[48]
Mata gue enggak lepas menatap hasil pemeriksaan yang baru saja gue lalui. Ucapan dokter saja enggak terlalu gue dengar sakign takjubnya. Apalagi di mesin USG tadi. It's amazing. Gue merasa hangat yang melingkupi diri benar-benar bikin perasaan sangat bahagia. Sungguh.
"Kalau sekiranya ada mual dipagi hari, itu kondisi lumrah. Hanya saja perlu diwaspadai kalau terlalu intens dan membuat Ibu enggak bisa beraktifitas normal."
Gue manggut-manggut saja.
"Ibu bekerja?"
"Iya, Dok." Gue masih belum mau melepas tatapan dari hasil USG. Ujung jemari gue menyentuh bagian di mana katanya janin gue tumbuh. Masih kecil banget tapi gue sudah jatuh sayang. ini ... darah daging gue. Yang akan tumbuh di dalamnya dengan banyak cinta. Enggak akan gue biarkan tumbuh kembangnya terhambat. Gue mau beri yang terbaik buat Utun. Biar aja enggak usah keceh-keceh ngasih nama panggilan. Nanti ketika lahir, barulah gue beri nama dan harapan serta doa yang bagus-bagus di dalamnya.
"Rin, dengar dokternya dulu. Ya ampun." Ibu menyenggol bahu gue yang bikin gue gelagapan mendadak. Rasanya pengin misuh-misuh tapi ini Ibu yang melakukan ke gue. Jadi yang bisa gue lakukan cuma meringis malu saja.
"Maaf, ya, Dok. Excited banget saya," kata gue jujur.
Beruntung dokter yang menangani gue maklum banget. Malah menimpali ucapan gue dengan banyak kata syukur lantaran diberi kepercayaan yang cukup cepat mengenai perkara kehamilan. Iya, dokternya benar. Gue benar-benar bersyukur mendapat anugerah seperti ini.
"Jangan lupa makan sehat, ya," kata dokter menutup sesi konsultasi dan pemeriksaan hari ini. Gue keluar ruangan dengan perasaan yang luar biasa bahagia. Saat gue menoleh pun, Ibu demikian. Binar gembiranya enggak ditutupi sama sekali. Tanpa sadar, gue gamit tangannya dan setengah bersandar pada bahu Ibu yang masih tetap kuat menopang gue.
Sampai kapanpun gue yakin, bahunya selalu kuat menopang gue. Selalu.
"Dijaga baik-baik, Rin."
Gue menoleh sekilas dan mengangguk segera. "Iya, Bu."
"Mau kasih tau Rasyid kapan?"
Mendadak gue kebingungan. Bukan apa, gue bukan enggak mau beri kabar ini ke Abang. Dia harus tau, lah. Masa sudah menghamili gue dia enggak tau kalau punya jejak bernama anak. G!la aja. Eh ... gimana, sih? Gue, kan, istrinya. Ya ... wajar kalau dia berhasil menghamili gue. Duh ... Arin mulai error kayaknya.
"Ehm ... nanti pas Abang pulang aja, Bu," putus gue mendadak. Gue pengin tau ekspresi Abang kalau dengar berita bahagia ini bagaimana. Pasti sama seperti saat pertama kali gue tau; shocked dan enggak sangka. Lalu gembira banget setelahnya. Gue yakin banget.
"Rencananya pulang kapan?"
Gue ingat-ingat pembicaraan kami selama ini. Dia bilang paling lama tiga minggu di Makasar. "Awal bulan depan kayaknya, Bu."
Ibu berdecak kesal sembari membukakan pintu untuk gue. Mendorong gue untuk segera masuk karena Ayah sudah setia menunggu di mobil. Enggak mau ikut bukan lantaran enggak mau dengar berita bahagia dari gue yang sebentar lagi memberinya cucu, bukan. Tapi saat mau masuk ke rumah sakit, Ayah dapat telepon dari buyernya. Enggak mungkin menunggunya selesai bicara, kan?
"Gimana, Rin, kata dokter?" tanya Ayah dengan wajah antusias. Mengabaikan Ibu yang tampaknya cemberut.
"Alhamdulillah, Yah, positif. Kata dokternya perkembangannya baik dan dikasih banyak vitamin juga."
Ayah pun sama, wajahnya terlihat gembira dan penuh syukur. Gue terima satu belai lembut dan hangat darinya di puncak kepala. "Ayah senang dengarnya. Anak ayah sebentar lagi jadi ibu. Enggak sangka, ya."
Yah, si Ayah hebat banget bikin mata gue berkaca-kaca gini. Gue jadi mellow, kan?
"Kapan mau kasih tau Rasyid? Jangan ditunda kelamaan." Ayah mulai menyalakan mesin mobil.
"Nah, itu, Yah," sambar Ibu. "Masa si Arin mau nunggu sampai Rasyid pulang? Masih tiga minggu lagi pulang ke Jakarta." Ibu langsung bersidekap dengan tampang garang gitu. Bikin gue mengerutkan kening. Ibu kenapa coba?
Ayah melirik melalui spion tengah. Mobil sudah melaju keluar dari area parkir dan siap menuju rumah. Gue masih duduk tenang saja lah. Biarkan saja ibu marah-marah enggak jelas.
"Jangan ditunda, Rin. Kabar baik gini."
Gue masih memikirkan hal ini, sih. "Iya, Yah." Pakai cara aman saja biar enggak ribet. Gue lirik, Ibu enggak sekesal tadi.
"Arin mau dibuatkan apa sama Ibu? Udang balado? Rempeyek udang? Udang asam manis? Ayo bilang sama Ibu. Eh ... Ibu juga mau bilang sama ibu-ibu arisan, ah. Biar semuanya tau, Ibu mau punya cucu."
Ibu dan kerempongannya.
***
Gue sengaja tunggu Abang video call, tadi kami sudah janjian karena seharian ini Abang repot. Pengalihan satu tokonya sudah berhasil mulus, lapornya. Tinggal mengosongkan stok yang mau dialihkan ke toko lainnya. Rama bilang, dia mau mengurus satu toko yang paling besar dan paling potensial tapi bagi hasilnya harus seimbang.
Tanggung jawab Rama memang besar, sih, di sana. Abang belum memutuskan hal ini. Katanya mau diskusi sama gue dulu mnegenai hal ini. Gue pikir, itu enggak masalah, ya? Jadi ada cabang Abang yang masih bertahan di sana pun di Jakarta nantinya. hanya toko saja enggak perlu pakai praktik dokter hewan kecuali nantinya ada yang bisa diajak kerja sama mengisi slot di sana.
Itu masih bisa dipikirkan.
Dering ponsel yang gue tunggu, berbunyi. Senyum gue jelas banget terkulum karena mendapati nama Abang di sana. Tanpa ragu, gue geser icon hijau agar wajah Abang muncul di layar. Hal yang pertama gue ketahui, wajah itu agak lelah. Kantung matanya kentara banget. Apa Abang di sana kurang tidur?
Ngapain segala kurang tidur? Gue tanya Mae, mereka sudah jarang banget tanding bareng. Vodka ada seminar yang cukup menguras waktu sementara Gin informasi dari Mae, lagi ada di Belanda. Pameran. Gue baru tau kalau Gin ini arsitek.
Ternyata circle Abang di Daki Monyet bukan hal yang bisa diremehkan.
"Assalamu'alaikum, Neng Sayang."
Seperti biasa, gue mencibir dengan sapaan yang mungkin kalau orang lain bisa blushing, kalau gue enggak. "Wa'alaikum salam, Abang Hulk."
Dia ketawa. Renyah banget yang bikin wajah lelahnya sedikit berkurang. "Abang kangen."
Gue berdecak saja. membenahi posisi setengah rebah biar nyaman. Pulang dari rumah sakit, Ibu benar-benar memanjakan gue, lho. Gue senang banget kalau kabar ini bikin mereka pun happy. Ayah? Jangan tanya. Beliau malah dengan suka rela menemani gue nonton drama di ruang depan. Katanya lama enggak bersama anak perempuannya.
"Neng juga," kata gue jujur. Gue itu paling enggak suka menutupi apa yang ada di hati. Lebih suka segera memberitahu tapi perkara hamil, gue masih berpikir dulu. Gue masih kepengin melihat bagaimana wajah Abang, sih.
Tapi ... kata Ibu kabar baik itu enggak bagus kalau ditunda terlalu lama. Ayah bahkan setuju dengan hal itu. Jadi ... gue nurut saja, lah. Malam ini gue kasih tau Abang mengenai kehamilan gue.
"Benar?" tanyanya enggak percaya gitu. Binar matanya lekat banget menatap gue walau terhalang ponsel. Gue mengangguk saja sembari mengulum senyum kecil. "Ah, Abang jadi pengin ke Jakarta tapi masih banyak yang harus diurus."
Mendadak binar itu ganti sama sendu, bikin gue merasa bersalah mendadak.
"Ih, Abang jangan gitu dong. Di sana, kan, Abang mesti cepat selesaikan. Jangan ditunda kelamaan biar cepat pulang."
Dia mengangguk cepat. "Harus. Makanya Abang kerja keras banget. Untung Rama bantu banyak."
Gue setuju akan hal itu.
"Jadi menurut Neng gimana? Masalah toko yang dikelola Rama?"
"Arin setuju aja, Bang. Selama kerja sama Abang, Rama ada sesuatu yang mengganjal enggak? kalau enggak, harusnya itu enggak jadi masalah."
Gue lihat dia mengangguk pelan. "Oke lah. nanti Abang ngobrol serius sama Rama."
"Ingat, harus ada hitam di atas putih biar jelas kerja samanya gimana."
Lagi-lagi Abang mengangguk. "Hari ini Neng ngapain aja? Maaf, ya, seharian enggak beri kabar apa-apa. Abang pengin dengar dulu hari ini aktifitas Neng apa saja nanti gantian, Abang cerita."
"Ehm ... ngapain aja, ya? Yang jelas kerja setengah hari karena izin ke rumah sakit."
Gue tau banget, sorot mata Abang berubah khawatir. Bahkan duduk yang tadinya santai bersandar di salah satu bantal besar yang gue tebak dirinya ada di kamar, langsung duduk tegak gitu. "Apa? rumah sakit? Siapa yang sakit? Neng enggak bilang sama Abang seharian ini? Neng, biarpun Abang sibuk hal-hal urgent kayak gini har—"
"Bisa tenang dulu enggak? Kan, giliran Arin yang cerita. Kenapa Abang yang mendominasi, ya?"
Abang kadang mirip kerbau, sukanya mendengkus gitu. Mana bikin tambah seram mukanya. Gue rasa diamnya Abang memberi gue kesempatan untuk menjelaskan atau lebih tepatnya, gue beritahu mengenai kehamilan ini. Iya. Gue beritahu sekarang saja. Hal baik harus segera diberitahu. Lagian enggak ada yang salah, kan? Abang suami gue. Dia harus tau juga kalau berhasil bikin gue hamil biarpun selama ini, kami enggak pernah terlibat pembicaraan mengenai anak.
Enggak ada yang enggak suka kalau istrinya hamil, kan? Gue yakin, Abang pasti suka dan bahagia. Benak gue sudah menggambar betapa sorot matanya yang gelap itu berbinar penuh gembira menyambut kabar yang sebentar lagi gue umumkan.
Gue keluarkan tiga ala penguji serta hasil USG yang masih sering gue curi lihat. "Arin hamil," kata gue dengan senyum selebar jalan tol.
Butuh waktu beberapa detik bagi Abang—mungkin—mencerna apa yang baru saja gue beritahu.
"Hamil?" ulangnya yang gue jawab dengan anggukan tegas. Wajah Abang masih sama. Enggak memperlihatkan ekspresi lain selain kaget. Iya lah pasti kaget. Gue juga seperti itu, kan?
"Kenapa hamil?"
Tunggu ... kenapa pertanyaannya aneh banget. "Maksudnya?"
"Abang pikir, kita tunda dulu kehamilan Arin."
Ini ... gue enggak salah dengar, kan?
"Ah ... seharusnya masalah hamil ini kita bicara lebih serius, ya, Neng. Abang sering lupa diri kalau sudah di dekat Neng. Abang penginnya kita tunda dulu masalah hamil. Tapi kalau sudah terlanjur gini, ya ... sudah. Mau gimana lagi."
Jantung gue sudah ada di lantai rasanya. Enggak perlu mendebat banyak hal sama Abang. Gue memilih mematikan sambungan telepon. Mengabaikan panggilan yang terus menerus memunculkan namanya di layar gadget gue.
S!al. Gue baru tau, kalau kabar hamil adalah hal yang bikin gue sesak seperti ini.
***
Di part ini, penulisnya geram betul dengan Rasyid. Sialan emang tuh laki
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro