Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[46]

Berulang kali gue mengusap ujung hidung dengan aroma minyak kayu putih. Kepala gue pening mendadak padahal seharian ini makan enggak telat. Abang batalin semua booking hotel dekat tepi pantai karena kondisi gue makin lemas sejak muntah-muntah tadi.

Entah karena sea food atau pengaruh perut gue yang habis jungkir balik naik wahana atau juga karena angin yang terlalu kencang. Gue enggak tau. Yang jelas, setelah gue makan sea food yang enak itu, perut gue bergejolak parah. Padahal jeda antara gue makan dengan disudahinya petualangan gue seru-seruan sama Abang itu cukup lama. Gue sampai kebingungan sendiri jadinya.

Apalagi Abang.

Mukanya panik banget saat gue enggak bolik-balik dari toilet dan begitu melihat gue setengah jongkok di kloset, dia langsung membantu gue memijat tengkuk dengan pelan. Lumayan bikin gue sedikit lebih lega. Agak lama gue duduk dengan kondisi lemas juga pening yang tau-tau mendera. Bikin gue enggak punya selera makan sedikit pun padahal lapar.

"Kalau ngantuk, Neng tidur saja," kata Abang yang masih fokus mengendalikan kemudi. Cukup lenggang jalan Jakarta malam minggu ini.

"Pengin minum jeruk anget." Gue sedikit menegakkan punggung. "Masih lama enggak keluar tolnya?"

Abang tersenyum kecil. "Sabar, ya, sebentar lagi kita keluar tol. Mau sekalian makan? Tadi Neng baru makan sedikit."

Gelengan gue beri sebagai jawaban. "Takut muntah lagi." Gue usap pelan perut gue yang masih sedikit enggak nyaman. "Masuk angin kayaknya."

Usapan lembut gue terima di kepala. "Terlalu seru mainannya, ya? Ke dokter, ya?"

"Enggak mau. Butuh tidur aja." Sejak awal Abang mengusulkan gue untuk berkunjung ke klinik terdekat tapi gue menolak. Yakin gue masuk angin biasa enggak perlu terlalu berlebih. Apalagi gue habis main seru parah gitu. Bisa jadi memang kondisi tubuh gue kaget juga dengan aktifitas yang tadi gue lakukan.

Gue dengar Abang menghela napas pelan. "Oke."

Selebihnya gue memilih memejam sejenak biar enggak terlalu terasa perjalanannya sembari sesekali menghidu aroma kayu putih. kadang usapan lembut penuh sayang itu gue terima dari Abang.

"Oiya, Abang lama di Makasar?"

Mobil Ayah mulai memasuki gerbang tol keluar, pikiran gue sudah mulai dipenuhi enaknya jeruk anget.

"Belum tau, sih."

"Kenapa Abang enggak percayakan pengelolaan toko sama Rama? Abang percaya sama Rama, kan?" tanya gue penasaran. Abang bilang, Rama ini orang yang paling bisa diandalkan di toko. Semua jenis barang dia hapal dan tau fungsinya dengan benar. Banyak pelanggan yang suka dengan referensi yang Rama berikan kalau mengenai makanan serta ragam obat yang bisa diberikan pada hewan peliharaan.

Sesuai dengan referensi Abang tentu saja.

"Abang rencananya juga seperti itu. Mungkin bulan depan. Untuk dua atau tiga minggu ini Abang serah terima dulu. Nanti laporannya biar Rama enggak terlalu pusing juga. Harus ada yang bantu karena toko enggak cuma satu, Neng."

Gue mengangguk paham.

"Neng enggak perlu khawatir mengenai Dini. Abang bisa pastikan itu, kok," katanya sembari tersenyum kecil. "Abang tadi sudah jelaskan, kan? Apa ada yang masih mau Neng ketahui lagi?"

Sebagai jawaban, gue menggeleng. "Tadi jelas, kok. Asal enggak main-main sama kepercayaan Neng aja."

Sekali lagi, gue coba untuk percaya. Karena dirinya juga berjanji enggak akan sembarangan lagi dengan ponsel. Mengesankan segampang itu, ya, gue? enggak juga. gue Cuma enggak kepengin capek dengan pemikiran buruk.

"Rama sudah peringati Abang mengenai Dini. Abang pikir, hanya sebatas seperti itu saja ternyata benar-benar di luar dugaan banget. Abang kesal, jelas. Tapi kalau semakin abang ladeni, perempuan seperti itu bikin makin jadi. Kalau abang abaikan, hanya sebatas hubungan kerja saja, Abang rasa itu sudah paling aman. Toh, Abang cuma tinggal sekali ini bertemu juga bersama Rama," jelasnya tadi saat kami menunggu pesanan datang.

Tatapan gue sama sekali enggak teralih dari mana-mana, mencari kebohongan atau alasan yang sedang Abang buat mungkin selama menjelaskan sama gue perkara telepon dari cewek aneh itu. Tapi enggak ada. Dirinya berkata dengan mantap dan membuat gue pada akhirnya menyerah memberi penilaian buruk pada Abang. Gue rasa memang Dini ini yang bermasalah.

Gue takut? Jelas itu ada. Selama tiga minggu ke depan, Abang enggak ada di samping gue. Enggak nyata banget di depan gue. Ketar ketir itu muncul seiring dengan telepon tadi. Tapi tanggapan Abang yang ketus dan dingin bikin gue percaya, kalau Abang memang enggak macam-macam.

"Arin bukan orang yang gampang memberi maaf, Bang. Apalagi dengan hal yang sama. jadi ... Abang bisa menilai diri sendiri harus bersikap seperti apa ke Arin. karena Arin pribadi bisa jamin, Arin bukan orang yang sembarangan bertegur sapa."

Abang menangkup wajah gue, menatap penuh lekat sembari bibirnya tersungging satu senyum manis. Berhubung pembicaraan ini agak-agak sensitif membawa hal yang kemarin terjadi, gue enggak merona. Atau berdegup selayaknya gue melihat senyum itu ada di wajah Abang. Gue suka caranya tersenyum kali ini. Manis banget. Tapi sungguh, untuk kali ini gue mengabaikan senyum itu.

Netra gue serius menatapnya karena ini bukan perkara main-main.

"Iya, Abang ngerti. Makasih sudah kembali beri Abang percaya. Enggak akan Abang sia-sia."

Gue mengangguk saja.

"Arin melamun?" tanyanya pelan. bikin gue terkesiap karena memang enggak menyadari kalau pikiran gue ternyata sedang mengingat percakapan kami yang belum genap seharian berlalu tadi.

"Inget tentang Dini tadi," kata gue tanpa berusaha menutupi.

Abang berdeham sekilas, buat gue menoleh ke arahnya.

"Kemarin ada, sih, satu referensi ruko di daerah Pondok Indah. Neng mau cek besok?"

Kening gue berkerut. Kenapa jadi teralih pada ruko, ya? Pikiran gue masih ke Din-din itu, lho. Abang aneh banget. Mau mengalihkan pembicaraan, kah? Wah ...

"Semakin cepat dapat ruko, semakin cepat kita pindah. Pengurusan surat Abang enggak terlalu repot ketimbang memindahkan toko, Neng."

Oh ... masih terkait ternyata.

"Tapi kalau Neng enggak sehat, enggak usah. besok Abang cek sendiri."

Laju mobil ternyata ditepikan oleh Abang. Saat menyadari, Abang parkir di salah satu tempat makan ayam bakar. "Abang cek dulu ada jeruk angetnya enggak, ya. Neng tunggu di sini," katanya sembari melepas seat belt.

"Tunggu. Arin ikut." Gue buru-buru mengimitasi geraknya. Bikin dia menatap gue kebingungan. Dan saat gue tepat berada di depannya, walau agak mendongak, "Arin lapar ternyata. Makan ayam bakar boleh, deh."

"Siap, Neng Sayang."

***

"Kencang sedikit, Neng. Tadi cuma geli aja," kata Abang dengan pelan. Lagi-lagi gue mendesah pelan.

"Segini cukup?"

Dia mengangguk tanpa ragu. "Nah, ini enak banget. Penuh penekanan."

Ck! Bisa-bisanya.

"Turun dikit, Neng."

Oke, gue patuh. Menurunkan tangan untuk menyentuh bagian yang Abang bilang. "Di sini?"

"Nah, benar di situ. Agak kencang, ya. Bikin yang merah, Neng."

Gue mencibir saja.

"Eh, merah enggak, sih?"

"Merah, Abang. Mau lihat? Nanti Arin foto."

Dia ngakak. "Serius, deh. Abang enggak tau kenapa begini badannya. Ketularan Neng kayaknya."

"Enak aja. Arin habis makan sudah biasa lagi. Memang Abang aja yang sebenarnya sakit."

"Makan dua ayam bakar tanpa nasi, ya, Neng. Langsung sembuh. Hebat banget ayam bakarnya."

Gue ngakak. "Tapi beneran, deh, kenapa Abang bisa yang sakit begini?"

"Yang bikin Abang sakit itu, Neng," katanya.

Gue melongo. Sedikit menarik bahunya biar kami bersitatap. "Maksudnya apa, ya?" tanya gue dengan nada kesal.

Saat dirinya sedikit menoleh ke arah gue, tawanya membahana. "Gitu aja marah."

Lagi-lagi gue mencebik dengan tingkahnya. "Sudah buruan ini dilanjut. Keburu tambah masuk angin."

"Merah, kan, tapi?"

"Item, Bang."

Dia manyun.

Yang muntah-muntah tadi itu, kan, gue. Kenapa jadi Abang yang minta kerokin coba? Mana punggungnya lebar banget mirip white board zaman gue kuliah dulu. Dan yang kena dimintai tolong, kan, gue. Ya ampun. Musibah banget gue kencan di Dufan.

Belum lagi requestnya aneh banget. Disangka tenaga gue kuli banget, ya? Minta segala dikencangi tekanannya. Kan ... gue capek!

"Neng, yang ikhlas. Ini sakit banget. Ya Allah,"

"Tadi minta kencengin sekarang kesakitan. Kerokan sendiri aja, deh!"

Gue dengar dia berdecak kesal. "Kalau bisa pasti Abang lakukan sendiri, Neng. Merawat suami sakit itu pahala, lho."

"Ih, itu Arin ngerti. Tapi kalau badannya selebar jalan tol gini, ya, Arin pegel kerokinnya. Ini, sih, sama aja nyiksa istri, Abang!" keluh gue otomatis. Yang malah direspon dengan tawa yang enggak main-main gelinya.

"Enggak bisa pijitin Abang, ya?"

Ini Abang serius atau main-main, sih, kalau berkata? Gue kerokin dirinya saja sudah pegal tangan gimana kalau harus mijitin? Bisa lepas kayaknya tangan gue dari engselnya. "Yang benar aja, Bang!"

Kami sudah saling berhadapan. Sebagian dada Abang memang sudah merah terkena kerokan dari gue. Punggungnya jangan tanya. Gue sendiri bingung, kenapa malah Abang yang seperti orang masuk angin sementara yang muntah-muntah tadi itu gue.

"Injak-injak punggung Abang aja, deh. Pegel banget ini, Neng."

Subhanallah.

"Enggak lama, deh. Abang tau Neng capek. Abis itu kita tidur, ya."

Kok, gue curiga, ya?

"Tenang. Untuk malam ini, Neng bebas tugas dari ditiduri Abang."

Gue mengerjap pelan. Tangan gue yang enggak terkena minyak gosok, gue pergunakan untuk menyentuh rahangnya pelan. bikin Abang memejam merasakan sentuhan gue. pun dengan gerak pelan gue mendekat dan begitu jaraknya pas, gue mencium rahang yang tadi gue beri sentuhan.

"Tapi kalau Neng mau mainan sama Abang, Abang masih sanggup dua ronde, kok," katanya dalam pejam sementara gue mencibir enggak kentara. Enak saja.

Enggak pakai basa basi, rahang yang tadi gue kecup, gue gigit tanpa ampun.

Rasain!!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro