Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[47]


Abang kembali ke Makasar sudah berlalu dua hari. Dan gue merasa, hubungan kami terutama terkait komunikasi Abang perbaikin dengan sungguh-sungguh. Kadang video call tanpa perlu berkata-kata karena gue di kantor sementara Abang mengerjakan pekerjaannya. Gue dikenalkan secara virtual oleh Rama dan beberapa orang yang membantunya di sana.

Gue enggak antar seperti sebelumnya. Bukan enggak mau, tapi berbarengan dengan hari kerja gue. yang ada Abang yang mengantar gue dulu, baru ke bandara. Kebetulan Abang pakai penerbangan siang. Katanya juga pengin lebih lama sama gue. masih kangen.

"Sampai bertemu di ponsel lagi, ya."

Senyum gue enggak selebar biasanya. Ada sedihnya juga, sih, ditinggal lagi ke Makasar tapi mau bagaimana lagi? Ini juga sudah termasuk dalam pilihan gue, kan? Gue cuma berharap, Abang enggak bikin gue kecewa lagi.

Gue yakin, gue bisa melalui ini. Toh Abang enggak menyia-nyiakan kesempatan yang gue beri. Sejauh yang gue lihat, sih, seperti itu. Oh ... atau karena baru dua hari, ya? Abang bilang, untuk kali ini ia di Makasar paling lama tiga minggu. Gue lihat saja apa ada yang berubah atau enggak dari perilakunya.

Kalau ada, gue benar-benar patut curiga. Dan kali ini gue enggak mainan perkara kecurigaan gue. Kalau perlu gue ke sana saja membuktikan sendiri. Gue paling benci soalnya memendam perasaan yang enggak mengenakkan macam curiga. Lebih baik gue tau sendiri ketimbang gue tau dari orang lain. Jadi gue bisa memutuskan langkah apa yang harus gue ambil.

"Rin, nanti kamu minta approval sama Pak Satria, ya," kata Bu Ira dari mejanya. Bikin gue menoleh mendadak dan segera mengangguk.

"Kamu juga tanya, budget gathering-nya mau ditambah atau pakai estimasi tahun lalu."

Ah, mendadak gue ingat bagaimana keseruan kami saat jelang gathering. Pasti rasanya berbeda banget kalau enggak ada Mae. Biarpun dia pendiam, kalau sudah bekerja seorang Maemunah Azzahra itu serius dan totalitas banget. Belum lagi semua acara disusun dengan baik saat itu. Makanya gue sempat kesal juga saat Pak Bos menyepelekan cara kerja Mae di gathering tahun lalu.

Untuk kali ini, Mae ikut enggak, ya?

Gue tanya sama Pak Bos, deh.

Gegas gue beranjak ke meja Bu Ira, mengambil laporan yang ia maksud. "Yang ini, kan, Bu?" tanya gue memastikan. Tapi bukannya mendapat jawaban, malah Bu Ira melihat gue kayak aneh banget gitu. Ada apa coba?

"Kenapa, Bu?" tanya gue penasaran juga.

"Kamu sakit, Rin?"

Sontak gue memegang kening sendiri. "Ah, enggak. Sehat banget begini, kok, sakit."

"Tapi wajah kamu pucat banget, lho." Bu ira berdiri. Memastikan sendiri kondisi gue. tangannya terjulur menyentuh kening gue dengan lembut. Persis seperti seorang ibu yang memeriksa kondisi anaknya. "Sapto, lihat deh. Arin pucat banget, kan, ya?"

Sapto yang sedang memfotocopy berkas menoleh dan menatap gue lekat. Bikin gue mengerutkan kening tapi penasaran juga dengan jawabannya. "Iya, Bu. Lo kurang darah, Rin? Anemia?"

Gue gegas menggeleng.

"Jangan terlalu keras bekerja, Rin, kalau memang lagi kurang sehat."

"Pas kemarin Arin ke Dufan memang muntah-muntah, sih. Tapi setelahnya enggak pusing, kok. Biasa aja gitu."

Sejak Mae resign, otomatis teman gue menggosip cuma Bu Ira dan Sapto. Kalau Bu Ira lebih ke arah keluarga dan hal-hal random seputaran tumbuh kembang anak. Oh ... perkembangan media sosial buat anak-anak juga Bu Ira semangat banget kalau membahasnya. Enggak seperti Mae yang senang mendengarkan celotehan gue mengenai banyaknya list belanjaan untuk nantinya gue ceklis satu per satu. Yakin lah, kalau gue bicara mengenai masalah list belanjaan yang ada Bu Ira ceramah panjang.

Katanya, "Hemat, Rin. Bu Ira tau itu uang kamu. Tapi lebih berguna ditabung. Kalau suka belanja, beli saja perhiasan. Lebih enak. Sayang kalau perhiasan dijual. Kalau baju? Sepatu? Dijual juga harganya turun, kan? Itu juga kalau laku."

Gue nyengir. Ucapannya memang ada benarnya, sih.

"Kamu yakin Cuma muntah-muntah aja?" tanya Bu Ira yang malah bikin kening gue makin berkerut. Gue rasa, bakalan jadi obrolan seru. Jadi gue tarik kursi yang enggak jauh dari meja Bu Ira. Duduk sembari berpikir, apa lagi yang gue rasakan setelah ke Dufan itu. Tunggu ... kenapa jadi ada pengaruhnya? Gue enggak sakit, kan?

"Yakin, kok, Bu."

"Enggak mual kalau pagi?"

Nah, kan. Bu Ira ini aneh kalau nanya.

"Kenapa mesti mual di pagi hari?"

Sapto di ujung sana malah ngakak. Si@lan banget. Memangnya salah perkataan gue?

"Kapan terakhir kali datang tamu bulanan, Rin?"

***

Sejak pertanyaan dari Bu ira mengudara, terus saja bergema di kepala gue dan enggak mau menyingkir barang sejenak. Bikin gue melongo saat ditanya Pak Bos.

"Rin, yang konsent gitu." Pak Satria mengulurkan laporan yang tadi gue beri. Gue meringis malu.

"Maaf, ya, Pak."

Gue bisa melihat hanya gelengan pelan yang diberi sebagai respon kata-kata gue tadi. Gue tambah malu jadinya. Duh ...

"Mengenai budgeting gathering, Bu Ira tanya apa mau pakai proposal lama dulu, Pak?"

Bos gue berdeham sekilas. "Boleh. Nanti Sapto yang cek lokasi."

"Ehm ... Mae kira-kira ikut enggak, pak?"

Baru kali ini gue lihat Pak Bos kayak menderita gitu. Bahunya merosot seperti orang kalah perang. Bikin gue penasaran, kan, Pak Bos ada apa?

"Itu lah masalahnya. Mae pengin ikut. Ngotot pula. Sampai sering nangis kalau malam setiap kali membahas masalah gathering. Katanya kalau jalan-jalan sama teman kantor beda dengan keluarga."

Gue mengatupkan bibir. Kehilangan kata-kata. Bukan apa, ini seperti bukan Mae saja. Apa karena dirinya lagi hamil?

Hamil.

Hamil.

"Rin, kok kamu malah bengong?"

Gue mengerjap heboh. "Ah? Masa, sih, Pak?"

Lagi-lagi Pak Satria menggeleng heran. "Sudah sana kembali ke meja kamu. Muka kamu jga pucat gitu. Sakit?"

Sepertinya gue butuh kaca yang besar untuk memeriksa bagaimana sebenarnya wajah gue hari ini. sudah tiga orang yang berkata demikian tapi gue sendiri enggak merasa sakit. Akhirnya gue pamit meninggalkan ruangan Pak Bos dengan tanda tanya besar. Pertama; masalah wajah gue yang pucat. Kedua; perkara hamil. Gue segera ingat-ingat kapan kali terakhir gue datang bulan.

Ini bulan Oktober, gue nikah pertengahan Juli dan bertepatan dua hari sebelum gue akad, mens gue selesai. Artinya ...

"Gue telat?" lirih gue tepat di ujung tangga dari ruang Pak Bos. "Gue ... ada kemungkinan lagi hamil? Gitu?"

Masa, sih?

Kaki gue mendadak cepat banget bergerak menuju meja Bu Ira. Di sana, wanita paruh baya itu lagi sibuk mencatat dan mengecek laporan yang gue beri sebelum naik ke lantai dua tadi. "Bu," kata gue sembari menarik kursi yang sama tadi.

Saat kami bersemuka, Bu Ira menatap gue horor banget. "Kenapa muka kamu, Rin?"

"Ih. Muka Arin belum berubah jadi kuntilanak. Tambah pucat memang, Bu?"

"Bukan. Tapi kayak orang habis nemu harta karun kayak belanjaan yang kamu sukai gitu."

Gue mencibir saja. "Bisa aja si Ibu." Gue sedikit menarik kursi agar lebih dekat. "Bu, Arin lagi ingatingat mengenai datang bulan. kayaknya Arin telat, deh."

"Kok, kayaknya, sih? kamu aneh banget. Enggak ingat terakhir kali kedatangan tamu kapan?"

"Ingat. Itu dua hari sebelum akad nikah dan sampai sekarang belum mens lagi," kata gue dengan lugas.

Binar wajah Bu Ira tambah banyak. Matanya bahkan mengedip berulang kali. "Sudah cek hamil?"

Gue menggeleng. Menyadari hal ini saja baru, kok. Gimana gue bisa memutuskan menggunakan alat penguji kehamilan?

"Ya sudah, pulang kerja Arin cek. Siapa tau benar hamil."

Kata-kata itu gue simpan banget di hati. Ada buncah bahagia yang enggak bisa gue tutupi bahkan Bu Ira sendiri sampai bilang, "Duh ... Ibu doakan semoga benar, ya, Rin. Kalau nanti hasilnya positif, segera periksa ke dokter sama Mas Hulk. Pasti Mas Hulk senang, deh."

Gue cemberut. Padahal perkataan Bu Ira tadi melambungkan asa gue, lho. Eh ... malah ikut-ikutan memanggil suami gue dengan sebutan Hulk. Enggak terima gue jadinya. "Ih, si Ibu. namanya Rasyid."

Bu Ira? Ngakak.

"Pokoknya Ibu doakan yang terbaik, ya, Rin. Semoga Allah ijabah. Enggak pakai acara tunda menunda, kan?"

Pertanyaan Bu Ira segera gue sambut dengan gelengan.

"Nah, bagus itu. Arin sendiri sudah siap jadi ibu, kan? Walau nantinya banyak kekurangan, Arin bisa banyak belajar. Pasti nanti tau apa yang mesti dilakukan. Enggak ada istri atau ibu sempurna untuk keluarganya. Tapi istri atau ibu yang baik, yang menyayangi keluarganya, yang bisa menempatkan diri sesuai porsinya, itu banyak. Dan Arin pasti bisa."

Duh, Bu Ira kalau soal menyoal kata-kata bijak itu paling jago. Enggak ada lawannya.

"Makasih, ya, Bu," ucap gue setulus mungkin. tapi semua itu dirusak banget sama ucapan Sapto yang bikin gue pengin jitak kepalanya sampai benjol.

"Kalian lagi apa, sih? Serius banget. Si Arin apalagi. Sok mellow banget. Enggak pantas lo begitu. Pantasnya seorang Arin itu bar-bar enggak dengan sok imut kayak gini."

Sialan memang Sapto ini.

***

Enggak tanggung-tanggung gue beli alat penguji kehamilan. Lima sekaligus. Tapi gue belum mau bicara sama Ibu. Nanti saja kalau sudah ada hasilnya. Dan kalau nantinya ada dua garis, gue minta Ibu temani ke dokter. Enggak mungkin tunggu Abang ke Jakarta lagi, kan? Kelamaan.

Gue enggak mau membuat hal-hal konyol kalau benar gue hamil. Bismillah. Semoga saja dugaan bu Ira ini benar. Hati gue sudah berbunga-bunga banget, lho, sejak Bu Ira memberi banyak petuah mengenai hamil.

Itu baru Bu Ira, bagaimana dengan Ibu? Sudah enggak terbendung lagi rasa senang di hati gue, kan?

Dan karena hal ini, gue enggak bisa tidur pulas. Serius. Kayak ada yang mengganjal banget dan penginnya cepat pagi menjelang. Kalau bisa, tanpa perlu tidur juga enggak apa. Berbekal info dari Bu Ira, katanya paling baik itu diuji ketika pagi hari. Harap-harap cemas juga gue!

Agak gemetar gue buka satu per satu testpack yang ada. Membaca sekali lagi petunjuk penggunaan setelah semalam gue baca dengan penuh teliti. Semalam juga Abang bervideo call tapi gue enggak mengatakan apa-apa terkait apa yang gue simpan di hati ini. Biar dulu sampai gue benar-benar mendapatkan jawaban atas rasa penasaran ini.

Biar jadi kejutan juga. sepertinya itu bagus. Ya, kan?

Satu alat penguji gue gunakan. Mata gue lurus menatap setiap perubahan yang ada. Mulai dari garis merah satu yang kentara banget hingga dua garis yang samar banget muncul. Hati gue mencelos, seperti lepas dari cangkangnya gitu. degup jantung gue jangan ditanya ributnya kayak apa. Tapi enggak. Gue butuh pengujian lainnya. Biar lebih yakin.

Alat kedua pun gue gunakan dan kali ini, dua garis merahnya benar-benar jelas bikin mata gue enggak kedip menatapnya.

"Ini ... serius?" tanya gue pelan. Sampai gue bekap mulut gue biar enggak teriak mendadak. Saat mata gue melirik, masih ada tiga alat lagi yang belum gue pergunakan. Menarik napas panjang, gue ambil satu lagi. Gue rasa tiga kali uji, sudah sangat lebh dari cukup. Kalau hasilnya sama, berarti gue memang harus mengunjungi dokter kandungan.

Ehm ... langkah pertama, sih, jelas gue info ke Ibu dan Ayah. mereka orang yang paling dekat sama gue. setelah ke dokter dengan membawa hasil yang lebih akurat, baru deh ke Abang.

Dan ... alat ketiga pun menunjukkan hasil yang sama. Sudah lah enggak ada lagi yang bisa menutupi gembiranya hati gue pagi ini. Bahkan kantuk yang mendera gue tadi sama sekali enggak ada alias hilang begitu saja.

"GUE HAMIL!!!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro