Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[36]

Resepsi ini juga berjalan alhamdulillah lancar. Semuanya senang dan berkumpul seperti layaknya keluarga besar. Gue lebih sering mengikuti gerak Abang ke mana pun menyapa kawan-kawannya terutama pada tiga orang tadi. Sepertinya, pertemanan mereka memang benar-benar akrab. Nanti gue mau menggosipkan hal ini sama Mae.

Pengin tau seorang Whiskie versinya Mae.

"Capek?" tanyanya setelah kami masuk ke salah satu kamar yang sengaja disewa. Gue enggak tau ini ide siapa tapi sumpah, begitu gue masuk ke kamar ini, gue merinding mendadak.

Bagaimana enggak. di kamar ini benar-benar disulap layaknya kamar pengantin dalam hotel berbintang yang elegan nan cantik gitu. rasanya gue enggak pengin tidur di ranjang karena banyak taburan mawar gitu. Belum lagi di tengah ranjang ada satu kotak besar yang gue raih tulisan di sampingnya.

Happy Wedding, Whiskie Sayang.

Kita bertiga sayang kamoohh, lhooo!!!

Semoga enggak ngamuk.

Bisa jelas gue tebak, ini ide siapa. Vodka. Si bocah tengil itu. sejak pertama kenalan hingga tadi berpisah, dirinya memang benar-benar konyol. Ada saja tingkahnya yang bikin kami semua geram tapi tergelak bersamaan. pembuat ramai suasana juga bikin enggak tegang sama sekali.

Saat ditanya Gin, "Mana pacar lo yang kalem ini?"

Si Vodka Cuma melengos sembari memegangi dadanya. "Cinta menusuk jantungkuuu... uwooo.."

Ck! Dia malah benar-benar bernyanyi hingga satu lagu tapi tatapannya enggak seriang ketika dirinya bercanda dengan komplotannya. Gue rasa, dia sedang patah hati.

"Abang, ini apa, ya?" tanya gue cukup penasaran setelah melepas kartu ucapan serta pita yang mengikat kotak besar tadi.

"Ehm ... Abang enggak jamin isinya hal-hal waras."

"Maksudnya?"

Bukannya menjawab, Abang malah menyuruh gue untuk mendekat. Tadinya gue mau protes karena penasaran tapi gue urungkan. Wajahnya lelah gitu. Enggak tega juga kalau nanti harus berdebat. Gue sendiri juga capek.

"Kita istirahat dulu, deh. Kadonya bisa dibuka belakangan. Lagian kamar ini juga kado dari mereka."

"Hah?"

"Iya. Kalau sesuai rencana, kita semua pulang bersama rombongan tapi ternyata Gin membooking satu tempat di sini buat kita. Jadi lah kita di sini. Terperangkap berdua."

Gue mencibir Abang yang duduk di sampingku persis.

"Tapi Arin senang hari ini?" tanyanya dengan tangan merangkul gue. membuat gue setengah bersandar padanya. mengusap pelan sisi kepala gue yang diraih olehnya. Lembut banget.

"Senang. Dan makasih tadi lagunya bagus."

Dia tertawa. "Begitu doang pujiannya?"

"Ya abis, apa? Lagunya memang bagus, kan? Dinyanyikan Abang, ya ... standart, sih. Suaranya biasa aja. Tapi oke lah permainan pianonya."

"Ya Allah, punya istri kelewat amat jujurnya."

Gue hanya terkekeh menanggapi. "Jujur meringankan, bohong memberatkan."

Diacaknya agak kencang rambutku yang masih mengenakan sirkam untuk menahan riasannya. Membuat gue berdecak kesal lantaran awut-awutan mendadak. "Abang, ih!" Gue hentikan dengan sedikit kasar tangannya. bukannya menepis, malah jemari gue digenggamnya lagi. erat seperti baisanya.

Gue ditarik dalam peluknya. Merasakan dirinya mengecupi puncak kepala gue berkali-kali. Mendengar degup jantungnya yang mulai enggak teratur dalam detaknya. Menghidu dengan rakus aroma parfumnya yang sudah tercampur dengan keringat. Yang selalu membuat gue ... rindu? Entah lah. tapi yang jelas, dalam peluk Abang ini semua ia tawarkan.

Nyaman. Perlindungan tertinggi. Aman. Belum lagi kasih sayang yang dia beri. Nyata banget untuk gue. Selain membalas peluknya, gue rasa enggak ada lagi yang bisa gue lakukan sekarang.

"Biarpun suaranya terdengar biasa, permainan pianonya juga enggak bagus, tapi lagu itu mewakilkan perasaan Abang untung Neng."

Dalam dekapnya, senyum gue terkulum.

"Abang pengin selamanya sama Arin. Enggak ada orang lain di antara kita kecuali keluarga. Dan anak tentu saja." Abang urai peluk gue dan menarik dagu gue pelan. membuat gue sedikit mendongak untuk bersitatap dengannya. "Abang sayang sama Arin."

"Iya."

Ucapannya ditutup dengan satu cium penuh kelembutan yang menyapa bibir. Penuh perhitungan juga dan bikin gue megap-megap pada akhirnya.

"Mandi dulu, ya. Arin gerah banget."

Gue enggak tau, apa yang gue katakan ini memang benar atau enggak. Soalnya begitu gue lepas pagutan kami, pun bicara perkara mandi, tatapan Abang ke gue berubah. Ada seringai kecil di sudut bibirnya yang justeru bikin waspada gue meningkat drastis.

"Undangan mandi barengnya enggak ada?"

Subhanallah!

Padahal sehari sebelumnya sudah gempur gue habis-habisan masih kurang aja!!!

****

Gue masih penasaran sama kado itu, sih. Setelah acara mandi yang enggak sebentar, gue kembali mengusik Abang dengan merengek agar kotak besar itu bisa dibuka. Abang sepertinya menyerah dengan rayuan gue. Pada akhirnya kita sepakat—atas desakan gue tentu saja—untuk membukanya.

Dan ... benar. Gue menyesal banget membuka kado itu ditambah Abang yang malah tergelak sempurna banget menertawakan raut wajah gue sekarang. Katanya, "Apa Abang bilang. Mereka itu usil banget."

"Termasuk Mae?" Kalau benar Mae juga ikut andil dalam kado ini, gue pastikan dia bakalan dapat balasannya nanti. nanti. setelah dia melahirkan biar Gio punya adik bayi lagi. biar saja. toh sudah terbukti kalau Pak Satria oke punya kualitasnya. Masih bisa bikin Mae hamil. Lho ... kenapa gue jadi melantur, sih? enggak benar banget memang otak gue ini!

"Mae enggak mungkin ikutan. Jangan kan balas chat, main games bareng aja sekarang jarang."

Gue mengangguk pelan. "Kandungannya lemah, Bang. Pasti sering rehat dan enggak boleh ngapa-ngapain sama Pak Satria."

"Nah itu. Kita maklum banget keadaan Pin."

Gue taruh lagi kain tipis banget berwarna merah itu ke dalam kotak. Bukan jijik atau apa, tapi lebih ke arah ... duh, gue pasti aneh banget kalau mengenakan hal ini di depan Abang. Lingerie merah dengan renda di beberapa titik dan juga stocking panjang dengan warna senada. Ya Allah! Ujian banget begitu gue buka dan menarik kain tipis ini sekadar memastikan apa isinya.

"Mau dipakai?"

Gue bergidik ngeri. "Enggak, ah! Ngeri banget pakainya."

Dan gue enggak mempersiapkan respon Abang yang langsung menggendong gue ke ranjang. Tadi kami bicara sofa yang ada dekat jendela besar dalam kamar ini. geraknya bikin gue memekik kaget sampai rasanya gue benar-benar melayang dibuatnya. "ABANG!!!"

Selain tawanya, enggak ada lagi hal yang gue dengar hingga dirinya memastikan gue rebah dengan nyaman. "Kenapa ngeri kalau pakai lingerie?"

Refleks gue merotasi mata. "Enggak pakai lingerie aja Arin dibuat capek banget. Gimana kalau Arin pakai? Bisa pingsan kali!"

Lagi-lagi dia tertawa. Ujung hidung kami bertemu dan ia menggosok pelan di sana. "Abang pasti rindu banget sama Arin setelahnya."

"Maksudnya?"

"Yah ... seminggu lagi kan Abang kembali ke Makasar. Biarpun Abang yang punya, Abang tetap punya tanggung jawab yang lain, kan?"

Mendadak hati gue diliputi perasaan bersalah, sedih, dan takut secara bersamaan. Gue layangkan rengkuh pada lehernya agar ia menjatuhkan diri ke gue. Gue yakin dia enggak bakalan benar-benar menimpa gue, sih. Gue cuma pengin dipeluk lebih erat saja.

"Jangan bikin Arin bingung mendadak, Bang," lirih gue. Karena kalau LDR ini, jelas, pengaruh terbesarnya dari gue. Gue yang menolak resign dan enggak mau ikut dia ke Makasar. Mau gimana lagi? Gue masih suka kerja.

"Enggak. Abang enggak begitu. Baru kemari istri Abang yang imut ini bilang, dengan percaya diri pula." Abang sedikit melepas peluknya. Bertumpu pada siku dengan masih menatap gue penuh lekat. "Kita saling percaya dan komunikasi dijaga. Juga jujur paling utama. Abang masih bisa jelas mendengar hal itu, lho."

Gue cemberut.

"Siapa yang kemarin bicara seperti itu ke Abang? Yang bikin Abang yakin dan percaya kalau Arin bakalan baik-baik saja di jakarta biarpun diawasi lewat ponsel aja?"

"Arin," kata gue pelan.

"Nah ... sekarang ke mana sosok Arin itu, ya? Hilang tertelan kebaya?"

Enggak ayal, gue beri satu cubitan ekstra pedas di perutnya yang berotot itu. Bukannya kesakitan dia malah tertawa puas banget.

"Jadi sementara Arin tinggal di rumah Ibu dulu, ya? sampai Abang benar-benar memindahkan yang ada di Makasar dan dapat tempat di sini juga."

"Benar sekali. Nanti Arin bantu cari toko yang sesuai? Yang bisa ramai pengunjung?"

Gue mengangguk semangat. "Siap, Bos!"

"Bagini lebih baik."

Kening gue berkerut mendadak.

"Arin yang Abang kenal itu jarang menampilkan wajah sedih. Kalau semangat dan periang gini, baru Arin yang Abang kenal. Yang imut dan bikin rindu."

"Pujiannya direm sedikit, Bang."

"Muji istri itu enggak salah." Abang menjatuhkan diri di samping gue. Bikin gue berguling sedikit ke arahnya. Kembali memainkan ujung hidungnya dengan telunjuk. Juga sekitar wajahnya yang agak kasar karena pori-porinya cukup besar. Tapi entah kenapa bikin dia manly banget di mata gue.

"Abang," panggil gue sesaat setelah gue biarkan dirinya memejam. Merasakan sentuhan ujung jemari gue di wajahnya.

"Hem?"

"Ceritain tentang Vodka dan Gin dong. Kenal di mana dan sudah berapa lama kalian akrab?"

Yang gue dapat hanya kekehan. "Arin serius mau dengar? Ini berkisar sama games, lho."

Bibir gue mencebik. "Yang menyadarikan Mae biar enggak sama Adam itu aku, bang."

"Oh, si laki-laki kardus itu, ya? Bagus dia gagal move on."

"Abang tau?"

Dia mengangguk tegas. "Abang kesal sama pria-pria model Adam gitu. Enggak gentle."

"Benar. Arin aja masih kesal kalau ingat. Untung Mae dapatnya jackpot banget."

"Jackpot gimana?" tanya Abang dengan penasaran. Bisa gue lihat dari sorot matanya yang kini memenuhi netra gue.

"Iya, jackpot. Sudah Pak Bos ganteng, kaya, badannya bagus gitu, idola di kantor biarpun hobinya marah-marah, belum lagi sebenarnya dia or—"

Belum selesai gue bicara mengenai seorang Satria, Abang sudah maju mendekatkan diri lebih tepatnya meraup bibir gue demikian rakus. Tanpa jeda. Tanpa aba-aba pula. Bikin gue mirip ikan koi yang kehabisan napas setelahnya.

"ABANG!"

"Memuji pria lain boleh, tapi jangan terlalu detail. Abang cemburu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro