[33]
Mae itu sialan banget ternyata. Puas banget menertawakan gue di ujung saja. Jangan lupa, malah bicara panjang lebar sama suami gue! Nyebelin banget, kan? Awas aja nanti kalau ada Pak Bos, gantian gue yang monopoli biar Mae nyengir.
Eh ... kenapa jadi gue kesal gini, ya? Semisal harapan gue dikabulkan Tuhan, gue enggak tau apa yang mesti dibicarakan sama Pak Bos. Ya gila aja kalau bicara masalah proyek atau nominal uang? Memangnya gue asistennya. Belum lagi gue mesti banget berhadapan sama tatapan laser yang bikin jantung gue enggak keruan saking takutnya.
Kalau bukan karena urusan pekerjaan, gue pribadi paling males bertemu dengan orang seperti Satria. Buat gue, ganteng aja enggak cukup untuk menemani gue ngobrol. Astaga. gue melantur amat, ya?
"Enggak nyangka kalau Kak Kiki yang jadi suami Arin. Ya ampun, dunia sempit amat, ya?"
Gue mencebik. "Puas banget kayaknya ibu hamil?"
Gelaknya lagi-lagi berderai. "Jelas, lah."
"Aku mau mandi. Abang masih mau ngobrol sama Pinpin?" Gue tekan banget panggilan itu karena jujur, gue baru tau kalau Mae sok cute banget pakai nama PinPin. Subhanallah. Dan lagi-lagi, ucapan gue ditanggapi sama tawa mereka berdua.
Fix.
Gue bangkit ketimbang mendengar mereka bicara yang sebagian besar gue enggak paham. Mana ada bicara tentang Vodka, Gin, apalagi Whiskie. G!la aja. Dan gue baru banget tau kalau ternyata, mereka satu base. Alias satu komplotan penggila games yang punya nama. Sudah base game mereka enggak banget lagi namanya. Mana ada tim Daki Monyet? Astaga, ya ampun. Gue sama sekali enggak menyangka.
Itu belum seberapa. Setelah gue tau kenyataan itu, video call yang tadi hanya terhubung dengan Mae, sudah menampilkan tampang-tampang lain yang enggak gue kenali. Atau gue kenal tapi enggak terlalu paham? Entah lah.
Salah satu di antara mereka mengenali gue, sih. Katanya gue yang heboh banget pas nikahan Mae. Iya, lah. Siapa sih yang enggak senang sahabatnya sendiri nikah setelah melalui jalan terjal gitu? kalau enggak salah tadi namanya ... Vodka? Iya. Dia. Paling tengil di antara yang lainnya.
Aduh ... enggak ada yang lebih buruk dari gue yang harus terbiasa mendengar mereka menyebutkan nama-nama minuman keras?
"Ya sudah, Pin. Si Arin sudah mulai reseh."
"Ih, Kak Kiki baru tau kalau Arin resehnya selangit? Bungkam aja sama daftar belanjaan di shoppa. Pasti nurut."
"Woi! Gue masih dengar kalian bicara, ya!" teriak gue di depan pintu kamar mandi yang ada di dalam kamar Abang. Dan ucapan gue mendapat sorak dari mereka yang masih setia nongol di layar ponsel.
"Jadi, Pin, kamu bakalan datang ke Bandung, kan?" Ini suara Abang. Tapi benar juga, sih, yang ia tanyakan. saat kemarin gue resepsi Mae enggak datang, apa kira-kira saat gue adakan pesta di Bandung dia bakalan datang?
Gue berharap banget, sih, Mae datang. Gue urungkan niat masuk ke kamar mandi sekadar untuk memastikan pertanyaan tadi mendapat jawaban yang jelas. Saat gue bersemuka dengan Abang, ia meraik tangan gue dan meminta untuk duduk kembali di sampingnya. Yah ... gue turuti saja.
"Jadi, lah." Di layar ponsel gue, Mae semangat banget tampangnya.
"Harus dong. Lo kemarin enggak datang masa iya sekarang enggak datang juga?" Gue sok mendramatisir keadaan. Pura-pura merajuk.
"Iya, sorry. InsyaAllah gue benar-benar usahakan datang. Apalagi lo nikahnya sama Kak Kiki."
"Kalau gue enggak nikah sama Kak Kiki lo ini," Gue menjeda sejenak, melirik sinis pada Abang sontak mengerutkan kening. Mungkin bingung kenapa gue seperti ini padanya. Gue sendiri enggak tau! Sumpah! "Lo enggak bakalan datang, Mae?" tanya gue tanpa menurunkan kadar sinis dalam kata-kata tadi.
Lagi-lagi, sambutan gue cuma tertawa sari Mae. "Astaga. Segitunya. Enggak, lah."
Belum lagi bisa jelas gue lihat dua orang lainnya yang ada di layar ponsel. Malah senyum-senyum gitu.
"Ke pestanya Arin yang ternyata pesta Kak Kiki juga. kak Gin jangan lupa, lho. Jangan terlambat bangun juga. Po ... lo hutang maaf sama Mas Satria."
Lagi-lagi gue mendengar mereka tergelak sementara yang namanya Vodka bicara dengan nada frustrasi. Kenapa dia memangnya, ya? Ah ... nanti gue tanya sama Abang aja. Enggak mungkin dirinya enggak mau berbagi. Ya, kan?
"Ya sudah, ya. Ini Arin kalau sudah melirik-lirik sinis gini, butuh banyak yang mesti dijelaskan. Nanti enggak dapat jatah, aku yang repot."
Mereka kembali tertawa. Terutama seseorang yang gue kenal sebagai Vodka, "Kalian sudah buka kado dari kami, kan?"
Refleks, gue dan Abang saling pandang.
"Ah, belum, ya?" katanya dengan mencibir. "Padahal seru."
"Jangan macam-macam, Vodka." Abang bicara dengan nada agak nyeremin gitu. Tapi sepertinya, di antara mereka berempat, hanya bocah tengil ini yang gayanya banyak banget. Terlihat dari tingkah serta cara bicaranya.
"Cuma satu macam." Kan, gue bilang juga apa. Tengil banget.
"Satu macam tapi bikin heboh dan takut juga kalau bakalan dimarahi sama suaminya Pinpin," kata Gin menengahi. "Yah ... pokonya congrats, Bro. Nikah juga sama yang diimpi-impikan."
Gue mengerjap pelan.
"Ya sudah, ya. Kita mau mandi." Abang mengerling jahil ke arah gue. "Bye." Dalam satu kali geser, layar ponsel itu kembali ke menu awal. Tanpa butuh mendapat jawaban juga dari mereka. Tapi gue masih tetap belum bisa mencerna kata-kata pria bernama Gin tadi. Diimpi-impikan? Maksudnya apa, ya?
"Jadi mau mandi enggak?" tanya Abang yang membuat lamun gue buyar.
"Ah, jadi. Gerah." Gue segera bangkit. Nanti lah pertanyaan ini gue tanyakan kalau sudah santai. Dan gue rasa, banyak juga yang memang butuh gue tanyakan selain kata-kata itu tadi. Paling utama, sejak kapan Abang kenal Mae? Sejak gue kenal Mae, dia memang enggak pernah banyak cerita mengenai pergaulannya.
Seperti yang gue tau, Mae ini agak tertutup. Enggak banyak yang dekat dengannya. Makanya gue heran, dia bisa seterbuka itu sama base game-nya. Apa karena sejenis? Sama-sama suka games maksudnya.
"Arin," panggil Abang kemudian. Bikin gue menoleh.
"Ya?"
"Arin mau mandi apa bengong? Apa nunggu Abang susul?"
"HAH?"
****
Masakan Mama luar biasa enak. Apa karena gue lapar, ya? enggak peduli. Yang penting gue makan banyak malam ini. seminggu sudah berlalu sejak status single gue berganti, tugas menyiapkan makan Abang secara enggak tertulis, ada dalam keseharian gue.
Bertanya nasinya sebanyak apa, mau makan dengan lauk yang mana, juga menyiapkan minum. Dan yang membuat gue merasa, apa yang gue lakukan mendapat penghargaan, ada satu kecup manis diberi pada pipi gue biarpun sekilas banget. Entah kenapa, gue berharap kebiasaan ini akan terus ia lakukan sampai kami tua nanti.
"Kalau pengantin baru memang beda, Bu. Sok mesra. Kemarin aja, ketusnya pengin bikin Ayah jitak kepala Arin."
Gue cemberut mendadak. "Ayah apaan, sih."
"Lho, Ayah mengatakan kejujuran." Ayah menatapku dengan pandangan seperti enggak punya dosa. Bikin gue keki mendadak. Ayah dan Ibu itu ... kolaborasi yang selalu serasi untuk membuat gue terpojok. Apalagi berkaitan dengan Abang. Selaluuuu, gue yang kena.
"Benar, kan, Rasyid? Arin ini ketus banget sama kamu?"
Abang?
Senyum-senyum doang! Ngeselin, kan? Enggak ada membela gue sama sekali kalau begini caranya!
"Oh, satu lagi yang paling parah," kata Ibu. Mendadak perasaan gue enggak enak. Apa sebaiknya gue dzikir, ya?
"Arin panggil Rasyid dengan Hulk."
Abang tersedak, Mama dan Bapak ngakak!
Sumpah, ya, Ibu. kalau bukan wanita paling gue sayang sedunia, mungkin sudah gue misuh-misuh sejak tadi!!!
"Kok, bisa?" tanya Mama di sela tawanya. Sudah, muka gue enggak tau lagi rupanya seperti apa. mungkin ungu, atau merah, oh ... atau jangan-jangan hijau mirip orang keracunan. Eh ... hijau, kan warnanya Hulk. Ya Allah!
"Enggak tau, Sofi. Pokoknya nama Hulk itu untuk Rasyid."
"Nah, berhubung masih ada Arin di sini sebaiknya kita tanya. Kenapa memberi nama Hulk untuk Rasyid?"
Semua orang yang ada di meja makan ini, kompak menatap ke arah gue. Gue enggak bisa berkutik sama sekali. Rasanya mau kabur tapi mana bisa? Terutama saat gue mendapati Abang yang seperti menunggu jawaban dari gue.
"Habis," Sudah lah gue memang enggak punya jalan kabur. Lebih baik gue jujur, kan? "Abang itu mirip banget sama tentara atau polisi gitu. tegap, tinggi, kekar, nyeremin pula."
Masih belum ada yang bersuara mendengar tutur dari gue.
"Jadi, yah ... Arin panggil Hulk."
Dan tawa mereka berderai puas banget. Bikin gue makin cemberut tapi itu enggak berlangsung lama, sih. Abang menyudahi sesi makan malamnya dan meminta gue untuk ikut dengannya. Gue enggak berani membantah apalagi menatap matanya. Kayak masih punya rasa bersalah, sih.
Gue mau minta maaf, deh. Tapi serius, seorang Rasyid Ananta itu memang besar dan tinggi. Benar-benar bikin gue mendongak kalau dirinya lagi cium gue, kok. Pun bikin Abang menunduk banget. Makanya lebih sering Abang merengkuh pinggang gue untuk angkat gue sedikit.
Tunggu, kenapa jadi bahas ciuman?
"Mau jalan-jalan?" tanya Abang begitu gue menyadari, kami sudah ada di garasi.
"Sudah malam, kan?"
Dia cuma terkekeh. "Memang kenapa?"
"Enggak capek?" Wajar gue bertanya. Sejak tadi dirinya sibuk terutama selesai mandi. Gue enggak mandi bareng, kok. Karena sebelum niat itu terlaksana, pintu kamar Abang diketuk dan muncul lah Bapak. Minta tolong ini dan itu.
Bikin rencana dia gagal total. Gue nyengir tadi dan sekarang dapat balasan tunai dengan ucapan Ibu.
"Arin mau nolak diajak jalan Abang, hem?" tanyanya sembari menyerahkan helm pink. Saat gue fokus menatap helm, dirinya sudah bersiap dengan motornya. Buru-buru gue kenakan helm yang tadi ia beri dan mengaitkan kancingnya. Saat sudah berhasil, gue dikejutkan akan tingkah Abang yang menyampirkan jaket yang warnanya hampir sama dengan miliknya.
Gue mengerjap pelan karena Abang telaten banget memakaikan gue jaket dan memastikan retsleting yang ada, tertutup dengan baik. "Dingin," katanya begitu.
"Tapi ... Arin belum bawa ponsel."
Keningnya berkerut. "Enggak butuh ponsel selama ada Abang."
"Ta-tapi." Jangankan untuk membantah, izin ambil tas kecil aja enggak bisa! Gue sudah atas di atas motor Ninja besarnya. Hanya satu teriakan sebagai izin darinya untuk orang rumah. Yang gue enggak sempat dengar balasannya karena suara motor Abang sudah menggema.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro