[56]
Soto ayam di depan gue sama sekali enggak bikin nafsu makan gue timbul. Hanya gue aduk tanpa selera padahal gue harus memaksakan diri untuk makan. Enggak baik kalau gue harus menunda makan karena ada kehidupan lagi di tubuh gue ini.
"Kak Arin," panggil Rama pelan. Saat ribut-ribut tadi, perempuan bernama Nisa itu akhirnya pergi. Meninggalkan kami dengan napas menderu karena betapa gilanya ia ingin terus ada di dekat abang. Dan konyolnya, miris banget ini lebih tepatnya. Hanya perkataan Abang yang ia dengarkan.
Luar biasa, kan?
Gue disuguhi drama tepat di depan mata.
Saat Abang menahan gue untuk kembali duduk, entah kenapa emosi gue naik. Gimana enggak, Nisa dibiarkan memeluk dirinya. Pun Abang yang tampaknya pasrah saja diberondong banyak pertanyaan oleh gadis itu. Dianggap, gue ini siapa? Cuma tamu yang berkunjung kali, ya?
Gue enggak mau bicara dengannya lagi. Memilih menerima ajakan Rama untuk makan di kantin rumah sakit padahal gue enggak tau Rama ini orangnya seperti apa. Yah ... seandainya gue diculik, Mama tau gue pergi sama siapa.
"Lo mau cerita tentang Nisa?" tembak gue langsung yang bikin Rama gelagapan. Lalu nyengir seolah ucapan gue yang mendadak ini, enggak bisa ia prediksi.
"Rama bingung mau cerita gimana."
Gue berdecak pelan tapi kentara juga kesal yang gue punya ini. "Lo cerita atau enggak, gue bakalan tau, kok, kebenarannya. Allah enggak pernah tidur mengenai keburukan yang ditutupi."
Rama menelan ludahnya dengan sangat gugup, gue tau itu. Matanya enggak lagi berani menatap gue tapi menunduk. Dan persis seperti yang pernah gue dengar dari Mae, nama Nisa adalah masa lalu dari seorang Rasyid Ananta.
Sumpah, ya, gue pikir prahara gue dimulai dengan satu nama; Dini. Entah nama panjangnya siapa gue enggak peduli tapi begitu disodorkan nama yang berasal dari masa lalu suami gue, bikin hati gue kebat kebit juga. Enggak sangka kalau harus mengalami hal seperti ini.
"Baru berhubungan lagi setahun ini, sih, Kak. Itu pun Abang bersikap biasa saja sampai ..." Rama menatap gue seolah menunggu bagaimana respon gue.
"Sampai?" Mungkin Rama pikir gue enggak mendengarkan tapi jangan salah, semua informasi itu gue cerna baik-baik. Mulai gue susun satu per satu dan nantinya saat Abang bicara, bisa gue perbandingkan. Kalau ceritanya sama, Abang berlaku jujur ke gue. Kalau enggak ...
"Sampai sebulan lalu mereka bertemu di mana setau Rama, Nisa ini sudah bersuami."
Gue mengerjap pelan. Bersuami? "Bagus dong. Terus ... kenapa seperti ini?"
"Masalahnya, suami Kak Nisa ini kasar dan jahat. Sejak awal Abang berhubungan dengan Nisa, memang lebih banyak menganggap Nisa ini seperti adiknya sendiri."
Lagu lama. Anggap adik tapi bawa-bawa perasaan. Ya ampun. Anak remaja banget, sih? Gue menyesap teh hangat yang enggak lagi hangat. Menunggu Rama melanjutkan bicaranya.
"Dan ... pernikahan Nisa dengan suaminya yang sekarang, dianggap karena Abang yang enggak tegas dengan perasaannya, Kak, sama Kak Dini."
Tunggu. Tunggu. Kenapa bawa-bawa Dini. "Aduh ... ini gue terlibat drama sinteron sesi berapa, sih? banyak banget berhubungan sama perempuan? Suami gue playboy cap kadal apa buaya, sih?"
Rama tergelak, heboh banget. Sampai matanya berair saking gelinya ia tertawa. Apa yang lucu coba? Enggak ada. Bikin gue mencibir kelakuannya.
"Coba jelasin hubungan tiga manusia itu. gue enggak ngerti."
Pemuda di depan gue sontak menghentikan laju tawanya. Matanya menatap gue dengan ragu seolah kalau dia bicara banyak, nasibnya ada di ujung tanduk. Gue merotasi mata karena sikapnya itu. "Rama, lo yang mulai bercerita. Gue enggak minta sama sekali, ya. Sekarang giliran gue mau tau jelas, lo seperti orang yang menyembunyikan rahasia besar? Memang yang lo simpan apaan? Arsip negara? Atau arsip perselingkuhan suami gue?"
Rama mengusap ujung dagunya sebelum berkata, "Saya bingung Kakak dapat kepercayaan diri dari mana setelah hampir melihat semuanya di depan mata. Biasanya, perempuan bakalan histeris dan yah ... nangis-nangis mendengar cerita yang separuh-separuh gitu."
"Gue juga perempuan kebanyakan, Rama, kalau lo berpikir gue enggak seperti perempuan. Tapi ada masanya air mata gue turun, untuk satu hal yang sudah pasti. Kalau belum pasti dan baru sebatas gambaran, air mata gue mahal turunnya."
Yang bikin gue heran, si Rama ini malah terkekeh mendapati jawaban dari gue. "Pantas Abang senang banget bisa memperistri Kak Arin. Kalau saya jadi Abang juga, enggak bakalan saya lepas perempuan seperti kakak. Abang aja yang bodoh. Ah ... bodoh bin tolol lah Abang kali ini."
Gue berdecak kecil. "Cukup basa basinya. Lo cerita yang detail. Enggak ada yang perlu ditutupi."
Dan bergulir lah cerita di masa gue memang enggak ada di dalamnya. Dan kenapa Rama bisa tau? Dia akui sendiri kalau bekerja dengan Rasyid sudah hampir tiga tahun lamanya. Kisah cinta bos serta panutannya itu, disimpan apik dan ia amati sembari sok memberi nasihat. Gue kadang tertawa saat Rama dengan seenaknya menyisipkan satu kata, "Abang tuh susah banget dibilangin enggak usah sok peduli. Jadinya begini, kan? Susah tau kalau ceweknya baperan."
Rama. Sosoknya yang ternyata di bawah gue tiga tahun, menggebu dan periang. Mungkin itu satu dari banyak hal yang bikin gue mendadak nyaman bicara dengan Rama. Toh, ia bersikap santun ke gue. Menghormati gue selayaknya orang yang memiliki hubungan khusus dengan bosnya.
"Dan ... Kak Dini enggak menerima kalau Abang sudah menikah dengan Kak Arin. dia mau, Abang berjuang lebih untuk Nisa, adiknya."
Dua perempuan itu merepotkan juga, ya? yang nikah duluan si Nisa, kenapa pula si Abang yang dijadikan tumbal? Belum lagi, yang bikin gue kesal juga Rama, sikap Abang pada Nisa. Selalu lembut dan sorot matanya masih tersisa sayang. kalau ini gue sudah membuktikannya sendiri dan valid. Kejadian di ruang rawat Abang saksinya.
Kalau memang saling sayang, kenapa enggak menikah saja? Masalah restu lagi? Abang laki-laki, kalau pihak perempuannya oke aja, kenapa enggak diterabas? Sementara kalau gue mau terabas, gue yang enggak mau. Memilih diam di tempat dan nurut sama Ibu dan Ayah.
Yang gue dapat?
Ya Allah. Mau mengusap dada dan mengeluarkan sesak yang mendera gue saat ini, enggak lucu juga di depan Rama gue tau-tau nangis. Dan apa yang Abang dapatkan, lantaran membela nisa dari suaminya. Rama bilang, saat Abang tiba beberapa hari lalu di makasar, orang yang pertama ditemui adalah nisa.
Yang mana perempuan bersuami itu, lebam di wajahnya. abang berang tapi enggak pernah tau kalau dirinya bakalan dikeroyok seperti itu. beruntung rama mengikuti dan sigap menolong. Mungkin kalau enggak, bisa jadi mayat di tempat. Duh ... gue bicara buruk banget, ya? akumulasi kesal, geram, benci, dan marah semuanya bersatu padu di benak gue.
Menanggapi cerita Rama, gue masih bisa tersenyum dan tertawa tapi badai di hati gue makin jadi dan siap memporakporandakan jiwa. Gue tinggal tunggu waktu saja.
Abang ... meninggalkan Jakarta demi perempuan lain yang notabenenya sudah bersuami. Meninggalkan gue yang lagi hamil dan butuh perhatian. Mengabaikan gue yang bertanya ada apa. Juga melupakan satu fakta, kalau gue butuh kejujuran. Gue hanya dijanjikan untuk menunggunya.
Hebat, ya, suami gue?
Iya, gue memang menunggu sembari mulai berpikir langkah apa yang akan gue ambil selanjutnya. Karena sebagian hati gue bilang, gue bukan prioritasnya.
"Arin di sini? Mama cariin dari tadi."
Gue terkesiap, mendapati Mama yang berjalan mendekat ke arah gue. Seulas senyum lega tercetak di bibirnya.
"Iya, Ma. Makan dulu," kata gue dengan alasan padahal sejak tadi, makanan yang ada di depan gue saja enggak masuk ke mulut. Hanya gue aduk-aduk tanpa minat. Kenyang duluan dengar cerita dari Rama yang ajaib ini.
Mama bilang, Abang cari gue. Nisa sudah pulang sejak tadi dan lucunya, Mama yang meminta maaf atas hadirnya Nisa di sana.
"Apa sebenarnya Mama tau siapa Nisa ini?" tanya gue pelan saat kami jalan beriring ke ruang rawat Abang. Meninggalkan Rama yang katanya masih mau bercumbu dengan kopi. Saat pertanyaan itu meluncur, bahkan dari sisi samping gue yakin banget, Mama terkejut tapi buru-buru ia tutup dengan satu deham kecil.
"Iya, Nak. Mama kenal."
Iya, lah, pasti kenal. Buktinya saat perempuan itu masuk, Mama enggak ragu menggaungkan namanya. Gue bertanya untuk penegasan apa yang menjadi keping pertanyaan gue seputar kejadian ini. Bahwasanya, mereka semua saling mengenal baik satu sama lain.
Gue memilih diam sambil terus melangkah ke ruang rawat Abang hingga tiba di sana, seperti refleks yang tercipta tanpa komando, gue duduk tepat di samping suami gue yang tersenyum melihat kedatangan gue. Senyum gue enggak ada. Gue memilih menatapnya dengan pandangan tanya, tanda tanya besar di hati ini.
Dengan siapa gue berhubungan?
"Neng," panggilnya memecah lamun gue. Sekilas gue melirik ke arahnya yang kini sedikit concng ke arah gue. "Abang mau bicara."
"Silakan."
Dia tersenyum kecil, tangannya berusaha meraih gue yang spontan gue tarik. Membuatnya menatap gue dengan pandangan heran. "Mau bicara apa, Arin dengar."
"Menjelaskan semuanya sama Neng."
"Dengan atau ada kebohongan lain?"
Keningnya berkerut. "Kok, gitu?"
Gue mengedikkan bahu. "Siapa tau tadi dirangkai dulu kebohongannya biar seperti fakta."
Sorot matanya mengelam mendadak seperti enggak terima. Biar aja. Lebih enggak terima juga gue. Datang ke Makasar untuk mengetahui kondisi suami gue yang dalam pikiran otak mini gue, dia kecelakaan atau ada yang enggak suka perkara tokonya mau pindah (Mungkin. Itu kemungkinan paling aneh yang ada di kepala gue). Bukan dengan fakta kalau dia sok pahlawan membela istri orang yang berasal dari masa lalu.
"Ini kejujuran, Rin," katanya pelan sembari menormalkan napas mungkin. soalnya mirip banteng, mendengkus-dengkus gitu. "Dan ... Abang harap, Neng menerima dengan arah yang positif."
***
Gerak gue mencari tiket tercepat untuk pulang ke Jakarta terhenti karena Mama mengetuk pintu kamar yang gue tempati sementara ini. koper gue sudah siap untuk diangkut dengan segera. sekedar memastikan kalau air mata sudah enggak menetes lagi, barulah gue izinkan Mama masuk.
Saat kami bersemuka, Mama gegas mendekat ke arah gue. satu peluk ia beri juga permintaan maaf yang demikian lirih ia ucapkan. "Mama enggak sangka kalau Rasyid masih bisa bertindak sebodoh itu. Tapi Mama bisa pastikan, rin, kalau Rasyid hanya ingin Arin yang jadi istri. Pendampingnya seumur hidup. Mama sering dengar beta—"
"Ma," Gue urai sejenak pelukannya. Menatap matanya tanpa ragu sedikit pun biarpun hati gue enggak keruan rasanya. "Perasaan Abang, cuma dia yang tau. Aku yakin, mama hanya tarik kesimpulan. Dalamnya hati Abang, benar deh, cuma dia yang tau." Senyum kecil gue ulas sebagai penutup. Untuk hati gue terutama. "Malah Arin rasa, aku dan Abang ini dipaksa masuk menjalani hidup berdua yang mana itu impian kalian, orang tua kami. Iya, kan?"
Mama mengatupkan bibir.
"Arin enggak masalah, Ma. Arin bisa sendiri dan memang butuh sendiri," tukas gue sembari kembali memastikan isi tas gue enggak ada yang tertinggal.
"Tapi kenapa Arin mutusin pulang?"
Gue mengerjap pelan. "Ma, Arin punya masa cuti dan dalam keadaan bekerja juga. Arin punya kewajiban."
Mama terdiam tapi sebelumnya bibir yang bergincu merah pudar itu ingin bicara. Sebelum Mama bicara sudah lebih dulu kata-kata dari mulut gue, menyelanya.
"Lagian, kewajiban macam apa yang mau Arin jalankan kalau ternyata suami Arin sendiri belum bisa menetapkan hati."
Sorot mata Mama berubah sendu.
"Arin enggak menyesal sudah menikah dengan anak Mama, kok. Sama sekali enggak. Arin juga punya masa lalu, masih ada sampai sekarang di hati kalau Mama mau tau. Tapi Arin punya batas dan sudah Arin tetapkan batas itu ada. Masa lalu setiap orang itu pasti ada, Ma, termasuk cinta. Aku tau Abang pun demikian. Tapi yang Arin sesalkan, Abang enggak terapkan batas itu."
Mama spontan menggenggam tangan gue. "Mama berharap banget masalah kalian berdua segera selesai." Dan memberi gue pelukan yang belum ingin gue balas.
"Arin pulang dulu, ya, Ma. Nanti sampai Jakarta, Arin beri kabar." Gue mengurai peluk Mama, bersamaan dengan dering ponsel gue berisi satu pesan kalau taksi online pesanan gue sudah ada di gerbang depan.
Gue ... Arintania Maharani, menangis bagi gue mahal harganya tapi dibuat murahan oleh soerang Rasyid Ananta. Entah sudah berapa kali gue nangis semalaman. Ah, enggak hanya malam ini saja, kan? Gue ingat, berapa kali gue nangis karena dirinya. Mengabaikan perut gue yang mendadak kaku juga mual. Satu hal yang pengin banget gue lakukan; segera pulang ke Jakarta. Urusan pernikahan gue ... tunggu saja tanggal mainnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro