pikir, pasti Nisa ke sana ngurus Abang. Biar saja lah. Rumah tangga gue juga sudah dihilangkan kepercayaannya seperti ini, kok.
"Seharusnya lo enggak bersikap begini, Rin. Lo mesti tegas."
Gue menghela napas panjang. "Lo benar. Hari ini hari terakhir Hekky di kantor, sih. Nanti gue bilang sama dia, sudah cukup bantuannya seminggu ini."
Mae pun ikut seperti gue, menghela napas. "Jangan dibuat berlarut masalah lo.Iinget, lo lagi hamil. Lu bersuami."
Ah, Mae ... gue selalu ingat siapa gue, kok. Entah kalau yang di sana, ya. Gue enggak pengin banyak tanya lagi. Rasanya kecewa kuadrat banget.
"Makasih, ya, Mas," kata gue sembari mengangsur helm yang sudah gue lepaskan. Melamun sepanjang jalan ternyata berguna juga. Selain Hekky memang enggak ngajak gue bicara sepatah kata pun, perut gue kenyang dan anteng. Sumpah. Utun benar-benar lucu kalau gue bilang. Seolah tau, kalau jangan sampai ibunya merepotkan orang lain. cukup sekali itu saja.
Kami tiba dengan selamat tentu saja persis di depan gerbang rumah.
"Iya. Sampaikan salam untuk ibu dan ayah kamu."
Belum sempat Hekky menyalakan mesin motornya, suara lain dari gerbang yang terbuka sempurna bikin gue berjengit kaget. Rasyid ada di sana. menatap gue demikian tajam dan penuh penghakiman.
"Oh, jadi ini yang dilakukan istri ketika suaminya enggak ada?"
Gue? Tersenyum sinis. Berjalan tanpa ragu masuk ke dalam rumah tapi yang enggak pernah gue sangka, cekalan tangan Hulk kuat banget sampai bikin gue menjerit kesakitan. Rupanya, Hekky pun melihat hal itu dan segera menghampiri.
"Lepas," kata Hekky tepat di belakang gue sembari menekan tangan Hulk sama kuatnya. Bisa gue lihat bagaimana cekalan Hekky sampai urat di tangannya terlihat. Sorot matanya pun enggak main-main menatap Hulk yang juga sama.
Sebelum semuanya terlambat, gue menyentak kasar cekalan Hulk dan mendorong Hekky dengan tenaga yang enggak seberapa ini. "Pulang, Mas."
Hekky mengerjap ke arah gue, mungkin kaget karena gue bisa berbuat seperti itu. Amarah gue sudah ada tepat di puncak kepala ditambah perkataan Hulk barusan. Apa dia bilang? Seolah menuduh gue yang macam-macam?
Sakit jiwa!
"Pulang, Mas." Sekali lagi gue berkata dan untuk Hulk yang masih setia menatap gue dengan tajamnya, gue tantang kembali. "Urusan sama lo belum selesai dan jangan ditambah dengan hal aneh. Hekky antar gue seizin Ibu. Kalau itu yang mau lo tau," desis gue. Berjalan melewatinya tanpa ragu dan segera masuk ke dalam.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro