[58]
Aktifitas gue kembali normal seperti biasanya. Berhubung Utun baik banget dan bisa diajak kerja sama, gue tetap menggunakan Scoppy ke kantor. Tapi kalau perut gue mulai bermasalah, gue enggak segan untuk order ojek online untuk pulang. Enggak mau gue bahayakan diri bagi Utun. Buat gue, dia yang paling utama dalam hidup gue sekarang.
Permasalahan gue sama Hulk? Biar saja. dia banyak kirim gue pesan, telepon, bahkan enggak segan juga kirim makanan untuk makan siang ke kantor. Oh, enggak lupa satu kartu terselip di dekat kotak makan orderannya. Permintaan maaf.
Kadang gue ladeni pesannya dengan balasan singkat. Kalau perkara telepon, gue masih malas untuk angkat. Biar dia di sana berpikir, gue bukan orang yang jadi prioritas kenapa stelah semuanya terjadi, dia nguber gue lagi? Karena gue istrinya? Selama ini enggak sadar memangnya?
Pekerjaan gue berjalan apa adanya. Masalah ini enggak bikin konsentrasi gue kacau untuk sekadar mengecek laporan dan menelitinya dengan amat. Gue enggak mau bikin Bu Ira dan Pak Bos marah atau memandang gue terlalu larut dalam masalah. Gue yakin, Pak Bos sedikit banyak tau mengenai masalah gue ini.
Saat gue cek kalender di ponsel, ada satu notifikasi pengingat kalau besok jadwal gue cek kandungan. Senyum gue terbit mendadak dan rasanya senang banget bisa mengetahui dari kacamata yang ahli, perkembangan Utun bagaimana. Dan beruntungnya gue, besok Sabtu. Jadi selepas gue ke dokter, mungkin duduk di salah satu kafe yang ada di mall cukup seru. Enggak butuh orang lain menemani, gue sendiri pun cukup. Eh ... berdua sama Utun.
"Rin, minggu depan ada audit eksternal, ya. Sudah saya email berkas yang mesti disiapkan. Kita periksa dulu, si Sapto sudah saya suruh ambil filling di lantai empat."
Gue menoleh dan mendapati Bu Ira berdiri enggak jauh dari gue. gue mengangguk antusias dan memberi jempol. Biasanya audit dilakukan bisa dua minggu tergantung banyaknya file yang mau mereka periksa. Pak Bos bisa saja gunakan audit internal tapi setahun sekali, Pak Bos pasti menggunakan jasa luar agar transparansi perkara masalah orderan enggak ada yang ditutupi.
Lagian, memang enggak ada yang ditutupi juga, sih. Bos saja yang rempong.
Dan sisa hari ini enggak ada kendala berarti yang gue rasakan, alias mual-mual. Utun benar-benar bisa diajak kerja sama. Makan pun enggak susah lagi. Hanya kadang gue merasa agak pusing dan cepat menggigil. Selebihnya baik-baik saja. Pintar banget memang baby gue.
"Bu, Arin duluan, ya," pamit gue setelah semua dirasa beres dan enggak ada yang tertinggal. Bu Ira seperti biasa, menunggu suaminya jemput. Gue enggak iri, tenang aja. sudah terbiasa sendiri dan enggak terlalu pengin anggap kebiasaan itu sebagai bagian yang nantinya bikin gue galau berlanjut.
"Hati-hati berkendaranya, ya, Rin," sahutnya yang gue jawab dengan senyum semringah. Gue berjalan beriring bersama Sapto. Dia baik banget sekarang sama gue. menggantikan tugas Mae yang mau gue repotkan perkara sarapan karena tiap kali gue ingat Sapto, yang gue ingat adalah bubur ayam yang banyak taburan cakwenya. Langganan Sapto itu.
"Lo hati-hati, Rin." Kali ini Sapto bersuara dengan nada seperti biasa, mengejek. Katanya. "Punya laki enggak diberdayakan." Dan setiap kali kata-kata itu meluncur dari sapto, jitakan keras gue layangkan ke kepalanya. Bodo amat kalau gue dibilang kurang ajar. Lebih kurang ajar juga bibirnya Sapto.
Tapi gue bersyukur, Sapto selalu bisa menghibur gue. Kata Ibu dan Mae, ibu hamil wajib bahagia, jadi anggap saja Sapto itu badut yang sedang melawak untuk gue kalau di kantor. Dan berhasil. Gue banyak tertawa di dekatnya. Bikin hari gue di kantor, enggak terlalu lama dan ceria. Enggak kepikiran banget sama Hulk yang nyebelin itu.
Jumat sore ini, jalan Jakarta enggak terlalu bikin pusing kepala. Macet memang, tapi enggak terlalu yang sampai bikin gue misuh-misuh karena lambatnya gerak kendaraan di depan gue. Selama gue berkendara, hati gue ikut merapal doa, kok. Biar dilindungi. Gue, kan, lagi bawa Utun sembari kerja. Jadi harus extra hati-hati dan berserah sama Allah. Itu yang gue yakini.
Seperti biasa juga, tiap kali pulang gue pasti melewati kedai ayam bakar yang sering gue jadikan langganan. Mendadak gue ingat makan bersama sesaat setelah pulang dari Dufan. Astaga. Pikiran gue kenapa mengarahnya ke sana, sih? Padahal beberapa hari belakangan ini, nama Hulk sudah mulai bisa gue singkirkan dari kepala. Selain enggak guna juga, gue butuh hal itu untuk membuat jiwa gue tetap waras. Jangan sampai gue setengah gila karena kelakuannya dan mempengaruhi kehamilan gue.
Enggak akan gue biarkan itu terjadi.
Tapi tololnya, gue mengarahkan motor ke area parkir! Mendadak pula, selera makan gue terbit dan harus banget pengin makan ayam bakar pakai nasi uduk. Ya Allah! Enggak baik banget memang mood makan gue kali ini.
Sungguh, langkah gue enggak ada ragunya sama sekali untuk masuk dan memesan menu. Setnegah hati gue berkata, "Segitunya Hulk bikin gue tersiksa." Sejenak gue memejam dan menghela napas panjang. "Udah, lah, Rin. Nikmati aja dulu skait hatinya. kecewanya. Allah pasti tau, lo kecewa dan semoga aja Hulk sadar diri." Hanya itu yang gue tegaskan dalam hati.
"Selamat menikmati, Kak," kata pelayan yang baru saja menyajikan pesanan gue. Selera makan gue benar-benar enggak terbendung. Sepertinya liur gue menetes saking kepenginnya gue eksekusi makanan di depan mata ini.
Dan benar saja. enak banget. Semuanya enak buat gue.
"Rin? Arin?"
Saat gue mendongak, dengan potongan paha yang ada di mulut. Jangan lupa kalau bibir gue pasti belepotan sisa kecap dari ayam bakar, ada Hekky di depan gue. Senyum kecil sembari mengulurkan tisu.
"Selalu, deh, makan berantakan. Lapar banget, ya?"
Gue gelagapan. Buru-buru menelan yang ada di mulut dan menyambar minum dengan gegas. Meraih tisu yang tadi ia ulurkan dan mengusapnya kasar di bibir. "Ngapain Mas Hekky di sini?"
Dia tertawa dan duduk seenaknya di depan gue. Matanya jenaka banget menatap gue yang bikin hati gue menghangat tiba-tiba. Ada rasa senang yang mendera gue tanpa ampun melihat penampilan Hekky yang jauh lebih baik dari terakhir kali kami bertemu.
"Pertanyaan yang sama untuk Arin kalau begitu."
Gue mencibir. "Makan lah. Arin kelaperan."
Dia tergelak lagi, kayaknya senang banget.
"Ya sudah. Mas temani. Boleh?"
Gue memutar bola mata jengah. "Tanya dulu baru duduk." Enggak, gue enggak nolak keberadaannya, kok. Bukan berarti gue mau macam-macam. hanya saja, ada sesuatu yang menggelitik gue sejak tadi mata gue saling bersitatap.
Hekky seperti saat gue pertama kali berkencan dengannya. Serius. Hangat. Bikin gue nyaman, dan sorot matanya yang teduh bikin gue merasa bahagia. Paling enggak, Hekky enggak sedih lagi. Gue tau, kita enggak bersama tapi bukan berarti gue pengin lihat dia terpuruk terlalu lama, kan?
Dan ini juga bukan berarti gue sudah jatuh hati dengan Hulk. Enggak begitu cara kerja hati gue.
"Arin sendiri?" tanyanya setelah kami saling diam cukup lama. Gue, sih, enggak diam. Memilih menikmati banget makanan di depan gue. Oh, enggak lupa jeruk hangat yang enak banget menyapa perut. Utun kayanya suka menu ini, deh. Buktinya dia enggak rewel.
"Seperti yang Mas lihat," kata gue ringan. "Mas?"
Senyum kecil itu kembali terukir. "Iya, sendiri." Gue lihat, ia mengaduk pelan gelas es teh manisnya. Gue sih masa bodo. Makanan di depan gue lebih menarik ketimbang kelamaan menatap Hekky. "Suami Arin mana?"
Gerak gue menyuap satu potong bagian dada—ini pesanan kedua gue, dada ayam bakar—terhenti seketika. Mengerjap pelan dan kembali meletakkan ayam tadi dan mendadak, selera makan gue hilang. "Ada di kantor," kata gue singkat. Gue bukan tipe orang yang dengan senang hati berbagi risau. Apalagi kondisinya, gue dan Hekky pernah bersama.
Gue anggap pertemuan kali ini hanya sebatas pertemuan dua kawan lama. Tanpa rasa berlebih dan sebatas gue tau, dirinya sudah jauh lebih baik. Entah kalau Hekky, gue enggak peduli. Dan sebagai tanggapan ucapan gue barusan, dia hanya mengangguk. walau selera makan gue tadi hilang, atas nama mubazir, gue memaksakan diri.
Sayang, tinggal beberapa kali gigitan lagi. Setelahnya, gue tinggal bayar dan pulang. Hekky juga enggak bersuara lagi. kadang gue perhatikan dia melirik gue sekilas lalu buang muka. Atau pura-pura sibuk dengan ponselnya yang menurut kebiasaan gue, enggak ada apa-apanya. Alias hanya scroll enggak penting.
Beda sama gue yang kalau sudah scroll ponsel, pasti fokus. Iya, lah. Milah-milah barang yang mau gue beli. Harus jeli dan teliti juga harus tau perbandignan harga antara toko yang satu dan lainnya. Siapa tau dapat diskon atau free ongkir.
"Arin sudah selesai. Mau langsung pulang," kata gue setelah memastikan tangan gue kering sehabis cuci tangan tadi. "Mas masih mau di sini?"
Dia menggeleng sembari tersenyum kecil. "Enggak. Mas juga mau pulang."
Gue enggak bertanya kenapa dia enggak makan, atau kenapa dia milih duduk di tempat gue sementra ruang lain masih banyak, atau kenapa tiba-tiba ada di sini. Enggak. Menurut gue, pertanyaan-pertanyaan seperti itu bisa mengundang banyak tanya lainnya. Membangkitkan jiwa ingin tahu yang seharusnya enggak perlu.
"Ya sudah, Arin duluan, ya." Gue segera menyambar tas yang sudah diperiksa takut ada yang tertinggal. Tapi belum genap langkah gue menjauuh dari meja makan tadi, perut gue bermasalah.
"Duh, Utun. Jangan sekarang. Di rumah aja, ya, Nak."
Terlambat.
Gue segera meletakkan kembali tas di meja dan setengah berlari ke toilet. Mengabaikan panggilan setengah teriak dari Hekky yang gue tau banget, khawatir. Dan benar saja, semua yang gue kunyah serta telan dengan perasaan gembira tadi, sukses menjadi penghuni closet. Entah berapa lama gue di dalam sini, rasanya lemas banget dan enggak ada tenaga lagi.
Bahkan mau berdiri dari tepi closet saja rasanya gue enggak sanggup.
"Rin."
Gue menoleh pelan. menyeka sedikit ujung bibir gue yang basah. ditemui dalam keadaan seperti ini, bikin gue akhirnya memalingkan wajah. Gila aja. gue pikir Hekky sudah bergerak menjauh tapi nyatanya, dia malah mendekat dengan langkah pasti.
"Jangan dekati Arin, Mas," kata gue pelan. Mulai kembali menopang diri tapi lagi-lagi gagal. Hingga rengkuhan Hekky gue rasa dekat banget. Gue enggak mau menatapnya. Lebih memilih menekuri lantai kamar mandi dan kalau nanti pijakan gue sudah sedikit kuat, gue mau Hekky pergi dari depan gue.
"Mas antar pulang, ya?"
Gue menggeleng. "Arin bisa sendiri."
"Bisa enggak keras kepala? Arin lemah gini, enggak baik sendirian."
Bibir gue kelu mau membalas perkataan Hekky barusan.
"Arin tau rasanya sesak tapi enggak bisa dikeluarkan?" Hekky sedikit menunduk hanya agar kami saling bersitatap. Usapan lembut helai tisu yang dibawa, gue rasakan di permukaan wajah gue yang basah.
"Melihat orang yang kita sayangi seperti ini tapi enggak bisa berbuat apa-apa."
Mendadak gue ingat Hulk, yang seharusnya ada di dekat gue sekarang. Bukan malah Hekky yang ceramah mengenai hatinya.
"Enggak peduli nantinya seperti apa, yang Mas pengin lakukan sekarang, memastikan Arin sampai rumah dengan selamat."
Gue menggeleng pelan. "Enggak usah, Mas. Nanti Abang jemput."
Dia berdecih enggak suka, kentara banget lewat sorot matanya yang tiba-tiba tajam. "Jemput? Kalau dia berniat jemput, enggak ada panggilan diabaikan hingga ratusan kali, Rin. Mas enggak bodoh."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro