Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[44]

Dia serius bilang beberapa hari ini ada di Jakarta. Antar jemput gue dan melakukan banyak kegiatan yang menarik perhatian gue. Memang, usahanya patut diacungi jempol. Tapi buat gue, alasan yang Abang beri perkara ponsel masih terbayang sampai sekarang.

Apa segitu enggak pedulinya sama keberadaan ponsel, hingga seseorang bisa memanfaatkannya? Sama seperti dia pas taruh ponsel di nakas aja. seharian enggak dipegang sama sekali, tau ada pesan dari Din-din aja karena gue yang beritahu. Tapi itu, kan, tertinggal di kamar istri.

Sementara pas Din-din kirim foto ke gue?

Duh ... otak gue kotor banget pikirannya.

"Neng," panggil Abang sembari mengusap sisi kepala gue. Kami dalam perjalanan pulang kerja di jumat sore. Lalu lintas enggak pernah ada kata damainya, namanya juga Jakarta. Kalau lenggang berarti hari itu adalah hari raya.

"Hem."

"Masih belum mau banyak bicara sama Abang? Kangen dijudesin."

Entah sudah berapa kali Abang bilang begitu ke gue, enggak gue hitung. Malas. Walau gue enggak banyak bicara seperti biasanya, gue tetap temani dan tau apa kegiatannya selama di sini. Wajar kalau gue tau, dia ada di dekat mata gue. Coba kalau kembali ke sana?

Bisa habis terkikir semua percaya yang gue punya. Ya, kan?

"Ayah bilang, sudah dapat ruko?" tanya gue memastikan. Selinting gue dengar obrolan mereka, ada satu ruko yang menurut Ayah sudah pas banget sama kriteria yang Abang mau. Final decision ada di Abang, kan? Kalau dia mau, bisa segera didekor seperti keinginannya. Barang yang bisa dibawa ke Jakarta, tinggal kirim pakai ekspedisi. Selebihnya, jual murah ke pets shop lain. Toh, mereka pasti mau.

Tinggal perkara izin praktik Abang aja, kan?

"Belum cocok di hati Abang."

Gue mengangguk pelan.

"cari bareng sama Neng gimana?"

Segera mata gue melirik tajam ke arahnya. "Jangan bilang kalau pemilihan ruko juga Arin mesti ikut terlibat?"

"Lho, harus dong. Ruko itu nantinya sementara waktu akan jadi tempat tinggal untuk kita, Neng. Abang juga harus tau kalau Neng maunya seperti apa," jelasnya sembari melirikku.

Gue masih belum mau membalas ucapannya.

"Sambil Abang kumpulkan uang untuk beli rumah. enggak masalah, kan, kalau sementara seperti itu dulu?"

"Kapan Arin menyatakan keberatan?"

Dia tersenyum kecil, kembali mengusap rambut gue lembut. "Masih enggak mau nurunin kesalnya, ya, sama Abang? Sudah seminggu, lho, Abang merasa Neng masih jauh."

Helaan napas panjang gue terembus sudah. Kayaknya memang gue agak keterlaluan, sih, di sini. toh, selama Abang di sini, dia selalu bicara, berkegiatan, atau malah main games di samping gue. enggak pernah sedetik pun terlewatkan tanpa gue tau, apa kegiatannya dia. Abang bilang, seharusnya memang seperti ini. Hanya saja kemarin, dia akui salah.

"Neng mau Abang enggak sembarangan lagi sama halhal yang privasi. Masalah kabar, itu wajib Bang. Arin sama Abang ini terpisah jauh, kalau Arin enggak tau kabar Abang gimana? Atau sebaliknya, deh. Kalau terjadi sesuatu sama Arin tapi Arin enggak ngabarin Abang, apa rasanya hati Abang?"

Dia mengangguk cepat. "Abang janji itu terakhir kalinya."

Gue menoleh segera. "Abang tau? Arin paling benci diumbar janji. Arin lebih suka dibuktikan."

Entah ini perasaan gue aja atau Abang terkesiap dengan jawaban yang gue beri? Wajahnya kayak kaku mendadak gitu tapi keburu ditutup dengan senyum kecil yang bikin gue tambah curiga.

"Iya, Neng. Abang buktikan."

Walau begitu, sekali lagi ... sekali lagi gue coba untuk menjadi Arin yang seperti biasanya. Seperti saat gue memutuskan menikah dengannya; membuka diri dan belajar menyayangi serta mencintai pria yang masih mempertahankan tangannya di kepalaku.

"Iya, Abang," kata gue dengan mesra. Yang disambut cengiran lebar darinya setelah semingguan ini, perang dingin berlangsung.

"Abang sudah dimaafkan, kan?"

Gue masih mempertahankan senyum saja. Enggak mau menjawab karena memang gue masih belum tau, apa ini wujud memaafkan atau memberinya kesempatan kembali membuktikan kalau dirinya memang enggak ada dalam otak kotor gue ini.

"Besok kencan, yuk. Neng mau ke mana? Dufan?"

Untuk seminggu penuuh pikiran kotor, gue rasanya memang harus melepaskannya. Buat apa, ya? dia suami gue, kok. Memberi kesempatan untuk dirinya membuktikan enggak ada yang salah. jadi ... gue mengangguk antusias.

"Sudah lama juga Arin enggak ke sana."

Dan usapan lembut itu kembali gue terima. Kali ini, ditutup dengan kening gue yang mendapat cium lama darinya. Pun satu bisikan yang bikin gue merinding mendadak, "Makasih. Abang sayang Neng."

***

"Kapan Abang balik ke Makasar?" Untuk hal ini, gue memang belum tau banget soalnya selama seminggu kemarin, enggak pernah membahas perkara kapan dirinya pulang. Gue baru selesai melipat mukena selepas sholat isya berjamaah.

"Mau ngusir, ya?" Dia mengedipkan mata ke gue yang segera gue respon dengan cibiran.

"Neng nanya, beda sama ngusir."

Abang tergelak. Mengulurkan tangannya yang enggak lagi gue tolak. ia genggam sedemikian rupa yang bikin gue merasa, sepertinya kejadian kemarin benar-benar dipatri dalam benaknya untuk enggak diulanginya lagi. Semoga saja, sih, begitu. Biar gue juga enggak negatif mulu auranya. Enggak baik juga, kan, untuk kerja jantung?

"Dua minggu lagi," katanya sembari menari gue agar duduk di pangkuannya. "Sudah lama Neng enggak duduk di sini."

Gue mencibir. "Bisa banget, ya, ngerayunya." Iseng, gue tekan hidungnya biar kesulitan napas. Tapi Abang cuma melengos sekilas sembari terkekeh. Wajahnya menggeleng minta agar tangan gue melepaskan hidungnya. Tapi gue enggak menyerah, sampai ia berkata dengan suara lucu, "Abang nyerah."

Saat gue lepas, Abang membalasnya tanpa ragu sama sekali ketika bibir kami akhirnya bertemu. Abang yang mulai, ya, bukan gue. Gue menikmati saja permainan yang dia berikan, kok. Abang mengubah posisi memagut bibir gue dengan penuh perasaan. Kali ini sasarannya bibir bawah gue. sempat gue rasakan giginya menyapa tanpa ragu, bikin gue mendesis entah sakit atau karena keenakan. Tercampur jadi satu rasanya.

"Merayu istri itu enggak masalah, Neng. Yang jadi masalah merayu istri orang," katanya di permukaan bibir gue yang basah.

Enggak ragu, gue sentil jidatnya. Bikin dia mengaduh sakit. Rasain! Baru juga adem hati gue karena masalah kemarin, seenaknya aja kalau mengeluarkan candaan.

"Kalau dicium Abang rela hati, Neng."

Gue kembali mencibir. "Ayo, Bang, tidur. Besok katanya mau ke Dufan. Apa enggak jadi?"

"Eh, jadi dong. Masa kencan sama istri batal gitu aja. Enggak akan."

"Ya sudah, ayo tidur," rengek gue. Entah kenapa tiba-tiba gue kangen banget menggosok ujung hidung di dadanya. Semua hal yang sempat menghilang dari memori gue akan Abang lantaran gue singkirkan dulu, sekarang muncul tanpa tau kendali.

"Ayo."

Gue baru mau beranjak saat Abang tau-tau berdiri. Gue pikir, bokong gue yang enggak seberapa montok ini bakalan menyapa lantai kamar gue. Ternyata enggak. Abang gendong gue mirip koala. Astaga! kuat juga dia gendong gue dengan posisi seperti ini. Segera kaki gue melingkar sempurna di pinggangnya. Bikin alis Abang berkerut mendadak. Apa gue terlalu kencang pegangannya? Tapi wajar kali, gue takut jatuh juga.

Sebelum gue menyapa tepi ranjang, gue menggeleng pelan. "Masih mau digendong."

Dia tertawa pada akhirnya. Ia benahi posisi gue, sedikit terangkat dengan mata kami masih terus bertemu. Merasa aman dalam gendongannya, tangan gue mulai menyusuri wajahnya yang mulai mengisi hati gue pelan banget. Enggak buru-buru habis kemarin otak gue diperas sama pemikiran buruk tentang Abang. Jadi semingguan kemarin rasanya gue kayak dikembalikan pada titik di mana gue kenalan lagi sama sosok Hulk.

"Abang kangen sama Neng," katanya pelan. Sorot matanya berubah seiring dengan gerak gue yang bikin dia menggeram tertahan. Tapi belum mau gue sudahi. Tunggu sampai geu benar-benar puas bermain dengan wajahnya.

Saat jemari gue tepat menyentuh alisnya, ia memejam. Bulu matanya lentik juga biarpun gue pernah melihatnya dari jarak yang lebih dekat dari ini, hanya saja, sensasinya beda. Gue dengan posisi yang lebih tinggi darinya. Biasanya gue yang lebih sering mendongak kalau Abang mulai cium gue pakai lidah.

Iya, bikin gue lupa diri kalau sebenarnya tinggi gue enggak seberapa untuk terus membalas tiap pagut yang dia beri. Si@lan, kan?

"Neng turun, ya?" Abang segera membuka matanya. Irisnya yang gelap memenuhi netra gue tanpa terkecuali. Gue selalu suka cara dia mandang gue. Dan entah kenapa, mengetahui hal ini di detik ini, gue enggak mau tatapannya teralih ke mana-mana selain gue. Hanya gue.

"Berat, ya, gendong Arin?" tanya gue pelan di mana sekarang tangan gue kembali ke posisi semula; mengalungi lehernya. Dia cepat banget menggeleng bikin gue terkekeh. "Bilang aja kalau Arin berat. Enggak perlu bohong."

"Enggak berat, kok," katanya. "Cuma enggak kuat nahan diri enggak jatuhin Neng ke ranjang."

Gue tergelak. "Nanti dulu, belum puas perhatiin Abangnya."

"Neng kangen juga, kan, sama Abang?"

Gue menggeleng yang bikin kening dia berkerut. Gue usap pelan biar kerutnya sedikit menghilang biarpun kayak sia-sia karena dia seperti menunggu gue memberi jawaban.

"Sedang Arin patri di benak, pria seperti apa yang kini menjadi suami, imam, jodoh, teman, dan juga sahabat Arin seumur hidup ini. Yang janji sama Arin untuk memberi bahagia, enggak mau mengecewakan, juga ... menjaga hatinya untuk Arin."

Ada jeda sejenak sebelum gue lanjutkan perkataan yang sudah ada di ujung lidah ini .

"Biar Arin pun enggak salah memberikan hati ke Abang. Karena sakit rasanya, saat kita sudah menetapkan pilihan ternyata dikhianati. Bagaimana kalau pilihan itu, dibarengi dengan jatuhnya hati Arin ke Abang?"

Dia mengerjap pelan.

"Karena buat Arin, sekali cheating ... it's a cheating. Dan enggak termaafkan."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro