Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[32]


Baru beres rumah gue setelah tiga hari kemudian, itu pun kami bersiap pergi ke Bandung. Acara resepsi kedua di sana berlangsung hari Sabtu. Masih terasa capek tapi gue tetap harus melanjutkan acaranya, kan? Gue lihat Ibu dan Ayah masih meliki banyak stok senyum di sana. Bahagia banget gitu.

Jadi yang bisa gue lakukan pun, bergembira saja. Di sana gue enggak repot banget, kok. Orang tua Abang sudah memastikan semuanya beres. Tetangga perkumpulan ibu-ibu ghibah rekanan Ibu, mau ikut. Bikin repot banget, kan? tapi mereka semua terlihat girang banget saat gue bilang, "Ya sudah boleh ikut. Tapi ibu-ibu jangan macem-macem kayak bikin acara sendiri, ya? Nanti hilang."

Mereka kayaknya mau nyerbu gue pakai jitakan setelah gue bilang begitu. Katanya, "Memang kami anak kecil, Rin. Udah deh, ini urusan ibu-ibu. Kamu mah enak aja diiringi sama kita-kita. Apa perlu baa band tabok juga?"

Subhanallah.

Band tabok itu marawisan yang sering diadakan di masjid dekat rumah, di mana anggotanya ada dari ibu-ibu satu genk dengan Ibu juga pemuda karang taruna. Dan yang bikin gue terharu, mereka benar-benar melaksanakan niatnya. Akomodasi hasil patungan semua yang mau ikut ke Bandung. katanya juga, sekalian liburan. Sudah lah. Ibu-ibu dan tempat wisata. Enggak bakalan terpisahkan.

Ibu bilang, mereka berangkat jumat sore ke Bandung dan Abang menyediakan satu tempat khusus untuk mereka. Karena gue baru tau, kalau pesta pernikahan gue di Bandung diadakan di villa yang ada di Lembang. Jadi semuanya ditempatkan di sana. Gue biarkan saja lah. yang terpenting kami semua lancar sampai di tempat dan acara terselenggara dengan baik.

Bagi gue itu sudah lebih dari cukup.

"Arin mau tinggal di Bandung dulu sementara waktu?" tanya Abang sembari menyetir mobil Ayah. Gue di sampingnya sejak keberangkatan siang ini. ibu memutuskan kami berangkat di hari kamis siang. rombongan ibu rempong itu jumat sore dikomando oleh Pak Roni, Pak RT setempat. Gue pasrah saja untuk rencana itu.

"Sekalian keliling Bandung?"

Dia tertawa.

"Arin kayak anak kecil enggak pernah diajak jalan-jalan, Rasyid. Jadi maklumi saja."

Gue menoleh dan mendapati Ibu terkekeh setelah bicara seperti itu. Nyebelin banget memang ibu gue ini tapi gue sayang banget.

"Iya. Kita keliling Bandung nanti, ya." Tuh, Abang aja enggak nyebelin-nyebelin amat. Dia malah mengusap rambut gue dengan lembut.

"Oiya, Rasyid. Nanti rencana kalian gimana untuk tinggal setelah menikah?"

Ah, masalah ini belum gue bicarakan secara benar-benar sama Abang, sih.

"Sementara Rasyid urus klinik di Makasar sembari minta tolong Bapak cari tempat bagus di sekitar Jakarta, Rasyid di Makasar dulu, Yah."

"Enggak masalah nantinya?" tanya Ayah lagi. Gue tim menyimak saja. pengin tau aja rencana Rasyid yang akan dikemukakan sama Ayah kali ini.

"InsyaAllah enggak. doakan saja lancar, Yah."

"Nanti Ayah coba bantu cari toko yang sesuai kriteria kamu."

"Iya, Yah." Gue lihat Rasyid melirik sekilas pada Ayah dan kembali fokus pada setir. Kami dalam perjalanan santai biar enggak terkesan terburu-buru sekali. Makanya Ibu memilih di hari kamis untuk datang ke rumah Rasyid yang ada di Bandung. Tante Sofi kegirangan banget saat gue kasih tau jadwal kedatangan gue maju satu hari dari yang seharusnya. Juga kabar kalau ibu-ibu di lingkungan rumah gue, turut serta. Katanya, biar tambah ramai.

Padahal enggak begitu juga. Buat gue, para ibu rempong ini sekalian mau jalan-jalan.

"Kalau nanti belum bisa kontrak rumah karena mau pindahin klinik, kalian tinggal di rumah Ibu dulu. Kami enggak keberatan sama sekali. Ya, kan, Yah?" kata Ibu kali ini.

"Enggak, Bu. insyaAllah bisa kontrak sendiri biarpun enggak besar. Rencara Rasyid setelah pindah kliniknya, kalau enggak memungkinkan kontrak mau cari yang di atas klinik bisa untuk tinggal juga. Jadi sekalian biar Rasyid enggak mondar mandir ke klinik juga."

Gue belum berpikir sampai sejauh ini, sih.

"Yah, sekiranya enggak ketemu yang bisa untuk tinggal, sementara waktu tinggal di rumah Ibu juga enggak masalah, Rasyid."

Gue lihat Rasyid hanya tersenyum menenangkan Ibu. Saat gue bersitatap sekilas, senyum itu masih melekat tapi bikin gue penasaran. Nanti kalau gue sudah benar-benar berdua, akan gue tanya jelas mengenai hal ini.

Sisa perjalanan ke Bandung kali ini, gue memilih menikmatinya saja. Obrolan ketiga orang yang ada di dalam mobil, random semua. Diseling tawa dan kadang Ibu memberi nasihat di mana gue dilibatkan di antaranya. Mengambil cara paling aman, "Iya, Bu." Atau. "Iya, Yah." Ah, satu lagi. "Oke, Bang."

Aman, kan? Enggak pakai berdebat panjang lebar dan enggak banyak bantahan.

Hingga mobil yang dikendarai Abang memasuki pekarangan rumah yang cukup asri ini. Di depannya, ada mobil lain yang sudah terparkir yang gue kenali sebagai mobil dari Om Gilang, bapak mertua gue.

Kedatangan kami disambut hangat banget oleh Mama—gue enggak boleh lagi memanggil mereka dengan sebutan Om dan Tante. Sementara Mama menarik Ibu ke area kebanggaannya, taman di belakang rumah. Begitu datang soalnya mereka berdua ini sudah heboh dengan obrolan seputar tanaman koleksi mereka. Oh jangan lupa, Ayah dan Bapak. Kompak, mereka ke dalam untuk ngobrol ditemani kopi dan singkong goreng.

Lengkap banget, kan?

Dan entah kenapa, sebersit rasa hangat yang kian nyata benar-benar mengisi relung hati gue, sepertinya mereka benar-benar bahagia dengan pernikahan anak-anaknya ini.

"Kenapa senyum-senyum gitu?" tanya Abang yang membuat gue mengerjap pelan.

"Enggak kenapa-napa," kata gue sedikit gugup. "Ini barangnya mau ditaruh di mana?" Seketika gue ingat barang-barang yang Ayah turunkan dari mobil. Masih berserak di ruang tamu rumah Rasyid dan sudah ditinggal Ibu dan Ayah? bagus banget memang mereka berdua.

"Nanti dirapikan Bi Tini. Ayo, ikut Abang."

Gue memang pas menyemat nama Hulk buat dia, kok. Dua koper miliknya juga punya gue, dia tenteng dengan mudahnya. Naik ke tangga menuju kamarnya, mungkin, dengan gue yang hanya membawa tas kecil berisi dompet dan ponsel saja. Mata gue mengedar memperhatikan segala hal yang ada di rumah ini termasuk banyak potret yang tertempel di dinding sekitar tangga.

Foto-foto Abang gue rasa, berjejer rapi di sana. bikin gue mendadak berhenti melangkah saat mendapati seorang bayi kecil dalam posisi tengkurap, tertawa lucu menghadap kamera. Enggak dalam keadaan telanjang, kok. Pakai baju lucu gitu. potret masa kecil dengan bingkai lama tapi masih terawat banget ini.

Satu per satu pada akhirnya potret itu gue pandangi. Seiring berjalannya waktu, sosok itu berganti mulai dari mengenakan seragam TK hingga memakai toga. Tapi ada satu yang enggak eprnah berubah; senyumnya. Gue sampai enggak sadar mengulas senyum di bibir juga jemari gue yang mengusap pigura itu. hingga ...

"Ya Allah, Rin. Bilang kenapa kalau berhenti di sana. Abang nyariin."

Disangka gue ngilang ke mana memangnya? Gue mencebik merespon ucapannya barusan.

"Kamu ngapain memangnya?"

"Memperhatikan bayi lucu yang sekarang jadi suami. Puas?"

Dia ngakak. Sialan banget memang seorang Rasyid ini. "Sini kalau mau puas melihatnya. Abang punya koleksi yang lain. Ada di kamar."

Wah ... kesempatan banget buat meledek dirinya melalui foto lama. Pasti banyak pose yang lucu dan bikin gemes. Gegas gue melangkah buru-buru mendekatinya. Menyambut uluran tangan yang sejak tadi ia arahkan ke gue di ujung anak tangga paling atas.

"Kenapa Abang milih kerja di Makasar ketimbang di sini?' tanya gue setelah dirinya mendudukkan gue di karpte tebal yang ada di samping ranjangnya. Kamar pria yang pertama kali gue masuki—kalau sama Hekky, gue selalu ada di ruang depan kostnya, kok. Enggak pernah mampir ke rumahnya karena jauh. Kalau kostnya dekat sama kantor saat itu.

Kesan rapi juga bersih sudah bisa gue rasakan saat kaki ini menapak pada lantai kamar Abang. Tak ada yang istimewa di sini gue rasa kecuali satu lemari besar penuh dengan ... tunggu ... gue enggak asing banget sama ini.

"Magang di sana eh .. jadi keterusan. Lagian Mama enggak pernah larang untuk kerja di mana saja asal halal dan bisa jaga diri," katanya kemudian tapi enggak terlalu gue gubris. Gue memilih mendekat pada lemari kaca yang ada di sudut kamarnya.

"Lho ... ini, kan, Lightning? Lho, ada Kai juga? Ini yang limited, kan?" Biarpun otak gue tumpul banget sama action figure, tapi kalau setiap shopping si Mae selalu menjejal gue sama koleksinya hanya sekadar biar gue memperhatikannya, lama-lama gue hapal di luar kepala lah.

"Kamu tau?" tanya Abang dengan nada yang berbeda kali ini. Kayak ada antusias yang besar bagnet begitu mengetahui kalua gue sedikit banyak paham mengenai apa yang jadi koleksinya.

"Tau lah. Sahabat aku suka banget koleksi ini. Pas nikahan kemarin aja dia cosplay salah satu karakter game-nya. Lupa aku namanya. Tapi kayaknya ada deh fotonya."

"Wah ... serius? Kalau ada yang sama-sama suka sama koleksi seperti ini, seru Neng ngobrolnya."

Gue melirik sekilas pada Abang yang terlihat masih gembira itu. "Gitu lah. sahabat aku juga hobi banget main game. Apa itu? Final Fantasy? PUBJ? Aku kurang paham tapi konsentrasi banget dia mainnya."

"Kamu tau usernya? Siapa tau bisa main bareng. Pasti seru."

"Abang hobi main games-nya akut juga?" tanya gue penuh selidik. Gerak tangan gue mencari foto pernikahan Mae di arsip memori sedikit terhenti.

"Iya. Tahun lalu habis menang lomba. Juara tiga. Hadiahnya masih ada belum Abang cairkan." Lalu ia beranjak, mengambil salah satu foto yang belum sempat menjadi penjelajahan mata gue di sini. "Siapa nama usernya? Kasih tau Abang kalau tau."

"Ehm ... kalau enggak salah, Pina Colada apa, ya?"

Geraknya mengambil bingkai itu terhenti. Matanya langsung menatap gue dengan pandangan enggak percaya gitu. Ada apa, sih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro