[34]
Suasana Bandung malam hari itu memang menggiurkan. Banyak kafe bertebaran belum lagi spot makan di pinggir jalan yang seperti memanggil gue dan Abang buat menepi. Serius. Tapi gue belum berani memutuskan mau berhenti di mana.
Gue sempat tanya, tujuan kita ke mana tapi cuma angin yang menjawab. Gue enggak tau apa dia enggak dengar atau apa, soalnya Abang fokus banget memegang stangnya. Padahal kalau ngobrol di motor cukup seru. Entah lah.
Jadi gue diam saja padahal bibir lama-lama kaku kena angin malam.
Saat laju motor mulai melambat, diarahkan ke salah satu kafe dengan interior merah yang mencolok. Bukan karena hiasan imlek, tapi rasanya konsep yang diambil memang seperti itu. Gue enggak bantah atau bertanya, nanti saja. Gue simpan semua pertanyaan yang mau meluncur dan siap gue tembak begitu kami nanti duduk di meja kafe.
"Arin tadi bicara apa?" katanya yang bikin gue melongo.
"Oh, sudah sadar kalau tadi Arin bicara?"
Dia tergelak. "Dengar dengan jelas, kok."
"Kenapa enggak jawab?" Gue cemberut, lah. Berasa banget gue naik motor sendirian dan bertanya tapi enggak ada jawabannya. Mirip seperti orang dicueki gitu.
Abang telaten banget membukakan kaitan helm, merapikan rambut gue yang kayaknya mencuat sana sini, deh. Gue enggak tau juga, sih. Yang jelas, kepala gue diusap-usap mirip kucing. Dan anehnya gue enggak sanggup menolak. Belum lagi jaket yang tadi ia kenakan buat gue, Abang juga bantu untuk melepaskannya. Gue kayak patung yang diam saja ia pereteli.
Tenang, dia enggak macam-macam, kok. Tau malu berarti. Enggak ada adegan sosor bebek angsa, kok. Enggak. Gue sendiri kalau Abang berani seperti itu, bisa melayang tangan gue ke badannya yang gede itu. Biar saja dibilang kurang ajar. Yang mulai, kan, dia duluan. Untungnya enggak terjadi.
"Bukan enggak mau jawab. Takut pecah konsentrasi berkendara."
Gue mencibir. "Pas ngendarain mobil, ngobrol bisa aja tuh."
Eh ... cuma dijawab sama gelengan. Tangannya yang maju untuk meraih jemari gue, menggenggamnya erat padahal gue enggak bakalan hilang kali.
"Ini kafe l@ngganan Abang kalau pas pulang ke Bandung. kopinya enak. Roti bakarnya juga."
"Ada indomie juga?" tanya gue spontan.
Ini gue lagi enggak dalam konteks melucu atau apa, ya. Tapi herannya si Abang malah tertawa lagi. gue heran. Apa jalan sama gue sebahagia itu? Kayaknya enggak, deh.
"Arin mau indomie juga?"
"Jadi serius di sini ada indomie?"
Abang malah mengangguk sebagai jawaban.
"Kita baru makan, lho, dan Abang mau makan indomie? Di rumah juga Arin bisa bikin kali! Mau pakai apa? sawi? Dua telor? Cabe?"
Dia masih menarik gue untuk mengikutinya hingga duduk di salah satu sudut yang enggak terlalu banyak lalu lalang orang.
"Simpan rencana buatin Abang Indomie kalau begitu. Abang cuma pengin menghabiskan waktu sama Arin di sini, kok."
"Enggak makan indomie?"
"Ini Neng ketularan siapa jadi lemot?"
Gue manyun. "Makanya kalau ditanya mau ke mana dijawab. Ini semua karena Arin kebanyakan makan angin jadinya lemot."
Pecah lah tawanya. Membuat sebagian besar pengunjung mengarahkan mata ke kami. Sial@n banget Abang kalau tertawa enggak pakai rem sama sekali. Mending merdu, mirip banget sama petir gitu. Kan, serem!
"Seminggu setelah resepsi nanti, Abang kembali ke Makasar," katanya setelah reda segala tawa yang ia ciptakan sendiri. Gue mengerjap pelan karena memang belum pernah membahas ini sampai sedetail mungkin, sih.
"Oh, oke."
"Arin di Jakarta jangan kebanyakan macam."
Bibir gue refleks mencebik. "Sembarangan kalau ngomong."
"Abang serius. Abang bebaskan Arin untuk bekerja. Cintai apa yang menurut Arin suka tapi jangan abai sama kewajiban. Abang juga sama. Mulai mempersiapkan pindah ke Jakarta dalam waktu satu tahun ke depan ini."
Gue mengangguk sebagai jawaban. "Tapi ... Abang benar-benar enggak ada masalah, kan, kalau harus pindah ke Jakarta? Maksudnya yah ... seperti yang Ibu bilang, di sana Abang sudah punya banyak pelangg@n. Sayang atau enggak. Gitu."
Seorang pelayan datang dengan membawa catatan kecil untuk mencatat pesanan kami. obrolan ini diinterupsi oleh beberapa pertanyaan darinya. Gue enggak pesan makanan, masih kenyang. Abang juga, sih. Lebih memilih kopi hitam dengan sedikit gula sementara gue pengin coffe latte aja. yang aman biar bisa tidur nanti.
"Ini Arin mau dengar versi jujur atau bohong?" Abang bertanya setelah memastikan si pelayan tadi bergerak menjauh. Suasana kafe di sudut yang Abang pilih memang enggak ramai seperti meja di depan sana. Gue suka, sih. Jadi mau bicara apa enggak terlalu terganggu dengan kedatangan pengunjung lain.
Kening gue berkerut. "Mana ada begitu?"
"Jawab aja."
"Jujur. Arin enggak suka ada kebohongan soalnya."
Gue enggak tau kapan terakhir kali melihat Abang tersenyum dengan cara seperti ini. maksud gue, garis yang dia tarik di sudut bibirnya ini enggak seperti biasanya. Enggak ada ejekan di sana, enggak ada paksaan juga, dan enggak tau kenapa bikin gue malah enggak bisa mengedip saking senyum itu selalu pengin gue nikmati.
Sumpah.
"Kalau boleh jujur, Abang lebih suka kita ke Makasar. Hidup berdua di sana. Abang beritahu Arin semua tentang pekerjaan Abang, hidup Abang di sana, suasana di sana."
Sontak bikin gue menelan ludah yang banyak banget duri.
"Tapi Arin bersikeras mau kerja dan Abang enggak mau melarang. Karena apa?" tangan besar yang tadi dipergunakan untuk menggenggam jemari gue, dia ulurkan. Menyentuh pelipis gue yang terkena rambut. "Abang lihat dengan jelas, Arin berdedikasi sekali dengan pekerjaannya. Abang enggak masalah untuk hal itu. biarpun yah ..."
"Biarpun kenapa?" Gue sama sekali enggak pengin menyingkirkan tangannya yang masih bermain-main di sekitar rambut gue. Enggak peduli juga kalau nanti ada yang melihat karena gue juga mengamati sekilas, banyak pasangan di meja depan yang bercengkerama akrab.
Kalau gue digerebek, gue enggak merasa salah juga. Gue sudah nikah, kan?
"Biarpun nantinya Abang yakin enggak kuat."
"Hah?"
"LDR itu berat, Neng. Berat banget apalagi ninggalin istri yang jauh dari jangkauan. Perasaan khawatir, takut, belum lagi kepikiran yang aneh-aneh. Itu pasti jadi kendala tersendiri buat kita nantinya."
"Abang meragukan Arin?"
Dia menggeleng dengan tegasnya. Bahkan sorot mata yang tadinya teduh gitu, melotot garang ke arah gue. Lho, gue enggak salah bicara, kok. Itu benar. "Kalau enggak meragukan Arin, seharusnya pemikiran itu enggak ada. Boleh, kok, ada. Namanya manusiawi kalau punya pemikiran takut tapi kalau selama Abang percaya dan yakin Arin enggak macam-macam, kenapa mesti terlalu khawatir?"
Dia diam tapi bibirnya komat kamit seperti mau bicara namun ragu gitu. Gue memilih menunggu saja ucapan apa yang bakalan gue dengar dari bibirnya nanti. Berhubung pesanan gue datang, gue memilih menikmati saja minum yang gue pesan. Pun Abang.
Gue dengar Abang menghela napas panjang. wajahnya seperti orang yang kalah perang gitu. "Abang benar-benar khawatir kalau terlalu jauh sama Arin."
Gue ngakak. "Abang ... sebelumnya Arin minta maaf. Ini jatuhnya lucu menurut Arin."
"Lucu gimana?" Gue tau banget, dari nadanya seperti orang enggak terima gitu.
"Gini, sebelumnya kita enggak kenal, kan?"
Dia diam. Gue anggap, dia menyimak perkataan gue jadi gue lanjutkan saja. "Nah, berhubung kenal karena kita dijodohkan dan berakhir di pelaminan, pada dasarnya hidup kita tadinya itu aku ibaratkan, aku di Jakarta Aban di Makasar. Benar, kan?"
Gue enggak tau jawaban dia ini terpaksa atau enggak tapi anggukan dia beri.
"Abang berapa lama mengurus semuanya? satu tahun, kan? Arin enggak macam-macam orangnya. Kalau sudah memutuskan sesuatu, ya ... akan Arin jaga. Enggak tau kalau Abang."
"Abang juga enggak suka macam-macam. Cuma satu macam dan mau macam-macamnya sama Neng aja."
"Jadi? Enggak ada yang perlu dikhawatirkan, kan?"
Abang malah menggeleng tapi seringai kecil muncul di sudut bibirnya. "Jadi Arin benar-benar yakin kita bakalan LDR?"
"Ya habis mau gimana? Arin kerja. Abang di sana masih harus urus klinik, kan?"
Abang masih diam.
"Abang enggak perlu terlalu khawatir sama Arin. Arin tau batas. Dan Arin juga harap, Abang tau itu dengan jelas."
Ah, tanggapan yang dia beri bikin jantung gue kelabakan mendadak. Sepertinya gue harus kasih peringatan banget sama Abang tentang ini. Senyumnya itu, lho! Kalau ada orang lain yang lihat? Lalu menikmati? Wah ... panjang urusannya sama gue! enggak rela gue bagi-bagi. Enak aja.
"Ternyata Arin memang benar-benar bisa dewasa."
Tadinya gue mau muji senyumnya yang manit itu, tapi batal. Enggak jadi karena mendengar ucapannya itu. Sembarangan!
"Arin sudah dua-delapan. Masa iya enggak bisa dewasa?" Gue bersidekap dengan tatapan sinis ke arahnya yang ditanggapi dengan cengiran lebar.
"Abang tepat banget bersikeras menjadikan Arin istri."
Gue merotasi manik mata gue. Jengah. "Memang Abang pikir Arin ini enggak bisa menyikapi sesuatu dengan dewasa, ya?"
"Bukan meragukan. Abang yakin Arin bisa dewasa hanya saja ... mungkin khawatirnya Abang terlalu besar."
"Nah, berarti masalahnya di Abang. Arin bukan enggak masala kita berjauhan apalagi dengan status suami dan istri. Memang ... Arin akui belum ada perasaan seistimewa cinta di sini." Gue enggak butuh sesuatu hal yang terkesan ditutupi di sini. Buat apa? Memang itu yang gue rasakan, kok. "Tapi kita bisa belajar, kan?"
Gue menyesap latte gue pelan, lalu kembali melanjutkan ucapan gue. "Aku belajar jatuh cinta sama suami sendiri. Abang sendiri pun harus melakukan hal yang sama. Lepas dari apa pun di belakang kita. Karena Abang tau Arin gimana sebelumnya tapi Arin enggak terlalu tau banyak tentang Abang."
Satu usap sayang diberi Abang pada puncak kepala gue. enggak gue tepis ataupun cemberut karenanya. Malah nagihin. Eh?
"Istri Abang manis banget bikin kata-kata."
Sial banget kalau meledek! Buru-buru gue tepis usapannya itu padahal sebenarnya enggak mau! Karena ucapannya itu bikin gue mendadak sebal makanya gue memilih menyingkirkannya saja.
"Lho, kenapa? Enggak suka kalau Abang berantakin rambutnya, ya?"
Gue mencibir.
"Apa mau diberantakin yang lainnya? Tapi enggak di sini. Di kamar Abang."
"ABANG!!!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro