Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[39]

Besok gue sudah mulai beraktifitas kerja. Semua harus gue persiapkan biar enggak ada yang tertinggal. Gue menolak keras kalau Abang harus mengisi terus saldo ojek online gue. Bukan apa, gue sudah benar-benar sehat dan berjanji dengan amat kalau hati-hati berkendara. Biarpun dengan muka kesal dia memperbolehkan gue berkendara lagi, gue bisa memastikan enggak ada acara nyemplung ke got untuk kedua kalinya.

G!la aja kalau sampai terjadi. Itu, kan, ada sebabnya yang enggak mau gue ceritakan. Lagian, gue merasa sudah tutup buku mengenai masa lalu.

Perkara asinan, gue tetap bilang sama Ibu. Malah kata Ibu, mau dimasakin apalagi. Dan jadinya mereka ngobrol entah apa di telepon. Gue biarkan saja. lebih memilih menyingkir dan menikmati es teh manis yang Ibu buat sebagai peneman gue bercumbu dengan Nemo. Lama gue enggak tengok, kangen juga.

Ikan kecil-kecil itu bergrak bebas di sana. Enggak terusik sama sekali sama kehadiran gue. Enggak ada insiden mati lagi ikan peliharaan gue. Makin ke sini gue makin paham gimana cara merawat mereka semua.

"Rin," panggil Ibu dari dalam.

"Arin di dekat akuarium, Bu."

Ibu berjalan ke arah gue dengan ponsel tanda sudah selesai pembicaraannya dengan Mae. lalu menarik salah satu kursi yang ada di dekat gue. duduk manis tapi gue yakin, akan ada banyak pertanyaan di sana.

"Si Mae kalau ngidam aneh-aneh aja," kata Ibu. Gue jawab dengan anggukan saja. Masih menunggu Ibu mau bicara apa. Kalau seputar Mae saja, gue aman berarti.

"Kalau kamu nanti hamil, jangan segan buat minta tolong Ibu bikinin kamu aneh-aneh, ya, Rin."

"Ih, enak aja si Mae! Enggak ada begitu. Nanti kalau Arin hamil, Arin mau ngereporin Enyak. Arin ma—"

Belum juga selesai ucapan gue, sudah mendapat hadian jitakan di kepala. Juga delik tajam dari Ibu yang sungguh menyeramkan banget. "Kenapa, sih, Bu?" keluh gue sembari mengusap bekas jitakannya.

"Enggak boleh gitu. Mana ada ngidam direncanakan. Ngidam itu spontanitas. Mae juga Ibu rasa enggak mau merepotkan orang begini. Tapi perasaan sedih selama ngidam enggak dituruti itu enggak baik, Rin."

Gue diam saja lah. Nanti kalau salah bicara, gue kena jitak lagi.

"Ngomongin ngidam, Ibu penasaran juga. Kamu sudah mulai menerima Rasyid, kan, Rin?"

Gue berdecak kecil. "Kalau enggak terima, Arin kabur pas mau dinikahin."

Ibu ketawa sambil mengusap kepala gue. mirip seperti anak kecil yang akan diberi banyak nasihat juga sorot mata Ibu. "Ibu selalu berdoa, pernikahan kamu menemui bahagia sepanjang jalannya. Kalau pun ada batu sebagai penghalang, kalau sudah saling menerima, saling mencintai, pasti batu itu enggak akan bikin kalian jatuh. Makanya hal itu yang paling pertama Ibu tanyakan."

Gue mengulum senyum kecil. "Iya, Bu. InsyaAllah Arin sudah lega menerima. Toh Abang baik, kok. Enggak jahat dan enggak berlaku kasar ke Arin."

Senyum Ibu, yang teduh, yang penuh perhatian, kasih sayangnya enggak memiliki batas, juga sabarnya minta ampun, dan banyak banget cinta yang Ibu beri buat hidup gue, muncul. Dan entah kenapa, gue memilih memeluknya. Menghidu dalam-dalam aroma pelembut pakaian yang selalu Ibu gunakan.

Usapan di rambut gue semakin sering gue terima. Bikin gue terbuai sama peluk hangat Ibu yang enggak mungkin tergantikan. Benar adanya yang dibilang, restu orang tua itu utama. Gue sendiri enggak ada niat untuk menerjang, sih. Karena gue enggak mau bikin senyum dan tawa Ibu hilang karena gue yang banyak membantah dirinya. Apa, sih, gue? Masih anak yang akan terus membuat repot orang tua gue, terutama Ibu.

"Pengantin baru tapi malah jauh-jauhan, Rin, Rin. Rugi kamu, lho."

Sontak gue lepas pelukannya. Kening gue berkerut kebingungan. "Rugi kenapa?"

"Kalau kangen peluknya guling."

"Idih! Si Ibu gaulnya sama siapa, sih? Makin ngaco, deh!" Gue cemberut mendadak. Enggak terima kalau tiba-tiba menjadi bahan ledekannya. Tapi ibu gue memang dikategorikan agak ajaib, sih. Beliau bukannya merasa tersinggung atau apa, malah mencebik bibirnya.

Katanya, "Baru sehari. Jangan nanti Ibu pergoki kamu lagi nangis di kamar karena nahan kangen, ya. Nanti Ibu laporan sama Rasyid kalau istrinya enggak kuat menahan rinduuu..."

Ya Allah, Ibu!!!

****

Keseharian gue kembali. Cincin yang disemat Abang setelah kami sah menjadi suami istri yang kini menjadi peneman gue juga sebagai pengingat, kalau gue ini memang bukan lagi perempuan l@jang. Yang bebas ke sana kemari tanpa seizin Abang.

Sesuai janji kami berdua, komunikasi sesering yang dibisa tapi ketika jam kerja, gue batasi. Bukan apa. gue punya tanggung jawab, dia juga. Jangan sampai mengganggu pekerjaan, itu paling penting.

Semalam gue puas ber-video call sama Abang. Tapi enggak sampai larut karena besok dia ada jadwal pagi dan full hingga sore. Katanya juga mulai prepare enggak belanja barang terlalu banyak biar gampang dipindahkan. Opsi oper alih dengan pemilik pets shop lain bakalan Abang tempuh biar enggak terlalu repot saat pindah nanti.

Pets Shop yang ia kelola ada lima. Orang kepercayaannya memang ada, hanya saja, Abang bilang sama gue belum terlalu percaya banget untuk dilepas dari radarnya. Takut kalau nanti terjadi apa-apa, nama baik Pets Shop-nya menjadi taruhan.

Berhubung gue kurang paham masalah ini, gue beri dukungan saja mana yang terbaik baginya.

"Cie ..." Sapto menghadang jalan gue yang baru saja selesai absen. "Pengantin baru mukanya beda banget."

Gue rotasi mata gue dengan jengah. "Lo nikah mendingan sana. Cari mangsa yang mau lo nikahin."

"Sial*n, lo! Dipikir perempuan itu buruan?"

Gue ngakak.

"Cuti lama banget harus ada yang dibawa, neh," imbuh Sapto yang gue tau banget, dia mengekori gue.

"Lo pikir gue abis bulan madu ke Bali?"

"Oh, enggak, ya? Yah ... sayang banget! Percuma lo dikasih cuti lama sama Bos kalau enggak dimanfaatkan berbulan madu ke mana gitu."

Gue berdecak. "Gue kasih tau, ya, Sapto. Kalau sudah nikah, bulan madu itu pemanis. Yang seru itu," Gue beri isyarat agar Sapto bergerak mendekat. Dan dituruti oleh pria yang kadang nyebelin itu. Gue berbisik, "Yang seru itu di bawa selimut. Enggak pakai apa-apa."

Enggak perlu menunggu waktu lama, Sapto tertawa. Keras sekali.

"Bu Ira, si Arin mulai gesrek otaknya! Masa bawa-bawa urusan ranjang." Sapto tertawa lagi, dan kali ini seringainya jelas banget untuk meledek gue.

Sosok ibu yang dipanggil Sapto hanya menggeleng dan menyuruh gue mendekat. Katanya, " Ibu tau hari ini kamu masuk setelah cuti. Makan yang banyak sarapan yang Ibu buat."

Gue mengerjap pelan. "Apa ini, Bu?"

"Pcel, Rin. Ya Allah, enggak pernah makan pecel?"

Gue cemberut. "Bukan gitu. masa pecel isinya tauge sama kacang panjang doang? Sayurannya mana?"

"Jatah lo tauge aja, masih bagus dikasih sayuran ketimbang taugenya doang."

Gue melongo dengan jawaban Sapto barusan.

"Biar subur. Biar cepat hamil."

Enggak pakai basa basi, Sapto gue jitak. Bikin suasana mendadak heboh lantaran pemuda itu tergelak sembari jejeritan minta ampun. Sontak membuat penghuni lain lantai satu ini, mendekat ke arah gue. bertanya ada apa. Tapi begitu tau permasalahannya apa—Bu Ira dengan entengnya malah seperti sekutu Sapto. Gue bingung untuk membela diri jadinya.

Pada akhirnya, gue yang jadi bulan-bulanan orang kantor. Selain karena jadi pengantin baru, pun pertanyaan mengenai ranjang yang bersyukur lah pada Sapto, seenaknya diumbar, mencuat mendadak.

Bikin gue enggak tau, apa masih tegak berdiri atau berdiri lantaran malu tapi enggak bisa pergi ke mana-mana selain menjawab dengan cengengesan semua sindiran berbau mes*m ke arah gue.

Beruntung, begitu jam kerja mulai mereka semua gegas kembali ke meja masing-masing. Enggak mau ambil risiko juga kalau Pak Bos turun dari singgasananya dan menyembur lahar api. Kata Bu Ira, Pak Bos dalam keadaan jinak sehat wal afiat. Jadi jangan sampai memancing kumisnya timbul atau semua departemen bakalan kena sama laharnya yang panas membara.

Biarpun gue rindu sama suasana kantor, tetap saja berbeda. Soalnya Mae sudah resmi enggak bekerja lagi. perintah resignnya mutlak. Ini karena kehamilan dia yang butuh banget perhatian, sih. Gue dukung Pak Bos mengenai hal ini. Kasihan juga lihat dia masuk rumah sakit saat itu. Enggak tega.

Di sela gue input semua pengeluaran yang ada selama gue cuti, pesan masuk dari Abang.

(Abang suami)

Neng nanti jangan lupa makan. Abang kerja dulu, ya.

Cuma itu aja memang pesannya. Oh, satu lagi. Nama Hulk otomatis gue ganti. Soalnya gue lihat nama gue di ponselnya bikin senyum-senyum juga. Istri imutku. Lebay enggak, sih? Gue ketawa saat dia menunjukkan nama kontak gue disave dengan nama seperti apa. Saat dia minta gue tunjukkan namanya di ponsel, gue memang belum ganti.

Dan dia manyun saat tau gue kasih nama 'Hulk' buat dia. Setelah gue beri alasannya, dia hanya menggeleng. Katanya, "Yah ... biarpun Hulk gini tapi sayang sama Arin, kan?"

Terserah lah dia mau bilang apa. tapi yang jelas, sejak hari itu, namanya gue ganti. Enggak sopan juga, ya, manggil suami dengan sebutan Hulk biarpun badannya memang besar gitu.

Kembali lagi mengenal pesan. enggak banyak kalau pesan yang dikirim ke gue. sebatas mengingatkan makan juga sholat. Katanya bukan karena itu kewajiban yang seharusnya enggak perlu diingatkan, tapi memastikan pasangannya melakukan apa kewajibannya, itu perlu. Gue, sih, biasa saja. Ditanya, ya ... gue balas. Enggak ditanya, gue biasa aja.

Yang penting setelah gue di rumah, dia telepon gue. Atau video call.

Buru-buru gue balas pesan itu.

(Arin. M)
Oke, Bos.

Abang bilang, sesibuk apa pun kalau ada pesan direspon walau singkat. Kalau singkat, dia belajar memaklumi kalau gue lagi hectic sama laporan. Juga gue. berhubung ponsel gue kembali pada mode awal, artinya enggak ada balasan lagi dari Abang, gue lanjutkan pekerjaan gue yang tersisa satu lembar lagi.

Setelah ini, gue bakalan bikin satu folder laporan yang belum terinput untuk akomodasi supir selama gue cuti. Dalam buku besar dicatat, tapi dalam bentuk laporan belum. Pak Bos biasanya mau dalam dua bentuk. Menurut gue justeru lebih penting dalam bentuk laporan tapi seperti biasa, Bos selalu punya cara yang membuat kita berpikir, "Oiya, ya. kenapa enggak terpikir ke arah sana."

Kalau ada dua bentuk, maka tingkat kehati-hatiannya juga rekam jejaknya ada. Bos gue dan ketelitiannya.

Ponsel gue kembali meminta atensi, kali ini, bikin alis gue keriting mendadak.

(Abang suami)

Din, jangan lupa makan. Hari ini banyak yang harus kamu jelaskan ke saya.

Gue baru mau balas tapi keburu pesan baru masuk dari Abang.

(Abang suami)

Neng, maaf. Salah kirim.

Emo kiss

Ah, gue butuh penjelasan nanti. Nanti tapi, hati gue masih adem ayem. Enggak aneh isi pesannya soalnya. Eh ... tunggu. Din? Dini maksudnya? Si cewek itu?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro