Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[57]

Alasan gue untuk Ibu dan Bapak, gue sudah terlalu lama cuti. Padahal bisa saja gue habiskan cuti tahunan gue untuk tetap berada di samping Abang. Menemaninya hingga pulih minimal tapi itu enggak gue lakukan. Percuma. Hati gue terlalu sakit mendengar semua pengakuannya.

Bahkan permintaan maaf yang entah berapa kali gue dengar langsung dari bibirnya serta seguk tangisnya, gue enggak pedulikan. Enggak sangka kalau Abang bisa berbuat seperti itu di belakang gue.

Dari semua penuturannya, gue bisa tarik kesimpulan besar kalau Abang memang masih peduli dengan seseorang yang bernama Nisa ini. Bahkan Abang enggak peduli kalau Nisa sudah punya suami. Alasannya, "Nisa selalu dikasari suaminya, Neng. Abang enggak tega."

Kalau bisa gue mengumpat, pasti bibir gue sudah melafalkannya dengan lancar.

Dini, kakak dari Nisa yang memang dekat dengan Abang sejak awal. Mereka bersahabat dekat walau gue yakin seratus persen, Dini pun punya perasaan sama Abang. Biarpun berkilah, bersahabat tapi felling gue enggak bisa dibohongi. Memang, hubungan Abang dan Nisa sudah berakhir dua tahun lalu. Dan hanya dekat dengan Dini, karena mereka masih punya hubungan mengenai pekerjaan.

Persis seperti yang Rama bilang, Abang merasa kasihan dengan nasib Nisa yang memiliki suami kasar. Berbekal rasa kasihan itu lah, Nisa seperti enggak mau melepas Abang begitu saja. pun Dini. Kaka beradik itu menempel mirip lintah yang enggak kentara.

Kalian tau hubungan toxic dalam pertemanan? Mereka bertiga dalam satu jaringan. Kuat. Lengket. Lekat.

Dan puncaknya, Abang membela Nisa habis-habisan di depan suaminya. Ah ... drama banget, kan? Kesal gue kalau ingat. Semua yang Abang bilang, sama persis seperti cerita Rama. Kecuali satu hal; pengakuan Abang terkait perasaannya.

"Abang anggap Nisa dan Dini seperti adik, Neng. Enggak kurang enggak lebih. Mereka banyak bantu Abang di sini. Merasa enggak terima aja kalau Nisa diperlakukan seperti itu."

Gue meringis pelan. "Dan Abang lupa ... kalau sudah beristri. Ada orang lain yang menunggu kabar Abang. Yang membutuhkan Abang. Hebat banget, ya."

Dia diam mendengar ucapan gue dan tiba-tiba selibatan ingatan gue mengarah pada satu sosok; Adam. "Apa bedanya Abang dengan tunangan Mae dulu? Buat Arin sama. Laki-laki kardus."

Sekali lagi, Abang berusaha menggenggam tangan gue tapi enggak kurang-kurang gue menepisnya. Merasa jengkel dan marah gue bersatu banget pada satu tujuan; Abang.

"Gue mau pulang," putus gue cepat tanpa peduli kalau wajah Abang berubah pucat.

"Neng, jangan gitu. abang tau abang salah tapi abang mohon, maafin. Ini terakhir kalinya Ab—"

Sorot mata gue menghujam ke arahnya. Semua rasa sakit yang gue punya, terakumulasi di sana. "Maafin Abang? Gampang banget, ya?" Gue kembali duduk tapi tetap dalam keadaaan awas. "Lo tau, kan, gue hamil? Anak siapa? Anak lo. Gue istri Abang tapi ditinggal begitu saja hanya karena sebuah kabar, Nisa dipukul suaminya."

Gue tarik napas sebanyak mungkin. Suara gue sudah gemetar tapi enggan kalah dengan air mata yang siap turun.

"Dari situ aja gue sudah paham kalau gue ini ... gue yang lo nikahin, enggak ada harganya. Hamil anak lo pun, enggak guna untuk menjadi prioritas hidup lo. Dan gue akhirnya sadar, kenapa lo kaget gue hamil. Alasan lo enggak siap, karena lo belum siap 100% melepas yang ada di sini."

Tanpa sadar, gue usap leleh air mata yang turun.

"Neng, jangan gitu." Dia mencoba meraih gue tapi jelas gue menolak sentuhannya. Entah kenapa rasa jijik mulai menguasai gue. "Abang benar-benar enggak suka Arin bicara seperti itu. Nikah sama Neng itu harapan Abang. Neng hamil, itu juga bagian dari kebahagiaan Abang."

Gue berdecih. "Yang gue lihat enggak seperti itu."

Dia menggeleng cepat menolak apa yang gue ucapkan barusan.

"Lo enggak perlu takut mengenai anak. Gue jaga baik-baik. Gue bukan orang jahat yang menelantarkan anak yang sudah ada di rahim gue. Tapi satu hal yang perlu lo tau dan camkan baik-baik." Gue sudah membuat keputusan. Masa bodo dengan jalan ke depannya akan seperti apa. Enggak peduli.

"Lo enggak akan pernah bertemu dia atau gue lagi. Kita final. Gue enggak suka berhubungan sama orang yang enggak mampu melepas masa lalunya. Asal lo tau, Rasyid, hati gue masih tertaut buat Hekky. Cinta gue untuk Hekky masih ada. Tapi gue tau, tembok antara gue dan Hekky itu ada bernama pernikahan. Dan enggak mau gue jadi pendosa. Dosa gue sudah banyak, enggak mau ditambah dengan rentetan dosa durhaka sama suami. Tapi sayangnya, lo yang mulai."

Suara ketuk di pintu kamar gue, memecah semua lamun dan ingatan gue akan hari terakhir bertemu Hulk—kayaknya memang pantas dia dipanggil Hulk.

"Rin." Suara Ibu menyusul setelahnya. Buru-buru gue mengenakan topeng senyum palsu biar enggak banyak ditanya wanita yang paling gue sayang di dunia ini.

"Ya, Bu?" Gue sambut Ibu yang kini sudah bergerak mendekat ke arah gue. duduk enggak jauh dari gue yang bersila di dekat TV.

"Kamu enggak makan?"

Berhubung ada Ibu, gue memilih menyandarkan diri dengan nyaman di bahunya. Memejam sejenak sembari menghidu aroma khas Ibu yang gue sukai. Sejak dulu, ada di dekatnya bisa bikin gue tenang mendadak. Gue berharap, semua hal yang bercokol di kepala segera lepas dan gue enggak perlu merasa sesak terlalu lama.

"Ibu enggak tau Arin sedang menghadapi apa," kata Ibu yang justeru sukses bikin gue berkaca-kaca. "Hadapi dengan kepala dingin. Dalam rumah tangga, ada masalah itu hal biasa. Marah boleh tapi jangan menghindari masalah yang ada."

Andai Ibu tau masalah apa yang gue hadapi.

"Jangan terlalu banyak pikiran. Arin lagi hamil. Enggak bagus kalau hamil didera banyak pikiran buruk. Pengaruh ke bayi itu besar, Nak."

Gue mengangguk pelan. lama kami terdiam dengan gue yang setengah sandar pada Ibu hingga dering ponsel menginterupsi. Membuat gue segera meraih benda pipih yang gue letakkan di nakas. Nama Hulk muncul di sana dengan panggilan video. Mau gue abaikan, ada Ibu di sini.

"Ya?"

Di sana, bisa jelas gue lihat Hulk masih terbaring di rumah sakit. "Hai, Neng."

Gue merotasi mata jengah banget.

"Besok Abang sudah diperbolehkan pulang. Selama masa pemulihan, ada Mama di rumah yang merawat."

Kepala gue cuma mengangguk pelan. Mau gue balas, "Minta tolong dong sama istri orang yang dibela." Enggak mungkin. Takut bibir gue kena tabok Ibu dan beliau tau, gue sama Hulk lagi perang panas. Sial banget, kan? Suami sendiri bukannya jadiin istrinya yang paling utama, malah istri orang.

"Oh, bagus kalau gitu," kata gue akhirnya. "Arin mau istirahat. Sudah dulu, ya," putus gue tanpa menunggu persetujuan apa-apa darinya. Ngapain amat. Dan saat gue kembali menoleh, Ibu menatap gue dengan pandangan sendu.

Gue yakin, walau gue enggak bercerita, beliau tau betapa ada masalah yang gue simpan rapat di dada. Dan benar saja, Ibu bangkit dan segera memeluk gue. membuat semua pertahanan gue ambrol begitu saja. gue nangis sesegukan di dada Ibu. enggak peduli seberapa tua usia gue, tetap saja masalah ini bikin gue kerdil banget untuk terus berdiri tegak.

Sakit banget rasanya menerima perlakuan ini dari Hulk.

***

"Gio, jangan bikin Aunty basah, ya. Aunty enggak bawa baju," kata gue setengah berteriak di pinggir kolam. Menemani Gio adalah pilihan yang tepat karena ternyata mendengar dia tergelak atau teriak marah diledek sang kakak, cukup bikin gue happy. Iya, happy banget sampai gue rasanya enggak pengin pulang sekarang.

Seharian gue ada di rumah Mae. Bikin Bos gue berkerut keningnya saat berpapasan tadi pagi. Gue bilang, gue masih ada cuti dan hari ini terakhir. Beliau cuma mengangguk saja dan berpesan satu hal yang bikin gue termangu.

"Punya masalah boleh tapi jangan kehilangan fokus akan pekerjaan atau tujuan kamu. Ingat, kamu mesti punya tujuan biar masalah kamu selesai."

Bos gue kadang bicara dengan hal yang terlalu tepat.

"Aunty enggak renang?" Gio menyembulkan kepala. Mengusap wajahnya yang ceria dari air sementara enggak lama, Nendra pun melakukan hal yang sama. "Sayang banget padahal renang itu seru."

Gue menggeleng sembari tertawa. "Enggak. Kalian aja."

"Rin, lo mau smoothies strawberry enggak?" tanya Mae setengah berteriak dari dapur. Gue melongok sedikit dan mendapati dirinya sudah sibuk dengan beberapa gelas dan ada buah-buahan di depannya.

"Mau!" Wah, sayang banget kalau melewatkan minuman segar yang gue yakin banget bakalan suka.

Ada perasaan yang lebih lega setelah gue cerita semuanya ke Mae. Sejak awal kedatangan gue ke sini, sepertinya Mae ini kadar pekanya naik jauh banget. Begitu datang, Mae langsung peluk gue erat. Sembari bertanya bagaimana kehamilan gue selama ini. Biarpun kami sering bertukar cerita di chat, tetap saja rasanya lebih enak curhat langsung dengan sahabat.

"Gue enggak sangka kalau Kak Kiki bisa bertindak sengaco itu sama lo," katanya dengan tatapan sendu saat gue selesai menceritakan semua hal tanpa ada yang ditutupi. Rasa sesak gue yang mencekik banget ini, perlahan berkurang jauh dan yah ... gue memang butuh berbagi. Bukan enggak mau bercerita sama Ibu, tapi rasanya hanya akan membuat Ibu kepikiran terus.

"Gue enggak tau mesti komentas apa, Mae."

Sahabat gue itu kembali memberi dukungan lewat usapan lembutnya di bahu. "Gue yakin lo bisa melalui ini."

"Entah lah. Gue bahkan pulang enggak pengin berlama-lama dekat Abang padahal dia lagi sakit tapi gimana? Sakitnya dia bukan untuk gue atau dirinya, tapi orang lain. Sakit banget, Mae, hati gue."

Sosok ibu hamil di depan gue tersenyum kecil. "Pasti. Dan kalau gue jadi lo juga lebih baik pergi dia dia sadar lo marah dan kecewa."

"Miris banget, ya, nasib pernikahan gue."

Satu pukulan pelan gue terima di bahu. "Jangan gitu. Lo masih bisa bicara baik-baik. Sekarang lo menyingkir sejenak bukan untuk menghindar. Itu yang gue enggak mau lo ambil. Lo menyingkir untuk memikirkan ulang, gimana pernikahan lo sama Kak Kiki."

"Dua kali gue dibuat kecewa. Apa susah bicara jujur sama gue?"

Mae berdeham sekilas. "Yah ... siapa tau jujurnya dia takut bikin lo sakit hati."

Jawaban mae sukses bikin gue mencibir. "Lebih sakit hati kalau gue tau belakangan."

Ada jeda cukup lama saat gue dan Mae duduk di sofa ruang tengah. Sembari memperhatikan Gio menyusun Lego-nya.

"Rin," panggil Mae pelan yang bikin gue menoleh ke arahnya. "Lo ... cinta sama Kak Kiki?"

Agak lama gue menatap sahabat gue ini. Pertanyaan itu meluncur begitu saja tapi bikin hati gue bertanya-tanya. Cinta? Gue cinta sama Hulk?

"Gue enggak tau, Mae." Bahu gue sedikit merosot tapi hati gue mendadak dipenuhi pertanyaan Mae itu. "Gue masih meraba aja, sih, apa ini cinta atau baru mulai cinta."

"Sebenarnya jatuh cinta sama suami itu hal yang wajar, ya, apalagi keadaan nikah lo sama Kak Kiki karena perjodohan."

Gue setuju akan hal itu tapi sayangnya, "Gue mungkin bisa aja cepat jatuh cinta sama Abang, Mae. Lo yang kenal dia duluan saja bilang, dia paling baik dan care di antara yang lainnya. Tapi kenapa ke gue dia bikin gue kecewa dan berpikir berulang kali buat kembali percaya."

Mae tadinya au bicara tapi seperti ditahan begitu saja. Yang akhirnya membuat gue menambahkan ucapan, "Buat gue, pernikahan itu enggak hanya berlandas cinta, Mae. Kepercayaan, kejujuran, itu pun perlu. Cinta ada karena terbiasa, mulai dari nyaman, merasa diperhatikan luar biasa, juga adanya pengertian dalam berjalannya rumah tangga."

"Tapi gue enggak merasakan itu, sebagian gue rasa, sih. Abang perhatian sama gue dan yah ... gue tau, dia sayang sama gue. Tapi apa itu cukup? Dia bisa sayang sama gue di saat gue sama dia. Di saat gue ada di depannya. Tapi saat gue enggak ada di depannya? Semuanya dibuat hilang, ya, sosok dan status gue?"

Gue berusaha banget untuk enggak nangis tapi percuma. Lagi-lagi air mata gue jatuh.

"Beruntungnya hati gue, baru ada di tahap sayang dan mulai menerima kalau nantinya waktu gue banyak dihabiskan bersama seorang Rasyid Ananta. Dan perasaan ini bisa gue bunuh perlahan karena dia sendiri yang beri gue pisau."

Mae mendekat ke arah gue dan memberi rangkulan yang bikin gue setengah bersandar padanya. hamil benar-benar bikin dia agak berisi, ya. Mungkin nantinya gue jug sama.

"Dan perkara ini berat bagi gue untuk kembali kasih dia percaya, Mae. Karena kepercayaan dan kejujuran itu mahal harganya."

"Yang perlu lo pikirkan bukan cuma sekadar hati lo aja, Rin," kata Mae sembari menatap gue lekat setelah ia beri beberapa lembar tisu untuk gue hapus air mata yang belum mau berhenti turun. "Ingat, lo lagi hamil. Baby butuh sosok ayah dalam hidupnya. Kalau lo enggak mau kasih kesempatan, akan jadi apa rumah tangga lo?"

Gue tertawa penuh miris. "Jadi ... kayak gue yang disalahkan, ya, Mae. Padahal dia yang salah. Kalau gue enggak kasih dia kesempatan, yang rugi seolah-olah gue. Gitu?"

"Jadi lo enggak mau memaafkan Kak Kiki?" 


***

Ah... Rasyid Ananta minta digebukin emang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro