Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[37]

Gue enggak sangka kalau hari yang dilewati berdua dengan Abang cepat banget berlalunya. Bahkan gue enggak sadar juga kalau besok, dirinya kembali pada rutinitas yang seharusnya. Gue juga, sih. kebersamaan kali ini, setelah menikah, bikin gue makin mengenal pribadinya. Yah ... biarpun sering bikin gue jengkel karena kelakuannya tapi ada banyak hal yang bisa gue banggakan darinya.

Lagian, gue pribadi bukan sosok yang sempurna, kan?

Dan ini yang bikin gue galau mendadak sejak bangun tidur pagi hari. Enggak tau ada angin apa, gue bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah sholat subuh gue memang memiliki menarik selimut kembali karena masih rangka cuti, kan? mau ngapain coba selain berlama-lama di kasur? Rebahan atau tidur?

Masak? ibu cuma minta bantuin pas makan siang. selebihnya? Gue enggak dipercaya. Katanya cuma bikin berisik dan banyak tanya. Padahal enggak ada yang salah sama bertanya, kan? Ibu saja yang enggak sabar sama gue yang bawel. Abang aja betah, sama ibu sendiri enggak betah. Heran gue.

Gue enggak langsung beranjak ke kamar mandi sekadar sikat gigi dan cuci muka, tapi lebih memilih memandangi pria berkulit sawo matang ini lebih jelas. Pria yang dalam kurun waktu tiga bulan, berganti status jadi suami gue. Ambil tanggung jawab Ayah terhadap gue dalam satu ikatan sah bernama pernikahan. Orang yang menjadi imam gue hingga tua nanti.

Di mata gue, Abang itu orangnya tegas. Gue enggak bisa bohong di depannya. Sudah beberapa kali gue selalu mengatakan kejujuran bukan lantaran karena dosa itu memberatkan. Bukan. Kalau memang niatnya mau bohong, ya ... bohong aja. Enggak perlu takut dosa karena sudah terbiasa, kan? Permasalahannya, tiap kali gue dengar nada tanya darinya, itu benar-benar bikin gue enggak berkutik.

Itu menggunakan sambungan telepon, bagaimana kalau bertemu langsung? Yang matanya enggak dilarikan ke mana-mana kecuali menatap gue? Menunggu jawaban. Kan, dihadapkan sama orang seperti ini bikin enggak berkutik.

Selain tegas, Abang itu sebenarnya penuh dengan banyak perhatian. Serius. Enggak perlu banyak bicara kalau dirinya akan bertindak. Hal-hal sepele yang sering gue perhatikan dalam dirinya, justeru bikin gue merasa apa yang dia lakukan itu memang bukana untuk sekadar mencari muka. Tapi memang dirinya yang ringan tangan dalam hal membantu serta bikin orang memberi pujian tanpa sadar.

Minus ... sering bikin gue cemberut karena suka naruh handuk dan baju sembarangan. Masih basah tapi ditaruhnya di ranjang. Kan, bikin basah! Belum lagi pakaian kotor yang enggak langsung ditaruh di keranjang kotor. Sampai kemarin sore gue marah karena beberapa kali protes gue cuma dianggap angin lalu.

"Oke. Abang benar-benar minta maaf atas teledornya."

Gue melengos. Gue mendebatnya habis-habisan karena kelakuannya ini. bukan apa, gue biarpun serampangan untuk masalah bersih ya ... enggak bsa serampangan juga. Apalagi kamar gue jarang berantakan. Bisa dibilang, gue punya keharusan agar kamar gue ini selalu rapi dan bersih. Sprey aja gue ganti setiap seminggu sekali. Sebelum berangkat kerja, gue selalu bantu Ibu bersihkan area rumah.

"Rin, jangan ngambek. Abang ingat-ingat untuk hal ini."

Gue masih enggak mau menoleh ke arahnya. Biar saja. Gue bicara sudah berapa kali mengenai masalah handuk, ya masa gue ingatkan terus. Enggak lucu. Gue abaikan dirinya yang sesekali menyentuh bahu gue. Kalau dengan bicara saja Abang enggak paham juga, ya gue pakai dengan cara diam. Siapa tau lebih manjur dan efektif. Dan voila! Gue benar.

"Maafin Abang dong. Udahan ngambeknya. Nanti imutnya hilang kalau ngambek gini." Kali ini Abang setengah berjongkok di depan gue. Matanya menatap gue dengan pandangan nelangsa. Gue mau tertawa tapi gue tahan banget. Lucu aja kalau seorang Rasyid Ananta bersikap seperti ini. Berhubung gue enggak juga merespon ucapan maafnya, ia letakkan kepalanya dalam pangkuan gue. Berharap banget gue elus-elus kepalanya. Enggak akan. Nanti dulu biarpun gue sudah gatal banget pengin menyusuri rambutnya yang lebat itu di antara sela-sela jemari.

Seperti saat Abang ada di atas gue. gue selalu suka

"Rin," Matanya kembali diangkat untuk bersitatap sama gue. Tapi gue memilih melarikan netra pada plafom kamar. Biar saja. "Sudah dong marahnya. Abang janji enggak gitu lagi. Akan diingat seumur hidup, deh."

Yang enggak gue persiapkan, ketika wajah Abang makin mendekat. Melabuhkan banyak kecup biar gue menatapnya atau seenggaknya memberi atensi pada dirinya yang enggak pernah jauh sama gue sekarang.

"Geli, Abang," keluh gue dengan kekehan saat dirinya mulai menggosokkan ujung dagunya yang agak kasar pada ceruk leher gue.

"Maafin."

Sudah lah gue nyerah. "Oke. Tapi diingat-ingat, ya. Arin enggak suka harus selalu kasih peringatan untuk hal yang sama. Persis kayak kaset rusak, tauk!"

Senyumnya terkulum tapi enggak lama soalnya mendarat cantik banget di bibir gue. Selalu bisa membuat gue kehabisan pasokan udara juga bengkak mendadak di bagian bawah. Katanya, bibir gue ini melambangkan tingkat cerewet yang gue punya. Masuk akalnya dari mana coba? Enggak ada!

"Sudah bangun?" tanya Abang tanpa membuka kelopak matanya. Gue beringsut makin mendekat dalam rengkuhannya dan mulai jahil. Menggigit sisi rahangnya pelan. Membuat Abang berdecak kesal. "Sakit, Rin."

"Lebay!" kata gue tapi sama sekali enggak mau bergerak menjauh.

"Kenapa?" tanyanya tiba-tiba. "Tumben banget masih mau dipeluk bangun tidur. Biasanya paling enggak suka atau protes mau cepat mandi biar bisa bantu Ibu buat sarapan."

Gue memilih enggak menjawab. Kalau gue bilang, gue lagi mengumpulkan banyak keping memori sebelum besok pria ini kembali ke Makasar, pasti gue ditertawakan. Bukan apa. dia sendiri sudah berusaha membujuk gue biar goyah dengan apa yang menjadi keinginan gue. tapi gue tetap menolak.

"Kita LDR. Satu tahun," putus gue tegas tanpa memikirkan konsekuensi secara utuh tiap kali ditanya, serius kita bakalan berjauhan? Jadinya begini deh. mendadak gue pasti bakalan rindu karena dua minggu ini, gue selalu ditemani Aban.

Tunggu ... kenapa gue jadi mellow gini, ya? Abang ini, kan, termasuk orang baru dalam hidup gue. kenapa juga gue merasa benar-benar menggantungkan diri sama dia? Seharusnya jangan.

"Neng?" panggilnya pelan. saat matanya terbuka, tepat banget menatap gue dengan pandangan tanya. "Ada apa?"

Enggak tau kenapa gue malah jadi cengeng. Serius. Bukannya menjawab, gue memilih menenggelamkan diri dalam peluk Abang yang enggak pernah menolak gue.

"Eh, kenapa sih? Bikin Abang khwatir ini. Ada apa? Cerita dulu."

Mungkin sekali kedip, air mata gue sudah tumpah. Gue labil banget, sih, jadinya! Nyebelin banget. "Besok Abang kembali ke Makasar. Nanti Neng sendirian, ya?"

Jempolnya ia pergunakan untuk mengusap pipi gue yang ternyata sudah basah tanpa gue sadari. "Neng mau ikut? Ayo. Kan, Abang memang maunya seperti itu. neng ikut Abang kerja di sana. kalau mau cari kerja di sana boleh, enggak juga Abang enggak masalah. Bantuin Abang di toko. Itu juga bisa."

Gue menggeleng lemah. Bayang Ibu dan Ayah tiba-tiba hadir di pelupuk mata gue. "Arin takut sebenarnya."

"Takut gimana? Arin belum cerita bagian ini." Abang sedikit bergeliat dari rebahnya. Menompa diri dengan siku namun tetap menghadap ke gue. Sesekali jemarinya merapikan rambut gue yang masih berantakan.

"Arin di sana hanya berdua sama Abang. Sepanjang umur Arin hingga kini, selalu ada Ibu dan Ayah. Arin takut ... takut ..."

"Takut Abang berbuat kasar sama Arin?" Dagu gue ditarik sedikit biar mendongak dan dia puas banget menatap mata gue yang lagi-lagi basah. "Begitu?"

Gue mengangguk lemah.

"Wajar kalau Arin taku. Abang enggak tersinggung."

Mata gue mengerjap pelan. "Serius enggak tersinggung?"

"Ya enggak, lah. Ketakutan itu wajar apalagi Arin baru mengenal Abang sesaat sebelum menikah dan sekarang ini. ya, kan? Beda halnya dengan Abang."

Kening gue berkerut mendadak. "Gimana-gimana. Arin enggak ngerti."

"Mama sering cerita tentang Arin hampir setiap kali Abang pulang ke Bandung. katanya Arin begini, katanya juga Arin begitu. Sampai hapal. Dan semua yang Mama bilang, benar adanya."

"Jadi ... Arin ini memang sudah dijodohkan lama sama Abang?"

Tanpa ragu, Abang mengangguk. "Dengan syarat, kalau Arin enggak punya pacar, Abang maju setelah Abang persiapkan dulu. Secara materi, rumah tangga itu butuh uang. Abang enggak mau mengajak istri dalam keadaaan belum biar biarpun, merintis bersama itu katanya menyenangkan."

"Tapi Arin pacaran sama Hekky, kok. Abang main terabas aja."

Dia tergelak. "Bukannya sudah putus dua bulan sebelum Abang datang melamar."

Gue mingkem.

"Dari cerita Mama, gambaran sosok Arin itu mulai Abang patri di hati. Biarpun nyebelin ternyata banyak sisi manis yang Arin punya. Yang bikin Abang rasanya enggak menyesali keputusan terbang ke Jakarta melamar kamu."

"Semisal Arin pacaran dan nikah sama orang lain, Abang gimana?"

Lagi-lagi dia kembali tertawa. "Anggap aja kasih tak sampai."

"Ih!!! Sok puitis banget!" gantian gue yang tergelak. "Berarti hanya dari cerita Abang sudah naksir sama Arin? begitu?"

"Anggap aja begitu," katanya dengan senyum yang bikin gue merasa janggal mendadak. Enggak mungkin se-simple itu, kan? Masa iya ada hal seperti itu di dunia? Gue rasa enggak mungkin.Tapi saat gue mau kembali bertanya, suara Abang sudah lebih dulu ada.

"Sudah lebih baik perasaannya?" tanyanya lagi sembari menyentuh pipi gue dengan punggung tangannya. "Atau mulai memperhitungkan narik keputusan yang dari kemarin kencang banget disuarakan?"

Gue mencebik dan menyingkirkan tangannya dengan segera.

"Arin tenang aja, Abang enggak macam-macam di sana. Bakalan sering pulang untuk mengecek ruko yang mau ditempati di sini, kok. Kan Ayah dan Bapak juga bantu cari. Biar cepat. Estimasi satu tahun itu paling lama."

"Benar?"

Dia mengangguk tanpa ragu.

"Setahun paling lama, ya? Habis itu tinggal di Jakarta?" Gue bertanya untuk memastikan. Bukan ada perkara lainnya, kok.

"Sebenarnya yang takut LDR itu Abang atau Neng, ya? Sejak tadi Abang tarik kesimpulan, Neng yang mulai ragu sama LDR? Apa sudah mulai rindu Abang? Padahal belum berangkat, lho. Masih di kamar. Masih bisa dipeluk-peluk gini."

Sudah lah, bicara sama Rasyid Ananta kalau dalam mode menyebalkan begini pengin banget gue gigit rahangnya lagi. Dan, yah ... gue lakukan itu. Kali ini lebih kencang biar dia jerit-jerit sekalian.

"Arin! Rasyid! Kalian ngapain? Teriak-teriak gitu?!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro