[45]
Tadinya, kencan kali ini mau pakai motor scoopy gue. Gila aja. Gue protes, lah. Bisa bengek motor gue ditindih sama Abang yang mirip Hulk itu. Dia ketawa geli banget pas gue protes besar-besaran saat kami mau berangkat pagi tadi. Gue sayang sama Scoppy by the way, bukan enggak sayang sama Abang juga, sih. Cuma ... motor itu enggak pantas kalau Abang yang kendarai. Entah kenapa pesona Abang itu duduk ganteng di Ninja merahnya.
Bebas, deh, helm mau pink atau hitam yang menjadi koleksinya di kamar. Gue sempat memperhatikan beberapan fullface yang jadi pajangan di samping action figure yang ia punya di kamarnya di Bandung. yang jelas, di mata gue Abang naik berkali-kali lipat kerennya kalau pakai motor besar gitu. sudah badannya tegap dan kekar, bukan berarti enggak cocok pakai Scoppy, hanya saja ... gitu lah.
Pokoknya enggak cocok!
"Kan, sudah enggak naik scoopy Arin lagi. Kenapa masih cemberut?" tanyanya sembari menjawil dagu gue. Ah, bukan menjawil lagi tapi nyubit. Bikin gue mendelik marah ke arahnya. Lalu dia tertawa lagi. "Aduh ... Neng bikin Abang sakit perut. Kenapa, sih, hari ini Neng ngegemesin banget. Enggak usah kencan di Dufan gimana?"
"Ih, ini sudah setengah perjalanan dan di tol pula! Mana bisa putar balik?" Gue bersidekap garang ke arahnya. Semalaman gue sudah bikin rencana mau naik wahana ini dan itu, sore jelang malam duduk santai menikmati angin laut. Duduk sembari menikmati sajian sea food yang ada. Kan ... surga banget. Malah mau dibatalin?
Ngapain ngajak kencan kalau begitu?
Sial banget, kan?!
Respon Abang? Kembali tertawa dan makin kencang. Untung ini di mobil Ayah bukan di kendaraan umum seperti sarannya yang aneh itu. Katanya, "Sesekali naik moda transportasi umum ke Ancol. Gimana?"
Gue bukannya enggak mau. Serius, deh. Dari rumah gue bisa berulang kali ganti kendaraan sampai ke shelter terakhir. Mau sampai jam berapa ke sana? Yang ada capek duluan sebelum memulai untuk seru-seruan naik wahana. Ih ... enggak banget!
Sejak bangun tidur tadi pagi, Abang memang lagi dalam mode menjengkelkan. Lebih menjengkelkan ketimbang saat pertama kali ketemu gue. Di mana bokong gue dibiarkan bercumbu dengan aspal depan rumah. enggak ditolongin pula. Apes banget gue punya suami seperti ini. Eh ... enggak, enggak. Beruntung, deh. Enggak boleh doa yang jelek-jelek, nanti ketulah.
Ih, amit-amit.
"Maksudnya Abang, enggak jadi ke Dufan tapi buka room hotel aja di daerah tepi pantai sana. kan, enak."
Kening gue berkerut dalam. "Ih ... enak di Abang enggak enak di Arin."
"Lho, siapa bilang Cuma enaknya di Abang doang? Lupa kalau semalam Neng sendiri yang minta nambah?"
"ABANG!" jerit gue setengah frustrasi. Ya Allah, sudah sejak pagi Abang ini puas banget meledek gue. Kali ini tambah parah! Seringai jahilnya enggak ditutupi sama sekali. Malah matanya sesekali mengedip manja menggoda gue! Luar biasa suami gue ini! Apa Mae bilang? Kalem? Lain kali kalau seorang Pina Colada bilang Whiskey ini kalem, gue duluan yang bakalan sanggah.
Itu sama sekali enggak ada kebenaran di dalamnya. Bohong semuanya!!!
"Kenapa, sih, Neng. Marah-marah terus," katanya sembari mengusap rambut gue. dibawanya setengah memaksa agar mendekat. Satu kecup singkat ia beri dan juga, "Abang kangen bicara selepas ini dengan Neng. Kangen banget."
Gue mencibir tapi diam-diam bibir gue berkhianat total. Masa iya bibir gue malah tertarik ke atas sedikit bikin satu senyum malu-malu busuk banget. "Makanya jangan bikin Arin berpikiran buruk ke Abang."
Dia mengulum senyum. Lagi-lagi mengecup sisi kepala gue penuh sayang. Lalu kembali fokus pada setirnya.
"Kalau besok enggak capek, kita cari-cari ruko gimana?"
Gue berpikir sejenak. Sabtu ini memang gue mau benar-benar refreshing, sih. capek, lho, negatif thinking gitu. ditambah orangnya ada di depan mata. Tapi tetap saja, gue memang butuh pelampiasan dengan diberi waktu untuk berpikir dan menimbang langkah selanjutnya. Ya, kan?
Niat gue minggu ini mau dipergunakan dengan beristirahat total. Berada di kamar sembari melanjutkan serial drama yang sempat tertunda semingguan ini. Tapi karena Abang sudah bicara seperti ini, entah kenapa gue pengin temani.
Dia sendiri yang bilang, siapa tau kalau bersama gue bisa cepat bertemu yang cocok. Untuk usaha juga praktiknya pun untuk kami tinggali sementara.
"Boleh."
"Atau nanti malam enggak usah pulang ke rumah?"
Sudah lah, Abang dan rencananya yang gue rasa memang sengaja ini.
***
Beberapa kali kencan gue memang di area Ancol. Bukan di Dufan, sih, tapi lebih menikmati pantai sembari ngobrol aneka rupa dan ragam yang ada bersama Hekky. Sebenarnya Hekky itu cukup seru kalau ketemu obrolan yang dia suka. Kalau yang enggak terlalu dia ketahui, hanya sebatas, "Oh, enggak terlalu mengikuti perkembangannya, sih."
Setelahnya, bungkam lagi.
Gue bukan sedang melakukan sebuah perbandingan karena dua pria ini memang berbeda. Seperti yang pernah Abang bilang, dirinya memang enggak pendiam. Suka bicara dan rasanya gue selalu menemukan topik yang pas untuk kami bicarakan. Enggak ada bosannya sama sekali.
Dan satu hal yang gue mulai sukai dari semua tingkahnya ke gue; cara dia menatap gue. Penuh bangat sama sayang. Bikin gue gemas sendiri dan refleks, kalau enggak terlalu ramai sama pengunjung lain, gue curi cium pipinya. Biar dia kaget dan gue melenggang pergi. Enggak sampai jauh melangkah juga pinggang gue sudah ditahan.
"Jangan bikin Abang khilaf di sini, Neng."
Gue ngakak.
"Belum capek?" tanyanya sembari merapikan helai rambut gue yang berantakan. Entah sudah berapa kali gue rapikan kuncir rambut tapi tetap saja berantakan. Mengenakan celana sepanjang betis dengan sneaker putih yang membebaskan gue bergerak ke sana kemari pun kaus longgar yang bikin gue nyaman selama berada di luar ruang seperti ini.
Pertanyaan Abang gue jawab denggan gelengan tegas. "Satu lagi naik roaller coaster," tunjuk gue ke ujung kanan tempat di mana wahana yang pengin gue naiki. Seru banget naik itu. Menguji adrenalin dan bikin heboh teriak-teriak enggak tau malu.
"Oke."
Lalu tangannya gue sambut dengan suka cita. Biarpun awalnya gue bilang, "Ngapain, sih, gandengan? Enggak akan hilang Arin di sini."
Dia balas ucapan gue yang bikin lidah ini enggak sanggup membalas kecuali tertunduk malu. "Memang enggak akan hilang. Abang tinggal cari meja informasi dan mengumumkan ke seluruh penjuru Dufan, kalau istri imut Rasyid Ananta hilang dari genggaman. Lebih dari itu, Neng. Menggenggam Neng itu bagian dari keinginan Abang, apalagi dibalas gini." Abang membawa tangan kami yang tertaut ini ke udara. "Rasanya luar biasa."
Gue sepertinya pantas banget kalau memberi piala buat Abang sebagai lakon paling romantis di saat-saat tertentu yang bikin jantung kebat kebit enggak keruan, ya? Ada enggak, ya?
"Nanti kalau ada waktunya lagi, kita seru-seruan lagi, ya."
Refleks gue mendongak sedikit pada sosok yang menjulang di samping gue. Tatapannya teduh padahal siang ini cukup terik bikin entah sudah berapa banyak titip peluh gue seka kasar.
"Abang enggak berpikiran kalau Arin ini kayak anak kecil di Dufan sejak tadi? Ngerengek ke sana kemari?"
Dia menggeleng. "Justeru hal-hal seperti ini yang Abang harap, Arin kasih tau. Sisi lain dari istri Abang yang harus dan wajib tau." Tiba-tiba ia sedikit membungkuk dan berbisik pelan di telinga gue yang bikin mata ini rasanya mau loncat menggelinding ke jalan. "Selain menggemaskan dan seksi di ranjang tentu saja."
"ABANG!!!" Karena saat itu gue enggak bisa gigit rahangnya, lengannya yang berotot jadi sasaran empuk gigi gue. Enggak peduli kalau nantinya banyak mata yang mengawasi atau menilai gue setengah gila. Belum tau aja kalau suami gue kayaknya lebih pantas menyanding kata itu karena ucapannya barusan!
"Gigi Neng mirip gigi Hiu. Sakit banget. Pakai perasaan banget, sih," keluhnya sembari mengusap bekas gigitan tadi. Gue? Cuek aja. Salah siapa meledek gue seperti tadi? Kan ... malu.
Saat gue sadar, Abang sudah enggak ada di samping gue dan ketika gue menoleh, pria besar itu lagi mengusap lengannya yang kena gigit. Tertinggal beberapa langkah di belakang gue. Gue jadi merasa bersalah. Apa terlalu kencang, ya, tadi? Habis ... gue malu banget dibilang seperti itu.
Gue menghela napas pelan, berbalik arah dan menghampirinya. "Masih sakit? Maaf, ya, Abang." Sedikit gue tarik tangannya, memeriksa dengan teliti takutnya memang ada luka bekas gigitan. Gue mirip Mike Tyson kayaknya, ya? Memang ada bekasnya di sana yang bikin gue meringis mendadak. Duh ... pasti sakit tadi, ya? Berasa banget gue kejam sama Abang. "Maaf, ya," kata gue sekali lagi.
Eh ... dia malah ketawa. Geli banget pula. Apa dia bilang? "Enggak sakit banget sebenarnya cuma pengin tau, Neng khawatir enggak sama Abang."
Enggak pakai menunggu nanti-nanti, detik itu juga gue empaskan tangannya sedikit kasar. Cibiran pun segera melayang saat kami bersemuka. Memang, Abang ini selalu bisa membuat gue jengkel dan senyum-senyum enggak jelas.
Oh, satu hal lagi yang baru gue tau dari penampilan Abang yang biasa santai. Kali ini lebih santai lagi. enggak kentara banget gue jalan sama suami yang berusia tiga puluh lima tahun ini. Serius. Ia kenakan topi sekadar menghalau terik matahari dan kini, topi itu ia lepaskan. Dikenakan dengan sengaja ke gue yang sudah jelas pasti kebesaran.
"Ih, nanti tampang Arin enggak imut lagi, Abang," keluh gue sembari mendongak. Berusaha amat melepaskan topi yang sedang ia setel bagian belakangnya agar pas. Biarpun pas, tetap saja ini besar. Abang sepertinya enggak peduli dengan keluhan gue. Bikin gue makin manyun karena tingkahnya itu.
"Jangan manyun gitu. Minta banget dicium, ya? Abang, sih, enggak masalah. Paling pada iri ngeliat kita ciuman di depan umum."
"Abang kerasukan set@n mes*m, ya? heran. Dari tadi bicaranya nyerempet mulu."
Dia ngakak.
"Pikirannya enggak jauh dari mes*m ternyata, ya?" kata gue penuh cibiran yang langsung ditanggapi dengan gelengan sembari mempertahankan tawanya.
"Jadi mau naik wahananya enggak?"
Gue mengangguk tanpa ragu. Mengabaikan pembicaraan tadi juga topi yang kini ada di kepala gue. Lumayan lah enggak panas-panas amat jadinya biarpun kebesaran. Tangan gue lagi-lagi digandeng. Biar lah sesuka hati suami gue aja. Mengabaikan juga sesekali tatapan heran orang di sekitar kami. mungkin bagi mereka gue ini adik kecil yang dijagain kakaknya yang super besar kali, ya. cuek aja.
Sedikit lagi langkah kami sampai di antrian, ponsel Abang minta perhatian. Bikin gue menoleh dan mendapati Abang gegas mengambil benda itu dari kantung celananya.
"Sebentar, ya," katanya tapi enggak sedikit pun beranjak menjauh. Seperti biasanya, gue selalu tau dengan siapa dia berhubungan. Biasanya Rama yang menghubunginya. Jadi gue memilih menunggu sembari memperhatikan sekitar.
"Mau apa?" Suara Abang enggak seperti biasanya. Kentara banget kalau enggak suka dan bikin gue penasaran. siapa si penelepon?
"Ck. Saya sudah bilang, saya enggak bisa. Urus dengan Rama saja. Enggak masalah."
Tuh ... tampang Abang berubah enggak ceria lagi.
"Apa? Kamu bilang apa? Jangan main-main dengan kabar itu, Din."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro