[40]
(Hekky)
Kalau mau bertemu Arin sekarang, bisa enggak?
Gue termangu melihat pesan yang baru masuk, enggak baru banget, sih. Setengah jam yang lalu. Bikin laporan akhir yang mestinya selesai gue kerjakan, jadi tertunda. Beruntung Bu Ira enggak marah lantaran seharian ini gue berkutat banyak sama lembaran bon juga pengeluaran di laporan yang lainnya.
Bukan enggak mau bertemu Hekky, tapi buat apa lagi, kan?
Lebih baik gue abaikan saja. Bertemu Hekky, simple. Gue tinggal balas pesan itu dengan kata 'oke, di mana?' gue yakin seribu persen pertemuan itu bakalan terjadi. Tapi gue ingat. Komitmen gue sama Abang itu bukan perkara mainan. Kalau gue nekad, bukan Abang aja yang bakalan kecewa. Ibu dan Ayah juga.
Jadi saat gue ada di mesin absen, gue membulatkan tekad untuk enggak menemuinya. Apa pun alasannya. Hubungan kami selesai. Dasar saja otak gue lama mikir sekadar memutuskan hal ini saja sampai mengganggu pekerjaan.
Gue enggak perhitungkan kalau saat akan mengenakan motor dari parkiran, Hekky kembali menghampiri. Mau menolak ajakannya sekadar minum kopi rasanya agak berat juga apalagi melihat tampilan Hekky yang enggak ada segarnya sama sekali.
Kantung matanya menghitam, belum lagi tambah kurus, wajahnya kayak enggak punya rona. Oh satu lagi, tatapan matanya itu seperti kosong. Gue enggak tau kenapa. Apa karena gue tinggal nikah? Masa, sih?
"Kabar kamu ... kayaknya baik saja, ya, Rin," katanya pelan. Gue perhatikan pria berkacamata di depan gue ini, hanya mengaduk kopinya saja tanpa berniat meminum. Sebelum gue menyetujui bicara dengannya langsung, gue cuma minta waktu tiga puluh menit. Bukan apa. gue malas kalau harus berdebat dengan kepulangan yang terlambat, baik sama Ibu atau Abang.
"Iya. Arin baik saja. dan Arin harap, Mas Hekky juga seperti itu."
Dia malah terkekeh tapi suaranya sarat banget sama sendu. "Gimana bisa dibilang baik kalau orang yang kita cintai, sudah bersama orang lain?" Tepat setelah mengatakan hal itu, Hekky menatap gue dengan tajamnya. Senyum tadi enggak ada. Wajahnya berubah kaku. Seolah ada bara amarah di sana yang bikin gue merinding mendadak.
Tapi enggak. Gue enggak takut. Kenapa mesti takut sama Hekky? Enggak butuh alasan karena digertak seperti itu lantas bikin gue merasa paling bersalah di sini. Enggak.
Gue memilih menikmati jus jeruk pesanan gue. "Kalau enggak ada hal serius yang mau dibicarakan, Arin mau pulang."
"Mana suami kamu? Enggak jemput? Membiarkan istrinya pulang sendiri? Begitu?"
Mata gue mengerjap heboh. Ini ... Hekky kenapa, ya? "Mas ada masalah apa memangnya? Dijemput atau enggak, itu sudah urusan Arin."
Gue dengar dia berdecih. "Masih urusan Mas!"
"Oh? Sejak kapan? Aku enggak pernah meminta Mas selama kita berhubungan dulu untuk menjemput. Itu Mas yang mau. Arin sangat berterima kasih atas perhatian itu. Tapi untuk sekarang? Mas sudah enggak perlu mengkhwatirkan Arin." Gue menghela napas panjang. "Ketimbang memikirkan Arin, lebih baik waktunya dipergunakan untuk mikirin diri Mas sendiri."
Hekky mengusap wajahnya dengan kasar. Gue merasa ada banyak frustrasi di sana. "Dari mana Mas bisa memikirkan diri sendiri kalau yang ada di kepala Mas, cuma kamu?"
Gue memejam sesaat, menarik napas lambat, dan berpikir. Gue tau, selama menjalani hubungan bersama Hekky, rasa sayang dan cintanya untuk gue enggak ada main-main sama sekali. Gue sendiri masih kesulitan untuk melupakan, bahkan tiap detik yang pernah gue lalui bersama Hekky, masih sering terbayang. Kalau enggak teringat wajah Ibu dan Ayah yang simbah air mata karena perlakukan Ruly, mungkin gue benar-benar terabas restu.
Tapi ini berkaitan dengan sakit hati masa lalu. Yang enggak mungkin gampang dilupakan. Dimaafkan gue rasa sudah, karena menyimpan marah kayaknya bikin hati kita rusak. Tapi dilupakan? Itu enggak gampang.
"Mas," kata gue pelan. berusaha banget untuk mendapatkan fokusnya yang berantakan karena kata-kata tadi. Napasnya menderu dan matanya masih terlihat gejolak marahnya. "Dengar Arin, bisa?"
Dia enggak merespon tapi gue yakin, dia memberi gue waktu untuk bicara.
"Arin sayang sama Mas. Enggak pengin ngelihat Mas seperti ini. arin sama Abang sudah nikah. Kita punya batas yang enggak bisa dimasuki sembarangan orang lagi. Arin enggak bisa meneruskan semua hubungan sama Mas Hekky, ada alasannya. Enggak langsung seenaknya aja. Mas sendiri pada akhirnya tau, kan?"
Gue lihat, Hekky mulai mengangkat pandangannya untuk bersemuka dengan gue. Enggak gue larikan ke mana-mana mata ini, memilih membalas tatapannya yang bikin hati gue trenyuh mendadak. Sorot matanya yang bikin gue merasa disayang pakai banget, mendadak hilang. Berganti dengan sendu yang kentara banget.
"Arin berdoa dengan tulus, semoga Mas menemui orang yang te—"
"Memang Arin bahagia dengan pernikahan ini? Apa malah sudah melupakan Mas begitu aja? Memang mau Mas kita begini?"
Gue tersenyum kecil. "Iya. Bukan mau kita. Arin paham. Tapi Arin enggak mau melanggar apa yang Ibu larang, Mas. Enggak tau kalau Pak Ruly seperti apa."
"Jangan bawa-bawa Ruly di sini. Orang itu enggak akan paham bagaimana perasaan keluarganya sendiri selain sengsara," desis Hekky demikian tajam. Membuat gue bergidik ngeri mendadak yang juga menimbulkan heran yang amat.
"Dia enggak pernah tau bagaimana aku dan Mami di rumah, Rin. Enggak pernah tau." Tangannya terkepal kuat hingga gue sendiri makin waspada dengan sikapnya. "Dia hidup dengan selingkuhannya. Mengabaikan kami dan sekaran? Ya Allah ... karena perbuatannya, bikin aku enggak bisa meraih kamu! Baj!ngan, kan? Dia ayah Mas? Benar. Tapi hanya sebatas status! Kalau Arin mau tau."
Gue belum pernah mendengar Hekky semarah ini. Memaki saja enggak pernah. Serius. Kalau di jalan ada yang menyerobot atau main salip enggak pakai mikir, Hekky hanya menggeleng. Mana pernah sumpah serapahnya ia keluarkan padahal gue di belakangnya, selaku orang yang dibonceng sudah sangat gemas.
Begitu dia memaki di depan gue, jelas, respon gue melotot enggak percaya.
"Ibu hanya bilang, kita enggak direstu. Mas enggak boleh datang ke rumah dan berhubungan lagi dengan Arin, tanpa dikasih tau salahnya di mana. Mas berusaha mengambil hati kalau nyatanya enggak digubris, untuk apa? mas baru tau kalau semua ini karena Papa. Itu pun dari Arin."
Rasanya gue menelan ludah dengan banyak potongan duri.
"Tau rasanya?" Hekky kembali memberi tatapan menghunus ke gue. Bikin gue enggak berani berkutik. "Sakit, Rin. Sakit banget. Apalagi kamu langsung memutuskan menerima orang baru dan sepertinya kamu bahagia tanpa berpikir, aku gimana."
"Terus Arin harus apa sekarang? Sudah enggak ada yang bisa dilakukan, kan? Toh, Arin memang enggak bisa kalau tanpa restu Ibu dan Ayah, Mas. Secinta apa pun aku sama Mas. Buatku, orang tua itu penting."
Dia tertawa tapi sinis sekali.
Gue beranikan diri untuk sekadar menyentuh lengannya. Gue tau dia agak terkejut dengan gerakan gue tapi enggak ditepis. Gue kembali mengusap pelan dan berkata, "Mungkin ... takdir cinta antara Mas sama aku cukup sampai kita putus lima bulan lalu. Aku belum tau kata bahagia dalam pernikahanku yang baru seumur jagung ini. Aku berharap dengan amat, Mas Hekky bisa menemui kebahagiaan tersendiri juga."
"Kalau nyatanya enggak bisa?" tanyanya dengan intonasi yang demikian rendah. Gue rasa, amarahnya sudah lenyap entah ke mana.
"Bisa. Mas belum coba."
Gue biarkan dia menggenggam tangan gue. Seolah dalam sentuhnya kali ini, semua perasaannya tercurah. Dipikir dia sendiri yang merasakan sedih, ya? gue juga. tapi gue sadar diri, gue sudah enggak mungkin bertindak aneh-aneh. Dan lagi, gue mulai mempercayai kalau suami gue bisa membuat hari-hari gue lebih berwarna. Bukan berarti saat sama Hekky gue enggak bahagia. Itu beda definisinya.
"Apa ... kita masih bisa berteman, Rin? Seperti saat Mas belum punya perasaan apa-apa sama Arin?"
Hati gue menghitung banyak sekali risiko di sini. Agak lama gue enggak menjawab karena apa yang akan gue lontarkan, gue enggak mau menjadi bumerang untuk masa depan gue nantinya. Gue enggak tau, kan, di masa depan seperti apa? Kalau teman yang dia maksud selayaknya gue dan Sapto, gue masih oke. Tapi kalau teman di mana dia masih melihat gue dengan cara yang sama seperti orang yang mencintai gadis impiannya? Apa enggak merusak masa depan dia sendiri?
Nanti jadi kayak Adam yang enggak bisa move on. Malah menyakiti orang lain. Belum lagi ... ah, udah lah. bahaya kalau kelamaan gue pikirkan.
"Diamnya Arin artinya enggak setuju."
Gue langsung menggeleng tegas. "Bukan gitu, Mas." Saat akan menarik tangan gue yang masih digenggam, Hekky tahan dengan amat. "Bisa lepaskan dulu?"
"Sebentar aja. hanya hari ini Mas bisa menggenggam Arin. sebentar saja," katanya penuh pelas. Gue enggak tega jadinya.
"Arin bukan enggak mau berteman dengan Mas Hekky. Mas orang baik sebenarnya. Beruntung banget seseorang yang mendapat cinta dari Mas Hekky secara utuh. Tapi kalau kita berteman dengan Mas yang enggak bisa melupakan aku, aku yang enggak bisa."
****
Lepas gue makan malam sama Ibu, sholat juga, dan pastinya mandi, gue memilih menunggu telepon dari Abang. Jam segini kami rutin bersambung kata lewat ponsel. Biasanya sampai salah satu dari kami ini, diserang kantuk, barulah sambungan itu terputus.
Tetap ada satu tanya yang gue simpan untuk dikeluarkan malam ini. Tentang perkara salah kirim pesan, apalagi. Soalnya nama itu pernah mengusik gue biarpun Abang bilang enggak ada hubungan apa-apa, tetap saja boleh curiga, kan, ya?
Eh ... bertanya. Kalau curiga nanti terkesan gue cemburu banget. Enggak cemburu, hanya penasaran aja, sih.
Serial drama gue sudah berjalan setengah jam sejak gue putuskan menontonnya. Tapi panggilan dari Abang enggak ada juga. Gue cek sekali lagi jadwal yang selalu diberi biar gue tau kegiatannya apa saja di sana, enggak ada yang berubah. Semuanya sama. tapi kenapa sampai sekarang enggak ada telepon, ya?
Gue lihat status terakhir, masih online. Artinya dia memang enggak jauh dari ponselnya. Tapi kenapa enggak telepon gue, ya? penasaran, gue memilih menggeser telepon kontaknya pada icon hijau.
Begitu terhubung, gue belum berkata apa-apa tapi masih bisa mendengar jelas suara perempuan yang gue enggak tau dia siapa berkata, "Makasih, ya, Mas. Sudah antar sampai rumah. Hati-hati di jalan."
Oh, oke. Suami gue ternyata lagi sibuk mengantar perempuan. Fine. Ketimbang gue marah, lebih baik gue matikan telepon. Bukan hanya telepon, tapi TV juga. menarik selimut hingga batas dada, dan berdoa semoga gue lekas tidur.
Beruntungnya gue, mungkin karena lelah seharian digempur sama kerjaan yang banyak ditambah bertemu Hekky yang bikin perasaan gue enggak nyaman, kantuk gue datangnya cepat banget. Biasanya kalau gue menahan banyak pertanyaan di kepala dan ditambah bumbu curiga, gue itu susah banget memejam. Malah yang ada maunya ngamuk.
Jadi begitu gue bangun tidur pagi ini, gue lirik ponsel gue sudah puluhan panggilan video tak terjawab juga pesan yang berurut. Gue belum pengin baca pesan itu. memilih ke kamar mandi dan sholat subuh. Kuping gue masih bisa mendengar adzan yang sayup-sayup terdengar.
Selesai melakukan semua kegiatan tadi, gue membaca pesannya satu per satu. Semuanya mengenai permintaan maaf. Gue hanya balas dengan, "Oke. Enggak masalah kalau sibuk. Kemarin juga Arin capek banget kerjanya. Enjoy this day, Bang."
Gue enggak mungkin memberondong dia dengan banyak eprtanyaan subuh gini. Toh, gue bakalan kerja sebentar lagi. Jangan sampai konsentrasi gue atau dia terganggu lantaran hal ini. Masih ada waktu untuk gue bertanya, kan?
Ini yang gue mau. LDR. Artinya, gue letakkan percaya yang gue punya untuknya. Semoga.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro