Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[31]


Gue enggak banyak berdiam diri di kamar. Rumah gue masih berantakan, by the way. Gue enggak mungkin diam saja di kamar berduaan sama Abang. G!la banget. Walau sepanjang gue selesai mandi hingga sekarang ada di pekarangan rumah sekadar memperhatikan orang dari pihak tenda mengangkat barang-barang mereka, pikiran gue tertuju pada satu hal.

Siapa Dini?

Dari bahasa yang dipakai, kayaknya hubungan mereka enggak bisa dibilang sekadar teman. Ya, kan? Ah, gue harus tanya Abang kalau begini. Enggak mungkin gue diam saja memikirkan ini semua sendirian. Setelah semua yang terjadi di hidup gue? Bohong rasanya kalau gue enggak penasaran. tapi gue enggak mungkin mengonfrontasi langsung Abang di saat sekarang.

Kami benar-benar sibuk.

"Arin sudah shalat?" tanyanya ketika masuk ke kamar. Setelah memastikan orang tenda tadi pergi mengangkut kursi dan akan kembali untuk mengambil tiang-tiang tenda, gue memilih masuk ke kamar. Mau duduk di ruang tamu belum terlalu rapi, jadi gue masuk ke kamar saja. Sekalian nonton drama.

"Sudah. Baru selesai." Gue lihat Abang banjir peluh. "Abang habis ngapain?" Cukup penasaran gue soalnya memang gue enggak melihat dia sejak keluar kamar tadi.

"Bantu Ibu di belakang."

Gue mengangguk saja. "Abang mau mandi? Sekalian sholat?"

"Iya."

Yang gue lakukan sekaran segera menyiapkan baju untuknya. Dan rasanya tepat kalau setelah ia beres melakukan aktifitasnya, gue bertanya Dini itu siapa. Jadi yang gue lakukan sekarang, menunggu.

Saat gue mengambil sisir dari meja rias, ponsel Abang masih dalam posisi yang sama seperti tadi gue pagi gue lihat. Apa dia enggak bawa ponsel sejak tadi, ya? Gue makin penasaran jadinya. Biasanya pria itu enggak bisa lepas dari gadget; entah hanya sekadar berselancar main games atau chat dengan kumpulannya.

Tapi Abang?

Gue berdeham kecil menutup gugup karena Abang tau-tau keluar kamar mandi. Bukan perkara karena dia setengah telanjang, tapi gue enggak enak rasanya dia tau gue memperhatikan ponselnya.

"Itu baju Abang, ya?"

Sebagai jawaban gue mengangguk.

"Abang sholat dulu, ya. Lain kali, panggil Abang. Kita jamaah."

Entah kenapa gue malah tersenyum dengan kata-katanya. "Siap, Bos!"

Yang Abang lakukan cuma nyengir dan langsung bergegas menunaikan kewajibannya. Gue masih setia duduk di dekat meja rias. Sudah enggak menarik lagi ponsel Abang. Justeru sosoknya yang berdiri gagah di atas sajadah benar-benar menarik mata gue untuk dipuaskan.

Bertumpu pada tangan, gue benar-benar enggak putus mengamati tiap geraknya. Gue sendiri enggak tau kenapa dirinya menarik saja untuk gue perhatikan.

"Rin,"

Lamun gue pecah begitu saja begitu mendengar suara Abang memanggil. Kapan dia selesai? Perasaan mata gue enggak ke mana-mana sejak dia mulai shalatnya. "Ya?"

"Duduk sini." Abang sedikit memutar duduknya. Menepuk pelan sisi di dekat sajadahnya. "Abang mau bicara."

Gue mendekat. Kebetulan juga gue memang mau ngomong, kan? saat gue menjatuhkan bok*ng di dekatnya, ia malah menggeser gue seenaknya.

"Di sini. Di pangkuan Abang."

Gue pikir yang dimaksud pangkuan itu, di salah satu kakinya saja. tapi bukan! Benar-benar di pangkuannya dengan ia yang mendekap gue. Seenaknya mencium leher gue tanpa izin walau gue enggak bakalan nolak, sih. Belum lagi menggesek ujung hidungnya di sana. kan ... nyebelin!

"Mau ngomong apa?" Gue berusaha banget untuk enggak menikmati sentuhannya. Nanti gue lupa kalau ada yang harus gue tanyakan. Enggak. Jangan sampai. Harus tuntas dulu biar hati gue enggak mengganjal tentang ini.

"Ah, tentang ini." Abang mengurai sedikit dekapnya. "Neng tau, kan, pekerjaan Abang?"

"Tau. Dari Ibu."

"Seharusnya tnya langsung ke Abang, Neng."

Gue mengedikkan bahu. "Siapa, sih, di sini yang korban pertunangan? Arin, lho."

Dia ngakak. "Kesannya nikah sama Abang itu musibah banget, ya." Dia mencubit hidung gue agak ditekan bikin gue megap-megap mendadak. Saat ia melepaskan dengan bibir gue yang masih menganga lebar mencari udara, dengan serampangan dia meraup bibir gue. Menenggelamkannya dalam cium yang cukup lama. "Yang terpenting sekarang Neng sudah ikhlas Abang nikahi."

Gue mencebik.

"Oke, balik lagi ke pembahasan tadi. Kalau yang Ibu bilang Abang ini seorang dokter hewan, itu benar. Di Makasar Abang buka beberapa klinik dan pets shop. Jam kerja Abang tergantung masing-masing jadwal, dan Arin sudah tau kan?"

Gue mengangguk.

"Sebenarnya Abang pengin tinggal di sana karena selain toko memang sudah ada di sana, Abang kesaran aja dengan suasana di sana. Pulang ke bandung kalau pas hari raya atau kunjungan per tiga bulan sekali ke rumah Mama."

"Terus?"

"Tapi berhubung Arin enggak mau ke Makasar, jadi mulai nanti setelah kita selesai serangkaian pernikahan di Bandung, Abang sudah bersiap untuk pindahin klinik ke Jakarta."

Gue mengerjap pelan. "Memangnya bisa?"

"Kenapa enggak bisa?"

"Bukan," Gue menggeleng lantaran salah bicara. "Arin tau itu bisa dipindahkan, maksudnya, apa enggak sayang? di sana sudah banyak langganan?"

Dia terkekeh pelan, jemarinya membawa helai rambut yang jatuh membelai pipi gue ke selipan telinga. "Arin enggak mau ikut Abang, kan? Abang enggak tau bisa atau enggak terlalu lama LDR gitu. Makanya Abang putuskan untuk memindahkan klinik ke jakarta saja."

"Buka baru?"

"Iya. Dari nol lagi. Dan itu enggak mudah."

Gue menelan ludah pelan.

"Mau temani Abang melangkah di tempat baru, kan?"

"Emang Neng bisa nolak?"

"Enggak ada pilihan nolak, sih."

Kami tertawa pada akhirnya. Tangan Abang yang besar itu memang sejak tadi menahan pinggang gue dan kali ini, digunakan untuk menarik gue agak lebih mendekat.

"Oiya, Abang. Neng boleh tanya?"

Kegiatan Rasyid saat menggigiti bahu gue padahal masih menggunakan kaus, terhenti. Matanya segera menatap gue enggak sabaran.

"Tadi ada pesan masuk dari Dini. Siapa Dini?"

"Oh, itu rekanan Abang di toko. Pemasok beberapa barang. Kok tau Dini? Dari mana?"

"Dia tadi pagi kirim pesan. Abang enggak baca?"

"Oh, ponsel Abang di kamar kayaknya." Pelan, Abang menggeser gue untuk turun dari pangkuannya. "Nah, masih ada di sini rupanya."

Gue pikir, dia bakalan sibuk dengan ponselnya mengabaikan gue. Ternyata enggak. Malah gue kembali didudukkan tepat di atasnya.

"Astaga. Cewek g!la."

Yang kasar itu gue. Sejak awal bertemu gue memang enggak mau menutupi betapa bibir dan kelakuan gue banyak minusnya pada Rasyid. Harapan gue cuma satu saat itu, dia batalkan pertunangan kita ini. Eh ... malah jadi benar-benar sah. Dan baru kali ini gue mendengar Abang bicara kasar di depan gue.

"Abang enggak ada hubungan apa-apa sama Dini. Memang dasar cewek aneh."

"Dia suka sama Abang?" terka gue dengan mudah.

"Mungkin. Enggak tau." Ponsel itu ia singkirkan tanpa membalas pesan Dini tadi. Gue bisa melihat dengan jelas soalnya. Hanya dibaca tanpa berniat sama sekali berkirim balas. Lalu menarik gue untuk kembali naik ke pangkuannya.

"Masa enggak tau." Gue mendadak gemas. Berhubung jarak kami kembali sangat dekat, gue gigit kecil rahangnya yang tegas itu. Gue dengar ia mengeram kesal tapi enggak mendorong gue menjauh. Artinya, gue diperbolehkan menggigit rahangnya kalau gemas.

"Tau, tapi enggak peduli."

"Kenapa gitu?" tanya gue yang kini menatapnya. Membuat Abang sedikit menurunkan matanya membalas tatap gue.

"Enggak penting. Yang penting untuk Abang itu, Mama, Bapak, dan Arin. Dan orang tua Arin sekrang. Sisanya enggak."

"Auch! Neng harus terharu atau enggak?"

"Kasih Abang cium aja ketimbang terharu."

Gue ngakak.

***

Namanya juga pengantin baru. Selepas shalat isya, lagi-lagi kami bernegosiasi di atas ranjang. kali ini ranjang gue benar-benar hanya dilapis sprey yang biasa gue gunakan. Semua dekorasi sudah dilepas dan gue bersyukur setelahnya.

Ternyata bikin sumpek mata dekorasi ranjang pengantin. Mungkin kalau di hotel akan lain perkaranya, ya?

Duh, Rin! Otaknya digunakan jalan-jalan ke mana coba malah membayangkan kamar pengantin di hotel?

"Kalau sakit, Neng harus bilang," katanya di sela-sela kegiatan kami.

"Au! Sakit."

Kegiatan yang Abang lakukan, terhenti. "Beneran Abang cium d*danya sakit?"

Gue ngakak lah! "Jangan kencang-kencang isapnya. Nanti merah banget bekasnya, Abang."

Dia cuma mengeleng kecil. Bukannya berhenti, gue rasa tindakannya makin jadi. Gue lihat, Abang kembali menggunakan mulutnya untuk meraup bongkah d*da gue. Enggak lama, kembali ia susuri area perut gue dengan gerak pelan yang bikin gue menggeliat kegelian.

Dan saat kepalanya sudah tepat berada di belah paha gue, dia terdiam. Lalu matanya kembali menatapku seolah meminta persetujuan. Gue pasrah saja lah. Enggak punya daya apa-apa lagi dengan segala sentuhan yang gencar banget dia lakukan sejak tadi.

Semuanya enggak ada yang terburu-buru. Membuat gue benar-benar merasakan bagaimana diperlakukan selembut sutera oleh Rasyid Ananta. Apalagi saat ciumnya yang berubah penuh tuntutan. Aduh ... rasanya gue sudah kalah dalam mengimbangi.

Dan satu hal yang paling gue sukai dari semua hal yang dia lakukan atas gue. Usapan di punggung gue. Benar-benar bikin gue melayang dan lupa kalau itu baru permulaan. Dan hal kedua yang sepertinya akan menjadi favorit nomor satu, saat Abang menenggelamkan diri di antara kedua paha gue.

Mempermainkan gue seenak hati dengan penuh perasaan. Bikin desah gue makin enggak keruan dan cengkeraman tangan gue padanya makin kuat.

"ABANG!" pekik gue tak tertahankan lagi. Debu napas gue memburu setelahnya. Dada gue turun naik, bisa gue saksikan sendiri. Sementara Abang? Tersenyum senang di sana.

"Siap?"

Enggak ada yang bisa gue lakukan selain mengangguk pasrah.

"Kali ini Abang pelan-pelan banget, ya."

Terserah lah. Gue pasrah aja.



****

Berhubung kisah Hulk mau kujadikan series, untuk Nemo aku pisahkan, ya. 

Bakalan kurombak untuk seri Whiskey di mana Hulk yang jadi peran utama. Hahhahha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro