[51]
Gue benar-benar memanfaatkan waktu cuti ini dengan istirahat total. Biarpun enggak ada masalah berlebih, gue cuma enggak bisa makan. Semuanya enggak bisa masuk dengan benar. Selalu saja muntah. Gue berusaha banget untuk enggak kepikiran apa-apa selain harus makan. Biarpun sedikit, walau rasanya enggak ada, lidah rasanya pahit, belum lagi perut gue yang terus menerus bergejolak sesaat setelah gue makan.
Semuanya gue nikmati saja. Sesekali gue usap perut kalau-kalau sudah membuat gue merasa payah banget karena muntah. Orang yang paling gue repotkan jelas Ibu. Walau enggak ada keluhan sama sekali, tetap saja gue sedih melihatnya merawat gue. oh jangan lupa, Mama belum pulang ke Bandung. malah ikutan sibuk di rumah.
Seolah, enggak adanya Abang digantikan oleh Mama dan Bapak. Apa mereka terlalu tau diri sebagai orang tua? Yang menyadari anaknya jauh dari istri yang tengah mengandung? Atau benar yang Abang bilang kalau ibunya tau, dirinya mengucapkan hal yang bikin gue marah dan kesal? Jadi ingin ditebus dengan kehadirannya?
Enggak tau. Gue sama sekali enggak bisa memikirkan hal itu terlalu lama.
"Mama kupas apelnya, Rin. Mau?"
Gue yang sedang men-scrool belanjaan di Shoppa, terhenti. Mendapati Mama yang datang dengan sepiring kecil apel kupas. Mendadak rasa kepengin kunyah apel renyah itu timbul. "Mau, Ma. Maaf, ya, Ma. Jarang temani Mama ngobrol malah Arin di kamar terus," keluh gue.
Yang gue dapat, hanya senyum lebar juga satu usapan lembut di kepala. Ini semua orang kenapa senang banget ngusap-ngusap kepala gue, ya? Apa gue mirip kucing yang mendadak nurut kalau dielus kepalanya? Astaga. Gue bukan kucing. Tapi serius, deh, diusap kepalanya itu bikin mood gue yang lagi kacau ini, membaik dengan cepat.
"Mama enggak masalah, kok. Malah senang kalau direpotkan Arin." Mama duduk persis di samping gue. menatap gue lekat sembari mengamati bagaimana gue mengunyah mungkin. Cara makan gue enggak ada anggun-anggunnnya, kok. Biasa aja. kalau memang suka, enggak sungkan gue untuk tambah tapi harus habis. Itu yang selalu Ibu tekankan perkara makan. Sama seperti kali ini gue merasa pengin banget menghabiskan apel yang Mama bawa. Jadi, enggak perlu menampilkan wajah cantik sembari ngunyah yang penting habis.
Utun, Nenek Sofi sudah bawakan apel. Makan, ya, Nak. Jangan muntah lagi. apel itu enak, lho.
Gue berharap banget enggak ada tragedi lagi, sih.
"Sabar, ya, kalau hamil muda emang begitu. Agak repot."
Enggak ada yang bisa gue lakukan selain mengangguk.
"Dulu waktu Mama hamil Abang lebih parah." Mama menatap gue seolah menilai bagaimana respon gue atas kata-katanya yang menyinggung nama Abang. Gue enggak tau apa Mama tau masalah gue sama Abang, tapi mengingat Abang bilang dirinya kena marah, gue yakin Mama tau.
"Parah gimana, Ma?" tanya gue sedikit berbumbu minat padahal enggak. Pun gerak kunyah gue terhadap apel agak melambat demi mendengar ucapan Mama mengenai Rasyid.
"Sampai bed rest selama empat bulan, entah berapa kali kena infus saking seringnya drop."
Wow. Perjuangan banget, ya. Gue yang seperti ini saja hatinya sudah sedih banget. Gimana, sih? Biasanya pecicilan tapi kali ini hanya bisa berbaring di kasur tanpa banyak aktifitas. Kalau bosan, nemo doang peneman gue paling setia. Sisanya? Balik lagi di kamar. Biarpun baru dua hari seperti ini, rasanya sudah seperti lama banget mengalami hal begini.
"Bapak selalu semangati Mama dulu. Mama ingat, bahkan Bapak selalu tanya Mama ngidam apa tapi memang enggak pengin apa-apa. Hanya tubuh mama saja enggak bisa diajak kerja sama." Mama tersenyum menceritakan hal itu. Ah, Mama beruntung Bapak selalu ada dan gue yakin banget Bapak gembira karena Mama hamil.
Gue?
Ck! Tunggu kena marah ibunya dulu baru sadar kalau dia salah. Nyebelin banget, kan?
"Mama sedikit tau kamu lagi marah sama Abang. Memang anak mama itu butuh kena marah. Biar saja. Biar dia rasa kalau dirinya itu benar-benar bikin gregetan. Mama aja pengin banget jitak, kok."
Gue mengerjap heboh. Mama tau!
"Mama tau alasan Rasyid berkata seperti itu pada Arin, tapi Mama enggak mau kasih tau alasannya. Biar dia yang kasih tau Arin sendiri. Bukan berarti Mama dukung alasan itu sebagai hal yang justeru nyakitin kamu. Enggak sama sekali. Mama marah, Rin, sama anak sendiri. Bisa-bisanya punya pemikiran seperti itu. bikin istrinya sedih begini."
Senyum gue tertarik sedikit, antara miris dan senang ada yang membela.
"Padahal kalau Mama ingat-ingat, bagaimana hampir setiap hari selama yah .. dua tahun belakangan ini, Arin terus yang ditanyain. Kalah kabar mama dan Bapak di Bandung. Tiap telepon lebih sering bertanya tentang Arin. Tiap pulang ke Bandung yang pertama kali ditanya juga Arin."
Ini ... gue enggak salah dengar?
"Memang ... kita pernah bertemu sebelumnya, ya, Ma?"
Eh ... bukannya dapat jawaban, Mama malah tersenyum lebar gitu. Usapan di kepala gue lagi-lagi gue dapatkan tapi enggak dengan jawaban pertanyaan gue tadi. Ini namanya bikin gue tambah penasaran. Ya, kan?
Perkara mengenai kapan Abang bertemu gue memang belum pernah gue tanya lagi, sih. Sudah keburu melakukan hal-hal lainnya dan buat gue, masa lalu itu memang untuk ditinggalkan. Tapi sepertinya ini berkaitan dengan masa lalu, ya?
Seingat gue, dua tahun belakangan ini hidup gue adanya; Mae, PDKT sama Hekky, kencan sama Hekky, kerjaan gue yang bertumpuk, juga misuh-misuh perkara bos Satria yang ajaib itu. Sudah. Enggak ada lagi orang lain di-circle gue.
Lalu? Kapan gue bertemu Abang? Atau ... kapan Abang bertemu gue?
***
Gue masih setia sama perang dingin ini. Bodo amat. Di rumah perhatian untuk gue full banget. Ada Bapak dan Ayah yang lucunya sering bertanya, "Arin enggak ngidam apa gitu? Ayo sini, biar Bapak cariin. Dulu Mama enggak ngidam soalnya."
Nah, untuk satu ini gue aggak sungkan tapi karena sering banget didesak akhirnya gue minta hal-hal yang masih dalam kategori wajar.
Rujak iris yang ada di ujung jalan komplek lingkungan rumah gue. Itu saja sudah bikin Bapak ceria banget wajahnya.
Belum lagi si Ayah, "Rin, ini ikannya mau ditambah atau diganti? Siapa tau dedek bayinya minta ikan hiu."
Gue mau balas, "Si Utun maunya Hulk yang berendam di sana." tapi takut dosa. Jadi gue bilang, tambah aja ikan nemonya. Mumpung dibelikan secara percuma. Manfaatkan saja moment yang ada.
Mama dan Ibu kompak banget perkara siapkan makan. Kadang gue bertanya Mama ini enggak ada orderan catering? Bukan apa, mama kalau terlalu lama di rumah nanti orderannya gimana? Gue, sih, senang banget mereka ada di sini. Toh Ibu dan Ayah sama sekali enggak keberatan. Malah senang banget ada mereka, tambah seru. Ada saja obrolan yang bikin mereka betah berjam-jam duduk di ruang tamu.
Kawan lama memang seperti itu, ya.
Gue jadi membayangkan, apa nantinya persahabatan gue sama Mae sampai tua seperti ini, ya? Ah ... pasti seru banget. Sekarang aja lantaran gue hamil belum bisa ke mana-mana.
"Arin, bengong?" tanya Ibu yang cukup membuat gue terkejut.
"Ibu kapan enggak ngagetin Arin, sih?"
Ibu malah tertawa. "Hari ini Ibu masak sop kimlo sama balado kentang. Mau makan sekarang?"
"Bu, Mama enggak ada orderan catering? Nanti pelangg@nnya marah atau apa gitu?" Gue penasaran memang untuk hal yang satu ini. Ibu malah menjawab dengan gelengan.
"Mama Sofi kalau libur itu bisa sebulan, Rin. Tapi sebulan liburnya dia itu, orderan sudah masuk. dari kemarin sudah ngerekap. Banyak ternyata. Sudah dikenal memang Mama Sofi masakannya enak. Ini saja buatan Mama Sofi."
"Arin belajar masak sama Mama saja, deh."
Ibu mencibir. "Biar begini juga masakan Ibu enak. Kamu aja yang malas belajar."
"Bu, habis makan aku mau main ke rumah Mae, ya. Diantar Ayah. Dua hari lagi Ayah berangkat ke Jepara, kan?"
"Tapi hati-hati, ya, Nak. Kalau di jalan sudah muntah-muntah, pulang saja. Di rumah orang jangan buat repot. Kamu kayaknya sensitif perkara makanan."
Gue mengangguk dan memberi dua jempol pada Ibu. Dan enggak butuh waktu lama buat Ibu keluar dari kamar. beliau ke kamar hanya untuk memberitahu menu makan siang kali ini? wah ... Ibu gue luar biasa memang.
Menyambar ponsel yang tergeletak di nakas sembari mendorong semua chat Abang ke arsip karena masih malas membaca ceramah panjangnya. Memilih men-dial nomor Mae, memberitahunya kalau gue mau main ke sana.
Suntuk juga di rumah tanpa kegiatan apa-apa.
"Gue ada di rumah sakit, Rin. Gio demam dari dua hari lalu, indikasi DBD. Lagi tunggu hasil lab siang ini," kata Mae dengan nada khawatir yang kentara banget. Ah, gue jadi terbayang wajah Gio yang biasanya ceria kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit gitu. Pasti Mae sedih banget. "Eh, Gio mau bicara sama lo. Video call?"
"Boleh," kata gue penuh semangat. "Hai, Jagoan," sapa gue begitu layar ponsel menampilkan sosok anak lelaki yang ganteng sedari kecil itu. Wajahnya agak pucat tapi masih coba senyum ke gue. Biasanya senyum itu tengil juga penuh seringai jahil. Apalagi sejak tau kalau gue dan ibunya, kawan akrab. Makin jadi lah dirinya mengakrabkan diri.
"Aunty Rin, Gio sakit."
Gue mengangguk sedih. "Nanti sembuh, ya, Jagoan. Sementara aja sakitnya. Aunty mau jenguk tapi enggak bisa lama-lama keluar rumah."
"Nanti main lagi ke rumah, ya, Aunty Rin."
"Siap, Bos Jagoan. Nanti kita main, ya. Jagoan sekarang sembuh dulu. Turuti dokter bilang apa, ya."
"Tapi obat pahit, Aunty Rin." Wajah Gio berubah jelek bikin gue tergelak.
"Sebentar aja, kok. Kalau enggak pahit, kuman jahat di tubuh Gio bakalan menang. Mereka enggak suka sama yang pahit-pahit."
Wajah bocah itu masih enggak terima dengan penjelasan ngawur gue.
"Jagoan istirahat, ya. Aunty main kalau Jagoan sudah di rumah."
Dia mengangguk patuh.
"Bye, Jagoan. Cepat sembuh, ya," kata gue sembari melambai pelan ke arah Gio pun Mae. Ah, kalau saja kondisi gue enggak selemah ini, gue pasti sudah meluncur mulus ke rumah sakit. Saat gue menaruh kembali ponsel ke nakas, gue dikejutkan dengan satu rengkuh yang membuat gue beku.
"Neng ... Abang kangen banget."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro