Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[4]

"Kamu enggak sarapan?" tanya Ayah begitu melihat gue bersiap mengambil jaket. Gue lirik jam di tangan, sudah agak mepet kalau gue harus sarapan bisa telat. Gue malas dengar Satria marah-marah pagi ini.

Kepala gue pening sejak bangun tadi pagi kurang tidur, sih. Gimana bisa tidur kalau gue nangis semalaman. Ini saja gue sembunyikan pakai kacamata biar Ayah enggak banyak tanya. Gue lagi perang dingin sama Ibu. Tadi di dapur, saat gue ambil jatah susu yang sudah beliau seduh, gue enggak bicara apa-apa.

Gue tau gue salah, tapi Ibu juga enggak ngertiin banget hati gue yang masih banyak berharap sama hubungan dengan Hekky.

"Sudah, Yah. Minum susu tadi." Setelah memastikan jaket aman gue kenakan, gue enggak pernah lupa rutinitas gue. Kasih makan ikan orange belang-belang kesayangan gue. Ada beberapa, pun kawan-kawannya. Memelihara ikan badut ini, entah sejak kapan gue gemari. Yang jelas, gue merasa mereka sudah jadi bagian dari diri gue.

Pernah suatu kali ada yang mati. Nangis gue sepanjang hari. Sedih, lah. Gue piara baik-baik, tau-tau mati karena salah makanannya. Aduh... sesak rasanya. Setelah memastikan semuanya beres, gue pamit ke Ayah dan Ibu biarpun masih singkat-singkat Ibu jawab salam gue. Biasanya ada petuah panjang lebar sebagai bekal gue sebelum berangkat.

Kali ini enggak ada.

"Sudah, Bu. Kayaknya Arin semalaman nangis. Pasti juga ditelepon sama Rasyid."

Gue masih bisa dengar suara Ayah membujuk.

"Ayah ini. Selalu saja belain Arin. Sampai mati Ibu enggak akan beri restu untuk Arin kalau masih ngotot berhubungan sama Hekky. Sakit hati Ibu masih terasa sampai sekarang."

Tunggu, gue merasa ada yang enggak gue pahami sekarang. Ibu sakit hati? Sama Hekky? Kenapa?

Baru mau berbalik biar memastikan apa ucapan Ibu itu ngawur atau gue yang terlalu pening sampai-sampai berkhayal Ibu bicara aneh seperti tadi, ponsel gue berdering. Kali ini dari Mae.

"Ya?"

Gue enggak tau bagaimana cara kerja otak gue pagi ini. Yang jelas, gue harus segera sampai di rumahnya. Pak Satria lagi dinas di Bandung sejak sore berangkat karena ada meeting pagi. Ini pun gue diberitahu dengan buru-buru pun suara ringisan Mae di sana bikin jantung gue benar-benar enggak tenang berdegup.

Dan sepertinya Allah paling tau cara melindungi umatNya. Hamdalah banget gue sampai di rumah Mae tanpa kendala apa-apa. Pikiran gue cuma gimana nolong Mae. Katanya dia keram di perutnya. Sepanjang jalan gue berdoa, agar Mae dan kandungannya enggak apa-apa.

Pas gue sampai, Nendra wajahnya panik dan Gio nangis enggak berhenti.

"Yang mana yang sakit? Kita ke rumah sakit, ya? Lo udah ngabarin siapa aja? Enyak? Babeh?"

"Enyak lagi ada acara di rumah Ncing Eli di Kebon Nanas, nginap," kata Mae sembari meringis. "Ibu pulang dua hari lalu."

Ya Allah, di saat begini si Mae sendirian! Mana si Bos pakai meeting segala! Heran, deh!

"Pak Satria sudah lo kasih tau?"

Dia menggeleng.

Sudah lah bicara sama Mae sekarang malah bikin pusing. "Nendra, Aunty Rin minta tolong ambilin jaket untuk Ibu Mae, ya. Jaket untuk Gio juga. Aunty pesan taksi, kita ke rumah sakit sekarang."

Nendra mengangguk patuh banget dan begitu tadi melihat gue datang, wajahnya kayak lega gitu. Jelas lah dia ketakutan ibunya kenapa-napa. Dia sendirian di rumah ini sama adiknya yang sudah nangis enggak bisa diam gini.

"Gio..." panggil gue pelan pada bocah enam tahun yang matanya sudah memerah. "Gio, dengar Aunty Rin. Ibu Mae sakit, kita ke rumah sakit, ya. Gio anak pintar, kan?"

Gio tambah hebat nangisnya. Salah, ya, gue?

"Gio enggak mau disuntik."

Gue tepuk jidat.

Dengan drama yang enggak lama, gue berhasil bawa Mae ke rumah sakit. Beruntung banget supir taksi onlinenya sigap, bantu papah Mae dengan perlahan. Dan gue cek benar-benar, apa tadi ada pendarahan atau enggak ke Mae, dia menggeleng yakin. Hanya keram yang sungguh membuatnya enggak bisa bergerak banyak dan ketakutan juga.

Takut baby di dalamnya kenapa-napa. Gue kalau jadi Mae mungkin paniknya lebih dari ini kali, ya.

Di mobil gue hubungi segera orang kantor, memberi kabar kenapa gue dan Mae enggak ke kantor. Dan gue sudah kirim pesan, karena gue enggak tau kapan jadwla meeting Pak Satria seenggaknya dia tau, gue sama istrinya di rumah sakit.

Mae segera ditangani dokter. Gue dampingi sampai benar-benar dia mendapat perawatan terbaik. Di samping gue, Nendra dan Gio manis banget. Gio berhenti nangis, Nendra tenang enggak panik lagi. Ya Allah, mereka kayak ngerti banget ada sesuatu terjadi dan enggak bikin gue tambah panik. Masing-masing tangan gue genggam mereka. Biar mereka juga enggak ketakutan kayak tadi.

Biarpun butuh usaha banget, sih, bikin Gio diam. Secara ternyata anak itu cengeng banget.

"Kalian sudah makan belum?" tanya gue sembari mengusap kepala Gio. Biaroun bocah ganteng ini belum mandi, wangi juga rambutnya. matanya sayu gitu, kayak nahan ngantuk. Kasihan.

"Belum, Aunty."

Gue senyum. tegar banget Nendra ternyata. Gue tau banget dia ketakutan tapi enggak ditunjukkan. Begitu gue genggam tangannya, dia balas erat banget. Kayak ngasih tau gue kalau dia sebenarnya takut, apalagi lihat sendiri ibunya meringis-meringis gitu.

"Apa orang hamil begitu, Aunty?"

"Hah?"

"Itu... kayak Ibu." Nendra tertunduk. Padahal tadi masi sempat melihat ke arah gue. "Kesakitan gitu."

Gue belum pernah hamil mana bisa jawab, ya Allah.

"Aunty rasa, sih... enggak. Nanti coba kita tanya dokter, ya. Aunty enggak paham." Gue jawab yang paling aman saja lah. Gue pernah diberitahu Mae kalau anaknya Satria ini gencar banget kalau bertanya. Sebisa mungkin punya jawaban yang logis kalau enggak mau tersesat dalam pertanyaannya yang enggak punya ujung.

"Nendra nanti bilang sama Papa, jangan buat Ibu hamil lagi."

Gue diam mencoba meresapi ucapan bocah tanggung ini.

"Nendra enggak mau Ibu ninggalin kita berdua lagi. Nendra masih ingat dulu saat Mama ninggalin kita karena melahirkan Gio."

Bibir gue kaku mendadak.

"Ibu Mae pasti enggak apa-apa." Sebenarnya gue ngeri banget ngebayangin hal ini. Belum pernah gue setakut ini sama arti kehilangan. Biarpun kehilangan Hekky, tapi ini beda case. Ya Allah, lindungi Mae. "Kita berdoa sama-sama, ya, Nendra."

Bocah itu mengangguk dan saat menatap gue, matanya sudah berkaca-kaca lagi. "Nendra sayang Ibu Mae, Aunty Rin."

Duh, si Mae! Jackpot banget. Dapat duda keren biarpun resehnya selangit, eh... dapat bocah dua mana ganteng, nurut, pinter, sayang pula sama dia. Gue usap saja kepala Nedra dan mendekap Gio lebih erat.

****

"Lo yakin udah enggak apa-apa?" tanya gue memastikan. Memang, sih, sekarang Mae sudah jauh lebih baik dari tadi. Kata dokter, Mae salah makan. Gue tanya semalam memangnya makan apa, dia bilang makan sea food. Mungkin alergi dadakan atau apa, entah lah, yang jelas sepertinya Mae benar-benar bakalan memperhatikan asupannya kali ini.

"Iya. Gue sudah jauh lebih baik."

"Baby lo?"

"Alhamdulillah enggak apa-apa. Gue tadi takut banget, Rin."

Gue ngangguk, paham banget ketakutan dia untuk hal ini. Gue lihat, Nendra dan Gio sudah duduk nyaman di sofa. Si Gio tidur, mungkin ngantuk juga. Sementara Nendra mainan gadgetnya. Yang penting mereka sudah kenyang dan gue sudah belikan banyak camilan.

"Thanks, ya, Rin. Gue enggak tau kalau enggak ada lo mesti gimana."

"Lo bisa lebay juga, ya, Mae." Gue tertawa. Tadi semuanya sudah gue kabari terutama Enyak dan Babeh. Biar mereka segera ke sini. dan Bos juga sudah membalas pesan gue, katanya selesai meeting langsung ke rumah sakit. Gue diharuskan menjaga Mae sampai orang tuanya datang atau ibunya. Gue mau mencibir tapi ingat nominal bonus.

"Iya, Pak. nanti Arin tunggu Mae sampai Ibu atau Enyak datang." Gue jawab begitu saja biar aman.

"Rin," panggil Mae yang membuat gue mengerjap. "Lo bengong?"

"Ah? Masa, sih?"

Mae terkekeh. "Iya, lo bengong. Kenapa?"

Yang bisa gue beri cuma gelengan. Bingung mau cerita juga, mae lagi kayak gini. Nanti saja kalau dia sudah sehat. Akan banyak waktu untuk gue sekadar curhat. Yang paling penting sekarang Mae bisa isitrahat total dan enggak salah makan lagi.

"Kenapa, sih?" Tangan Mae yang bebas selang infus menggenggam tangan gue yang ada di sampingnya.

"Gue mau curhat aslinya, tapi lo lagi sakit. Cepat sembuh dong. Gue galau banget," keluh gue pada akhirnya. Malah ditanggapi dengan tertawa kecil. Mukanya bahagia banget lihat gue sengsara sepertinya. Bikin gue mencebikkan bibir enggak suka.

"Intinya, deh." Mae dan bujuk rayunya bikin gue menghela napas pelan.

"Semalam gue bertemu Hekky dan yah... bikin Ibu marah ke gue. Lagi-lagi."

Genggaman tangan Mae dipererat. "Sabar, ya, Rin. Gue enggak tau kenapa Ibu bisa marah begitu ke lo sama Mas Hekky. Pasti punya alasan tersendiri."

Ucapan Mae sontak bikin gue ingat kata-kata Ibu yang enggak mungkin gue salah dengar. Apa sebaiknya gue tanya alasan sebenarnya dari penolakan Ibu untuk Hekky, ya? Tapi gue pernah bertanya sampai lelah sendiri, Ibu tetap enggak kasih jawaban apa-apa.

"Lo sendiri pernah bilang, Rin, orang tua itu paling tau yang terbaik untuk anaknya. Gue rasa itu pun berlaku untuk lo."

Gue mendengkus enggak suka kalau ternyata kata-kata itu jadi bumerang tersendiri buat gue. ash, sial. Sok bijak banget gue dulu ke Mae. "Kalau saja lo tau betapa dia nyebelin banget orangnya.

Kening Mae berkerut. Bibir pucatnya agak melongo gitu mendengar ucapan gue barusan. "Lebih parah dari Satria?"

Gue mengangguk.

"Wah... sudah lah, hidup lo enggak mungkin jauh dari si Hulk."

Sialan!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro