[42]
Gue enggak banyak bersuara, baik di meja makan atau saat kembali ke kamar. Membiarkan Abang bicara ini dan itu seolah tanpa beban. Gue kalau dalam keadaan marah, lebih memilih diam karena kalau gue bicara, habis semuanya. Gue masih menunggu, apa dirinya sadar mengenai salahnya atau enggak.
Tapi kayaknya, sih, enggak. Buktinya dia santai banget makan tanpa beban, minta tolong ini dan itu tanpa tau gue benar-benar menyimpan semua amunisi dan siap menembaknya kapan saja.
Begitu benar-benar di kamar, gue memilih naik ke ranjang dan tarik selimut. Membiarkan Abang duduk di dekat meja belajar gue. Kembali menghadap laptopnya. Wah ... gue perlu beri standing aplause enggak, ya?
"Arin?"
Gue dengar tapi malas tanggapi.
"Arin kenapa? Abang merasa Arin enggak bicara banyak sejak tadi."
Gue memilih berguling ke arah berlawanan darinya. Menarik tinggi selimut yang sudah membungkus gue. Enggak butuh waktu lama, ranjang gue bergerak pertanda dirinya sudah mengambil posisi tepat di samping gue. E nggak lama juga, bagi gue untuk merasakan sentuhan di bahu yang refleks gue tepis.
"Arin kenapa?"
"Ponsel Arin mana, ya, Bang? Lihat enggak?" tanya gue sembali menyibak kasar selimut. Sudah lah, gue enggak tahan. Berhubung dari sudut mata gue bisa melihat kalau dia menjawab dengan gelengan, gue berjalan cepat menuju meja rias. Tempat terakhir gue yakini, ponsel boba gue ada di sana. dan benar, ponsel gue memang di sana.
Buru-buru gue utak atik ponsel dan saat menampilkan picture entah dari siapa, gue sodorkan ke arahnya. "Jelaskan coba."
Matanya gue lihat membesar. "Dari mana ini?"
Enggak butuh banyak bicara, gue tarik lagi ponsel itu. "Oh, jadi ini memang Abang, ya? Kapan jalannya? Coba kenalkan ke Arin siapa dia?"
"Ini enggak seperti yang Neng kira."
Gue masih menatap sangsi pada Abang. Bersedekap tanpa ingin mengalihkan pandangan ke mana-mana selain padanya. Ada gugup yang enggak bisa dia tutupi dari gue. Ya Allah, begini amat nasib gue, ya?
Semua pemikiran busuk yang seliweran sejak Abang enggak muncul dengan kabar, memang menggerus waras gue. Sangat. Bagaimana enggak? Memang, gue selalu menolak pemikiran mengenai dirinya yang cheating di belakang gue. Tapi semakin gue pikirkan, semakin kuat pemikiran jelek itu datang. Yah ... gue enggak bisa munafik kalau foto itu benar-benar bikin gue enggak normal. Ditambah dirinya enggak ada kabar sama sekali.
Wajar dong, kalau gue merasa kayak enggak dihargai lagi? Sementara saat dia mendekati gue, gue merasa diberi banyak banget perhatian. Kurang ajar, kan? Sampai gigi gue beradu dengan agak keras di dalam saking menahan emosi yang siap banget meluncur tanpa aba-aba.
"Jelaskan aja. Jangan sampai Arin yang cari tau. Lebih parah nantinya."
Abang meraup wajahnya penuh frustrasi. "Duduk dulu? Tapi Arin jangan seperti ini."
"Seperti ini gimana?" tanya gue tanpa sedikit pun menurunkan sikap.
"Ya ... begini. Enggak banyak bicara dan cenderung tanggapi Abang dengan cuek."
Gue merotasi mata disertai senyum sinis. Gue sendiri enggak tau kenapa bisa seperti ini. Kayak segala hal yang gue tahan selama beberapa hari ini, bergumul jadi satu dan siap meluncur kapan saja tanpa jeda. Dan satu-satunya peredam yang gue punya, hanya diam.
"Dia ... Dini."
Great. Luar biasa ternyata. Jadi, perempuan yang ada di sampingnya itu memang Dini tepat seperti dugaan gue.
"Abang pernah cerita, kan, kalau Dini ini supplier barang di pets shop Abang?"
Gue masih setia dengan bungkam.
"Dan, yah ... seminggu belakangan ini memang ada masalah di toko. Beberapa barang butuh penanganan lebih dan berkat Dini juga, Abang bisa mendapatkan yang dibutuhkan."
Itu, kan, bagian dari pekerjaan. Kalau memang sibuk, gue enggak banyak nuntut, kok. Permasalahannya bukan itu tapi Dini. Masa iya menyelesaikan urusan kantor juga harus dengan Dini? Penting kah posisi Dini dalam Pets Shop? Hanya supplier, kan? Gue masih belum mau bersuara, biar saja dirinya menjelaskan dulu sembari gue telaah. Mata gue juga enggak mau ke mana-mana selain menatap Abang yang tampak gelisah di depan gue ini.
Gelisah kenapa? Ketauan selingkuh? Ya Allah. Status gue baru berganti beberapa minggu, sudah dihantam sama hal seperti ini aja. Mendingan Mae, ya? Gue rasanya mau tertawa tapi sebisa mungkin gue tahan. Iya, menertawakan nasib gue yang tragis banget ini.
"Foto itu saat kami makan, Rin. Enggak cuma berdua sama Dini, kok. Ada Ikbal, Ramma, juga Deni. Abang berani sumpah untuk itu."
"Oh."
"Kok, gitu doang tanggapannya?" Abang terlihat enggak percaya atas respon yang gue beri. Jangankan dia, gue sendiri aja enggak tau kenapa bisa meluncur begitu saja. Gue masih merasa janggal aja. ya masa iya begitu aja penjelasannya.
"Ada lagi yang ditutupi, Bang?"
Matanya mengejar gue untuk kembali bersitatap sementara gue memilih bangkit dari tepian ranjang. "Logika Arin yang salah atau memang ini semacam tipuan, sih? Arin enggak paham. Soalnya Arin itu selalu berpegangan pada satu prinsip; bohong memberatkan, jujur meringankan."
"Enggak ada lagi, Rin. Memang seperti itu."
Ponsel gue kembali gue sodorkan padanya yang membuat mata itu bolak balik menatap antara ponsel dan gue yang berdiri enggak jauh darinya.
"Simple, Bang. Kenapa bisa nomor asing masuk ke ponsel Arin dan mengirim gambar ini? Dini sengaja? Atau Abang sengaja membiarkan Dini memegang ponsel Abang?"
***
Gue pikir, kepulangan Abang ke sini bisa bikin waras gue kembali. Ternyata enggak. Sama sekali enggak. Semua hal yang ia lontarkan, termasuk penekanan kalau ponselnya disabotase lah, terlalu sibuk mengurus toko lah, dan sialnya berujung kalau gue dibilang skeptis sama kepercayaan yang diberi. Malah mengesankan kalau gue punya andil salah di sini. Katanya, "Coba kalau Arin ikut Abang. Arin enggak akan curiga sampai seperti itu. Bisa melihat sendiri kesibukan Abang di sana bagaimana."
Enggak tau kenapa, gue malas mendebat ketika dirinya bilang hal seperti itu. Dari mana asalnya coba? Gue ini sudah belajar percaya karena memang itu yang bisa gue lakukan untuk kami. Jelas mengenai LDR ini sudah panjang lebar dibicarakan, kenapa malah gue yang disalahkan.
"Nanti mau dijemput jam berapa?" tanyanya sembari mengusap puncak kepala gue. Hanya lirikan sekilas yang gue beri, melepas seat belt dengan segera, dan memastikan kalau enggak ada yang tertinggal dalam mobilnya.
"Nanti dikabarin."
"Neng jangan marah lagi. Kan, Abang sudah minta maaf." Satu tangannya mencekal lengan gue agak kencang. Gue hanya melirik sesaat dan enggak pengin menepisnya. Malah kembali bersandar di sandaran jok.
"Enggak tau." Gue memilih mengedikkan bahu. Sejak kata-kata itu keluar dari bibir Abang, gue benar-benar ada di titik malas bicara. Serius. Gue sendiri enggak tau kenapa. Kayak yang kecewa aja gitu sama pemikirannya.
Setau gue, kalau memang ada yang membebani, apa pun itu, selayaknya sepasang suami istri aja. komunikasi. Seruwet apa pun, pasti ada jalannya. Enggak yang bikin gue malah berpikiran macam-macam. Sewaktu gue utarakan hal ini, Abang malah bilang, "Biar ini jadi urusan Abang aja. Neng di sini baik-baik aja, ya."
Rasanya pengin banget gue teriak, "Bohong!" Tapi semuanya gue tahan semampu gue. Lebih memilih memberinya punggung ketimbang masih harus melihatnya tidur. Dia sendiri yang bilang, komunikasi itu penting. Ternyata? Ini otak gue yang salah proses atau dia yang tiba-tiba downgrade, gue enggak paham.
"Kok, enggak tau? Apalagi yang bisa bikin Neng mau bicara banyak sama Abang? Semua penjelasan sudah Abang beri. Masalah kemarin sampai lupa telepon Arin, Abang benar-benar salah." Kali ini, tangan gue yang ia genggam. Sembari diusap pelan mungkin biar gue sedikit menoleh ke arahnya.
"Arin main dulu ke rumah Mae. Nanti ngobrol lagi." Gue dorong pelan genggaman tangannya. membuat Abang menghela napas pelan.
"Oke. Sampaikan salam untuk Pin. Abang sama Ayah lihat ruko dulu."
Jawaban gue hanya mengangguk dan segera meraih handle pintu, tapi masih terkunci. "Bang?"
"Arin lupa sesuatu?"
Gue memejam sejenak. Tangan gue terulur kemudian dan menyambut tangannya. mengecup sekilsa punggung tangan pria yang menjadi suami gue kini. Lalu gegas keluar dari mobil. Enggak tau kenapa, ada sesak yang enggak bisa gue keluarkan.
Hanya satu yang gue butuh; nangis.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro