[5]
(Tembok Cina)
Besok saya dan keluarga datang resmi melamar kamu.
Padahal setelahnya enggak ada pesan lainnya lagi. Pun riwayat pesan lainnya dari si Tembok Cina. Tapi rasanya gila banget bikin gue enggak waras kerja. Sampai gue disuruh duduk di depan Satria dan diinterogasi oleh bos yang menjadi suami sahabat gue ini.
"Saya enggak tau kamu ada masalah apa, ini bukan Arin sekali. Arin yang saya kenal itu teliti dan selalu memperkecil risiko. Sekarang?"
Gue diam saja diceramahi.
"Kalau butuh cuti, kamu bilang."
"Memang boleh?" tanya gue agak takut-takut. Bukan apa, Satria ini tipe orang yang kalau serius itu menakutkan.
Gue dengar Satria menghela napas pelan. "Boleh. Mae kemarin cerita, kamu ada masalah pribadi. Saya pikir enggak memengaruhi kinerja, tapi nyatanya, tetap saja masalah pribadi itu memang harus segera diselesaikan."
Makin tunduk lagi mata gue ke lantai. Enggak berani menatap si bos.
"Dua atau tiga hari saya rasa cukup. Iya, kan, Rin?"
Gue mengangguk saja.
"Sekarang kamu bereskan dulu laporan ini. Kasih ke Ira jangan sampai salah lagi dan pastikan nominalnya benar. Ini perkaranya uang. Harus sangat amat teliti, Rin. Mungkin di kertas, nominal seratus ribu itu kecil tapi kalau setiap laporan selisih terus, bisa-bisa bonus tahunan kalian jadi kecil."
"Duh, jangan Pak," kata gue kaget. Saat itu gue lihat Satria menyeringai. Enggak nyeremin, sih, tapi gue tau dengan pasti, dia sudah pegang kartu mati gue.
"Makanya teliti."
"Baik, Pak." Sebelum gue benar-benar beranjak, gue harus memastikan tawaran bos gue bukan sekadar kata. "Tapi saya boleh cuti, Pak? Serius?"
Dia mengibaskan tangan! Mengusir gue! Lah... gimana, sih?
"Pak?"
"Iya, Rin. Dan saya mau setelah kembali dari cuti, enggak ada cacat dalam laporan. Paham?"
Sudah lah, urusan kerjaan nanti bisa dipikirkan. Yang penting... gue bisa cuti! Hamdalah. "Makasih, Pak." Urusan diberi izin cuti saja gue sudah kegirangan. Ternyata bos Satria enggak semenyebalkan itu, kok. Kalau lagi baik enggak nyebelin, tapi kalau lagi kumat ya... nyebelin banget.
Sisa pekerjaan gue Jumat ini harus dikerjakan sungguh-sungguh. Bu Ira sampai kaget karena laporan untuk Senin sudah separuh jadi. Saat gue bilang, gue mau cuti tiga hari, dia tertawa. Katanya, pantas gue kerja extra banget sepanjang hari ini.
"Enggak apa, kan, Bu Ira? Semangat menyambut cuti?"
Atasan gue cuma geleng-geleng saja. Dan yah... benar yang Bu Ira bilang, gue benar-benar semangat menerabas semua laporan dan mengeceknya lebih teliti. Gue enggak mau menyia-nyiakan kesempatan cuti yang bos beri. Tiga hari. Gue bisa kelayapan ke mana-mana.
Senangnya hati gue! Biarpun gue tau, saat jam kerja berakhir maka saatnya gue harus menghadapi realita kalau besok, ada orang lain yang akan memaksa masuk ke dalam lingkar hidup gue. Dikasih izin bahkan lampu hijau yang terang nyalanya. Di mana gue sama sekali enggak berdaya sekadar nolak atau menghindar.
Nasib gue apes banget, sih?
Enggak mungkin gue menjalani hubungan dengan orang lain, di saat hati gue hanya terpaku pada satu nama. Gue bingung banget. Sampai motor gue tiba di rumah, perasaan gue masih enggak tentu arah begini. Gue sudah coba saran Mae untuk bertanya baik-baik lagi sama Ibu, apa permasalahan yang sebenarnya tapi tetap saja hasil yang gue dapat, nihil.
Gue iri sama Mae; nikah dipenuhi cinta begitu. Masa gue nikah tanpa cinta, sih? Sudah mana orangnya nyebelin banget begitu, kirim pesan sudah kayak beri laporan harian, belum lagi perkara ancaman dia yang bikin gue makin sewot.
Oh, jangan lupa pesan beruntut dari Hekky yang gue abaikan. Gue bingung harus jawab apa terutama pada bagian; kamu sudah punya tunangan dan akan menikah dalam waktu dekat, Rin?
Pertanyaan itu kayak membuat gue ada di tengah pilihan yang benar-benar sulit. Di satu sisi, gue pengin banget melempar diri ke Hekky dan berkata penuh lantang, "Kita kabur aja, yuk, Mas. Ke mana, kek."
Akan tetapi di sisi lain, ada Ibu dan Ayah yang mengulurkan tangan ke arah gue. Lengkap di belakangnya ada si Tembok Cina yang datar memperhatikan gue. Kalau gue menyeberang ke sisi yang berlawanan, senyum mereka perlahan lenyap. Tapi hati gue?
"Rin," panggil Ibu yang bikin gue terkesiap. ah... gue hobi melamun kayaknya sekarang. Gue lihat Ibu bawa tentengan entah apa isinya. "Kamu baru pulang?"
Gue mengangguk saja.
"Kebaya yang ada di lemari kamu itu, kan, enggak jadi dipakai minggu lalu. Besok malam harus dipakai, ya. Kamu enggak mau undang Mae atau teman kamu yang lainnya?"
Bahu gue terkulai lemah. "Enggak, Bu. Mae masih recovery."
Langkah Ibu berhenti dan menatap gue bingung. "Sakit?"
"Iya."
"Tapi sekarang gimana? Sudah sehat?"
"Sudah." Gue malas menyahut panjang lebar. Pikiran gue penuh mendadak. Belum lagi gue lihat ada beberapa orang yang sepertinya bakalan bikin pekarangan rumah gue dipasang tenda. Ini? Gue enggak dalam distorsi waktu, kan? Gue ada di rumah gue, kan? Bukan dunia khayal?
"Bu, Arin mau istirahat. Capek banget," kilah gue saat Ibu sepertinya mau bicara lagi. Gue enggak dalam dimensi mana pun, kok. Lagian kenapa tiba-tiba gue mikir hal aneh begitu, sih? Gue rasa karena dua hari lalu gue asyik sama Nendra main games dan dengar penuturan dia mengenai dunia games-nya yang ternyata seru.
Pantas saja Mae gemar banget mainan gadget, ternyata seseru itu.
Masuk di kamar, bukannya sesak gue mereda malah makin jadi. Di kamar gue, satu kebaya lengkap dengan kain batiknya tergantung sempurna di handle lemari. Sudah licin dan gue rasa wangi. Tanpa gue sadar, gue lagi-lagi nangis. Sumpah, gue cengeng banget akhir-akhir ini.
Dan sisa malam ini, gue habiskan dalam lautan air mata.
***
"Rin, ayo Nak keluar. Keluarga Rasyid sudah datang."
Gerak gue memulas lipstik peach terhenti. Sudah waktunya ternyata. Gue lirik jam di kamar, pukul satu siang persis seperti kabarnya di pesan yang enggak gue balas sama sekali. Tanpa perlu izin, Ibu membuka pintu dan mendapati gue masih duduk di meja rias.
"Duh, anak gadis Ibu cantik banget."
Ya Allah, demi apa pun gue baru kali ini lihat senyum Ibu merekah banget. Wajahnya bahagia gitu. pulasan make up tipis yang Ibu pakai enggak ada apa-apanya ketimbang senyum yang barusan banget dia beri untuk gue. Sebagai anak yang berbakti dan punya hati selembut mashmellow, mata gue berkaca-kaca.
"Senyum dong, Nak, masa cemberut. Malu sama kebayanya." Ibu terkekeh sembari membenahi tatanan rambutku yang sudah agak panjang ini. Gue cuma membuat gelombang kecil di ujung-ujungnya saja, dan dijepit persis di tengah dengan jepitan hias mutiara yang senada dengan kebayanya.
Gue meringis saja. Menarik napas panjang dan yah... ini harus gue hadapi. Enggak mungkin, kan, gue merencanakan kabur jilid dua. Jilid satu saja gagal total, gimana yang kedua? Gue rasa baru menyalakan motor, tau-tau kempes atau malah gue kenapa-napa di jalan. Aduh... enggak deh.
"Ibu harap kamu bahagia, Nak."
Gerak gue mengimitasi langkah Ibu berhenti, mungkin karena itu juga Ibu menoleh dan menatap gue dengan pandangan bingung.
"Apa Arin bakalan bahagia dengan orang yang sama sekali enggak Arin kenal dan cintai, Bu?"
Ibu malah tersenyum kecil. mengusap rambut gue penuh hati-hati.
"Cinta itu ada karena terbiasa, Rin. Dan Ibu yakin, Rasyid adalah pria yang tepat buat kamu."
"Kalau enggak?" sanggah gue cepat.
"Kamu sudah kenal memangnya?"
Gue diam karena enggak menemukan kata yang pas untuk sekadar membantah Ibu.
"Kalau belum kenal, jangan langsung menuduh seseorang enggak baik."
"Sama seperti Ibu. Kenapa enggak memberi kesempatan untuk Mas Hekky? Memangnya dia salah dan buruk banget di mata Ibu?" cecar gue yang rasanya gue menyesal mengucapkan hal itu demikian lancar. Sesaat Ibu menatap gue enggak percaya. Cerah di wajahnya mulai hilang dan kembali datar seperti sebelumnya saat gue selalu membahas masalah Hekky.
Tapi mau gimana lagi? gue butuh jawaban pasti bukan selalu dibilang, "Sudah. Nurut saja sama Ibu."
Seperti yang baru saja beliau ucap. Bikin hati gue makin jengkel dan rasanya di sini hanya gue yang benar-benar terpaksa menjalani hal yang katanya indah bin mendebarkan. Di sini gue korban yang pengin kabur ke ujung dunia asal tahu saja.
Begitu gue keluar, semua yang ada di ruang tamu yang sudah disulap sedemikian rupa dengan banyak bangku dan juga meja dengan aneka suguhan, mengarah ke gue.
Untuk kali pertama gue menyesal mengenakan kain batik yang biasanya selalu jadi andalan gue tiap kondangan. Sama persis dengan yang Tembok Cina pakai. Bikin badannya yang sudah gede makin kelihatan tegap juga... gagah? Aduh... otak gue konslet kayaknya.
****
"Setelah kita nikah, gue enggak mau tinggal di Makasar."
Terserah, mau gue dibilang egois atau apa gue sudah enggak peduli. Semua yang ada di ruang tamu tadi, seenaknya saja menentukan hidup gue. Oke lah pertunangan ini gue coba terima pelan-pelan biarpun sakit banget. Bahkan gue rasa, foto-foto yang banyak diabadikan tadi, wajah gue enggak ada senyumnya sama sekali.
Biar saja lah.
"Yang sopan kalau bicara dengan calon suami sendiri, Rin."
Gue melengos, malas meladeni.
"Saya kerja di Makasar, Rin. Enggak mungkin meninggalkan kewajiban di sana."
"Gue sudah setuju, enggak banyak keberatan dengan semua yang kalian mau. Nikah tiga bulan lagi, resepsi dua tempat di Jakarta dan Bandung, terus sekarang? Gue enggak bisa bebas di Jakarta aja? Gue juga kerja, kok. Gue biasa kerja dan gue enggak terlalu kepengin meminta sama suami mengenai nafkah biarpun itu kewajiban. Paham?"
Gue dengar si Tembok Cina menghela napas pelan. "Saya masih ada sisa waktu satu tahun lagi sebelum bisa bebas mencari kerja di tempat lain."
"Urusan lo lah."
"Rin, ucapannya dibenahi bisa, kan?"
Gue mendelik tajam ke arahnya yang sama sekali enggak ada ekspresi apa-apa selain lurus banget menatap gue. Bikin gue jengah mendadak.
"Saya masih ada cuti dua hari ke depan. Kita bisa jalan berdua? Sekadar mengenal satu sama lain?"
"Gue kerja. Lo lupa?"
"Saya antar jemput kalau begitu. Rabu saya harus kembali ke Makasar."
Gue enggak mau meladeni, memilih beranjak karena rasanya lelah banget hati ini. Pun gue ingat, belum makan sejak tadi pagi. Sialnya, perut gue ternyata enggak bisa kompromi barang sebentar saja. Niat, kok, gue ngisi perut. Makanya gue berdiri dan mau menuju dapur, ehhh... si perut sudah bunyi duluan!
"Sejak pagi belum makan?"
Hanya lirikan sinis gue beri sebagai jawaban.
"Ya sudah, kamu duduk saja. Abang ambilkan makan untuk kamu."
Hah? Kuping gue enggak salah, kan? Abang? Sejak kapan dia membahasakan dirinya sebagai Abang?
Belum selesai semua gue proses sempurna di otak, dia muncul dengan dua piring nasi penuh lauk. Yang satu, lauknya banyak banget dan gue yakin bukan untuk gue. Yang satu lagi, standart lah. Pasti untuk gue.
Yang enggak gue persiapkan, Ibu dan Tante Sofi—calon mertua gue—turut serta mengikuti si Tembok Cina.
"Duh, akur ternyata mereka."
"Iya, saya pikir mereka bakalan cakar-cakaran soalnya Arin hobi banget berbuat kekerasan dari kecil dulu," kata Ibu yang sontak membuat gue mengerjap heboh.
"Ih... enggak! Memang Arin kucing!"
Kompak, mereka berdua menertawakan gue. Minus si Tembok Cina yang sekarang gue mahkotai sebagai makhluk Tuhan tanpa ekspresi. Fix.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro