Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[53]

Tugas mengawasi dan merawat gue semuanya diambil alih Abang. Semuanya. Sampai perkara makan saja, dia yang meladeni gue. Ibu dan Mama biarpun masih ada di sekitar gue, enggak boleh sama sekali repot dengan gue. abang sendiri yang memastikan hal itu.

Gue?

Masih belum mau menurunkan cuek yang ada. Membiarkan dirinya melakukan apa pun ke gue tanpa perlu mengucapkan terima kasih. Biar dia makin mikir juga, kalau ucapannya terlalu membekas di hati. Kalau kata Mae, di chat tentu saja, kalau ibu hamil itu kadar sensitifnya enggak kira-kira. Nah bukan gue mengkambinghitamkan mood gue yang enggak keruan ini untuk menghukum Abang, bukan. Memang gue merasa kata-kata yang Abang luncurkan bikin gue sedih banget.

Semalam saja, gue masih menangis dalam diam. Gue yakin Abang tau gue nangis. Buktinya, dia peluk gue tambah erat sembari berkali-kali bilang maaf.

"Arin enggak pengin sesuatu?" tanyanya setelah memastikan gue minum vitamin referensi dari dokter. Berhubung gue masih kenyang makan seporsi bubur ayam yang adanya di komplek sebelah—ini gue minta Abang yang beli. Lengkap dengan banyak catatan yang ada; pakai seledri yang ditaruh di pinggir, taburan bawang gorengnya mesti rata, sate usus dan atinya harus double, belum lagi sambalnya yang agak banyak, dan enggak lupa remasan emping di atasnya.

Saat buburnya datang, sesuai banget sama apa yang gue mau. Makanya gue lahap makannya dan beruntung, Utun mau kerja sama. Ajaib banget, kan? mungkin Utun tau kali, ya, ayahnya yang membelikan. Bahkan menyuap sendiri ke mulut gue.

"Mau nonton drama aja sambil makan kentang goreng. Kentang gorengnya ditabur bumbu barbeque, ya. pakai saus tomat yang banyak."

Abang mengulum senyum. "Beres."

"Emang ada kentang gorengnya?" Gue memicing penuh curiga.

Pria yang kali ini senyumnya enggak pernah luntur itu malah menatap gue heran. "Iya ini Abang mau beli dulu. Mau kentang goreng yang mana? Kfd atau Mdc?"

Gue mencebik. "Enak banget. Kupas sendiri sana. Potongannya yang bergerigi. Arin enggak mau yang di Kfd. Enggak enak. Maunya yang digoreng sendiri."

Abang ketawa. "Oke deh. Tapi tunggu dulu, ya. Abang lihat stok di dapur ada atau enggak."

"Jangan Ibu atau Mama yang buat. Enak saja. Harus Abang," kata gue penuh peringatan yang disambut anggukan patuh dari suami gue itu.

"Ya sudah, Neng tunggu dulu, ya, di sini."

Gue cuma mengangguk tanpa memedulikan dirinya yang bergegas keluar kamar. sepeninggalan Abang, gue menghela napas kuat-kuat. duh ... begini terus caranya gue bisa luluh. semua yang ia beri sejak kedatangannya, bikin gue merasa disayang pakai banget bin kuadrat. Pembicaraan mengenai salah kata yang ia pilih pun dibalas dengan kesungguhan kalau dia memang salah.

Abang lebih hati-hati lagi kalau mau bicara sama gue. mungkin selain karena gue yang mendadak sensitif banget dengan ucapan, gue yakin banget dia enggak mau berurusan sama gue yang menurut versinya kalau marah, menyeramkan.

Gue benar-benar cuti sampai Jumat. Agak merasa bersalah sama Bu Ira, sih, tapi gue selalu berusaha bertanya mengenai kabar kantor. Paling enggak, biarpun Bu Ira selalu menyuruh gue agak lebih mementingkan diri gue alias istirahat, gue masih peduli dengan pekerjaan gue.

"Utun, Papi kayaknya benar-benar nyesal, ya, bikin Mami sedih kemarin? Menurut kamu gimana? Kita maafkan?" tanya gue sembari mengusap pelan perut gue yang sekarang anteng banget. Serius. Biasanya setelah gue minum vitamin hamil, gue pasti cari sesuatu yang segar semisal jeruk. Rasa pahit yang menempel di lidah gue kayak enggak mau pergi. Tapi pagi ini, setelah semua disiapkan Abang, jangan kan pahit semuanya tampak biasa saja.

Kan, konyol!

"Abang pengin anak dan istri Abang itu dalam keadaan yang cukup, enggak perlu terlalu berlebihan tapi enggak bikin khawatir juga sama keadaan, Neng. Makanya Abang bicara seperti itu. maaf, kalau terkesan jahat banget. Jauh di lubuk hati Abang, Abang senang banget neng hamil," katanya semalam. Gue masih ingat banget juga ditambah pelukannya makin ia eratkan. Gue enggak ebrkata-kata memang, tapi hati gue lagi-lagi mellow.

Apa benar yang dia bilang? Karena gue enggak percaya begitu aja. entah kenapa. Hati gue enggak bisa dibohongi untuk hal ini. Gue sendiri mencari tau banget, kenapa hati gue enggak gampang percaya pada bagian ini. Semacam ... ada sesuatu yang mendadak bikin gue takut tapi gue enggak tau apa itu.

Dalam tiap sujud yang gue lakukan dalam kewajiban sebagai muslim, gue selalu berdoa jikalau ada sesuatu hal yang Abang tutupi dari gue, gue diberitahu segera. Apa pun itu.

"Nah, ini dia kentang gorengnya."

Segera geu menoleh dan mendapati Abang yang membawa satu pring berisi penuh kentang goreng seperti dalam bayangan gue. Mendadak liur gue rasanya menetes tanpa aba-aba. Binar mata gue sungguh pengin cepat piring itu sampai di depan gue. Dan benar saja, aroma gurih dan bumbu tabur yang ada di atasnya, bikin selera makan gue timbul banget.

Belum lagi saus tomat dan sambal yang disajikan di piring lain juga satu gelas es jeruk kesukaan gue,

Ah, Abang juara juga kalau membuat istrinya senang. Eh ... jangan-jangan karena ada maunya, ya?

"Dramanya enggak ditonton atau gimana, Neng?"

Gue mengerjap pelan. "Eh .. ditonton, kok."

Abang malah mengulum senyum manis banget gitu. "kalau ditonton pasti bukan serial kartun yang tampil, Neng."

Gue manyun. membawa piring itu mendekat dan memilih selonjoran di sofa. Abang yang duduk di samping gue, pada akhirnya pasrah gue jadikan tempat tumpuan kaki gue yang mendadak pegal entah karena apa. Enggak pegal banget, sih, tapi gue bilangnya seperti habis lari marathon biar dapat pijatan gratis. Dan, yah ... Abang memijat pelan kaki gue.

Menemani gue makan kentang goreng sembari ikut menonton drama korea walau lebih sering gue meladeni pertanyaan Abang. Bikin gue enggak konsentrasi sebenarnya tapi gue enggak bisa enggak menyahut semua pertanyaannya juga, sih.

"Nanti sore Mama dan Bapak pulang ke Bandung." Abang menekan sedikit kencang pada bagian betis, yang bikin gue sedikit berjengit serta memekik.

"Sakit!"

"Ini agak kencang, Neng. Kaku gitu makanya pegal," katanya memberi alasan tapi informasi mengenai mertua gue yang akan pulang nanti sore cuku menyita perhatian.

"Kok, enggak sampai minggu di sini?"

Lagi-lagi Abang tersenyum. Dia lagi bahagia, ya? Tampangnya girang banget. Kenapa coba?!

"Bapak ada acara di hari Minggu. Tadi Mama bilang, maunya temani kamu terus selama hamil."

"Semua yang ada di rumah ini memang senang banget, kok, Arin hamil. Jadi kalau ada satu orang yang enggak senang sama kehamilan ini," Gue sengaja meliriknya dengan sinis. "Arin enggak ngaruh juga. paling dia nyesel seuur hidup."

Abang tergelak. "Ya ampun, permintaan maaf Abang belum juga dapat approved, ya?"

Gue merotasi mata. "Pijat lagi, jangan berhenti. Belum disuruh berhenti, ya, jangan berhenti dong."

Dia manggut-manggut mirip pajangan yang ada di dashboard mobil.

"Nanti agak siangan, Abang mau pergi sebentar sama Bapak dan Ayah, ya? Neng enggak apa, kan, Abang tinggal?"

"Pulang ke Makasar siang ini juga enggak apa. sudah biasa sendirian, kok."

Abang cuma geleng-geleng dengan ucapan gue. "Abang mau lihat ruko yang direferensikan Bapak. Kalau cocok, Ayah mau ukur-ukur untuk buat rak tinggi sama untuk kamar di lantai dua. Doakan kali ini cocok, ya, Neng."

"Kamarnya di lantai dua tapi yang friendly buat ibu hamil, Bang. Tangganya jangan terlalu curang gitu kalau bisa diubah."

Abang tersenyum penuh arti. "Nanti Neng Abang gendong biar enggak capek naik tangga."

"Enggak usah bermulut manis kalau nyatanya nanti Arin selalu diberi bom sama Abang."

Gue enggak pernah mempersiapkan diri kalau Abang tiba-tiba bergerak mendekat. Saat gue menoleh karena merasa pijatannya enggak lagi gue rasa, wajahnya sudha demikian lekat ada di depan gue. Dan ... satu kecup ia labuhkan persis di bibir.

"Sadisnya kalau bicara," katanya tepat di atas permukaan bibir gue yang terbuka karena kaget. "Tapi enggak apa ketimbang Neng yang mendiamkan Abang seperti sebelumnya."

"Arin ikut boleh enggak?" tanya gue spontan. Bosan juga gue enggak ada kegiatan apa-aa di rumah selain menunggu waktu makan. Untuk belanja sendiri entah kenapa mendadak gue punya rem yang kencang banget. Cuma sekadar melihat tanpa memasukkan item tersebut ke keranjang belanja itu sudah sangat bikin gue keheranan.

"Yakin mau ikut?" Abang merapikan surai gue yang jatuh di pipi. Menyelipkannya di telinga dan memberi kecup lembut di kening. "Nanti kalau mual lagi?"

"Kan, ada Abang. Kenapa mesti takut? Abang yang urus Arin, lah."

Dan senyum yang gue bilang super manis itu keluar. Sembari mengangguk ia memperbolehkan gue untuk ikut.

***

Sepanjang jalan menuju tempat yang Bapak bilang, gue sama sekali enggak merasakan gejolak apa-apa. Semuanya normal apa adanya. Bahkan bisa dibilang, gue menikmati perjalanan kali ini. Pusing atau rasa mual berlebih saja enggak gue rasakan sama sekali. Entah dua hal aneh itu menguap dan hinggap ke mana.

Gue duduk tepat di kursi penumpang samping pengemudi. Abang yang membawa mobil sementara Ayah dan Bapak ada di belakang. Sesekali gue menimpali obrolan Ayah yang seru banget bicara seputaran kayu dan ukirannya. Pun Bapak.

Di samping gue, Abang juga beberapa kali menanyakan bagaimana keadaan gue. Takutnya gue mendadak mual atau pusing karena perjalanan yang sebenarnya enggak jauh, tapi macetnya cukup menyita waktu.

"Enggak apa-apa, Bang," kata gue untuk ke sekian kalinya. Dan untuk ke sekian kalinya juga, gue lihat Abang mengembuskan napas lega. Mungkin khawatir juga gue muntah-muntah hebat gitu. Gue sendiri enggak mau hal itu terjadi, kok. Enggak enak banget rasanya. Sudah harus menormalkan rasa pahit yang ada di mulut, juga gejolak perut yang rasanya luar biasa seperti diaduk-aduk enggak keruan.

"Nah, itu dia rukonya," tunjuk Bapak ke arah seberang tepat di dekat pertigaan. Gue bisa jelas melihat ruko tiga atau empat lantai berkelir broken white yang tertera tulisan besar, disewakan, ada di sana. bangunan yang cukup strategis dan mencakup ke area sekitarnya. Jadi dari sudut mana pun ruko itu mentereng terlihat.

"Bapak sudah janjian sama pemilik ruko. Semoga saja harganya bersahabat, ya, Nak," imbuh Bapak yang diaminkan oleh Abang. Saat kami benar-benar turun dari mobil dan mata gue dipuaskan dengan pemandangan ruko kosong ini, hati gue yakin, tempat ini bisa dijadikan usaha pets shop yang cukup bagus.

Sepanjang menuju tempat ini, gue melihat enggak ada pets shop dan praktik dokter hewan juga. kalau Abang memutuskan untuk memindahkan tempat usahanya ke sini, gue rasa bisa berjalan normal apa adanya. Selain karena letaknya yang bagus, enggak ada saingan sejenis di sekitaran lokasi ini.

Pun gue lihat, semisal dijadikan tempat tinggal untuk bagian atasnya enggak jadi masalah lantaran di bukan lokasi yang mati. Maksudnya, banyak pedagang juga kehidupan di sini. Minimal kalau ada apa-apa, ada banyak orang yang tau. Bukan lokasi yang sepi dari pengunjung. Iya, lah. lokasi ini tepat berada di pinggir jalan. Tinggal satu hal yang pasti; berisik lalu lalang mobil.

Kami dipersilakan masuk setelah Bapak bertemu dengan si pemilik ruko. Abang dan Bapak tampak terlibat obrolan serius sementara Ayah mengecek lokasi hingga ruang atas. Gue memilih duduk sembari memainkan ponsel sebagai pembunuh jenuh.

Kalau nantinya gue ditanya gimana tinggal di sini, gue santai aja.

"Sampai lantai tiga semuanya oke. Gudang dan stok barang kamu bisa ditaruh di atas. Praktik di lantai dua. Kalau kamu mau buat untuk hotel peliharaan, lantai tiganya cukup luas, Rasyid," info Ayah. Beliau baru banget turun dari anak tangga terakhir yang membuat gue menoleh ke arahnya.

"Tinggal deal harga ini, Yah," kelakar Abang tiba-tiba yang disambut kekehan dari si pemilik. Gue tadi sempat kenalan dengan pria paruh baya yang gue tebak seusia dengan Ayah. Pembawaannya yang santai tapi tetap mencirikan dirinya sebagai seorang bos, kentara banget.

Gue enggak ikut campur untuk urusan ruko, sih. bukan apa. Gue enggak terlalu paham mengenai masalah ini karena Abang sendiri belum terbuka mengenai penghasilannya dari kerja. Mungkin belum bagi gue untuk tau. Toh ada yang lebih penting, yaitu memindahkan toko di sana ke Jakarta.

"Neng mau makan siang apa? Tadi Pak Heru bilang di sini ada soto daging yang enak. Mau?" tawar abang yang sudah ada di dekat gue.

"Sudah selesai urusannya?" Gue refleks menyentuh dahinya yang basah. Abang memejam sejenak dan mengangguk pelan.

"Sudah deal tapi ...,"

Gue memilih menunggu apa ucapannya selanjutnya.

"Kita enggak jadi tinggal di sini."

"Ya?"

Senyum Abang muncul tipis sekali. "Abang enggak mungkin membawa istri yang sedang hamil untuk tinggal di sini. ruko ini benar-benar Abang pergunakan untuk usaha."

"Terus? Kita tinggal di mana?" tanya gue heran. "Abang enggak cerita masalah ini sama Arin."

"Nanti malam kita diskusi, ya. Neng, kan, baru baik sama Abang. Dari kemarin ketus terus."

Baru saja gue mau membalikkan posisi karena memang dia yang salah. gue enggak mungkin bertingkah ketus kalau enggak diduluin. Ponsel Abang berdering nyaring yang membuatnya segera merogoh kantungnya. Sedikit mengernyit menatap layarnya tapi segera diangkat panggilan itu.

"Ya?"

Lalu mata kami saling bersirobok tapi gue meyakini, sorot netra Abang enggak ada gue di dalamnya.

"Oke. Saya segera pulang ke sana. Tunggu saya."

"Dari siapa, Bang?" tanya gue penasaran. abang malah setengah berjongkok di depan gue.

"Kita pulang, ya. abang mau siap-sia kembali ke Makasar. Ada masalah di sana."

"Iya ... masalahnya apa?" Entah kenapa, gue merasa ada sesuatu yang ia tutupi sempurna banget. Soalnya Abang enggak mau menjawab tapi malah menggenggam tangan gue erat banget.

"Tunggu Abang untuk menyelesaikan urusan di sana, ya."

****

Gimana Arin ga sering curiga kalau Rasyid gini coba?

Kan keselll

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro