[30]
__Explisit conten__
"Kamu serius?"
Gue enggak berani mendongak. Memilih menenggalamkan diri dalam dekapnya sembari menggosok ujung hidung pada dadanya. Kayaknya bakalan jadi kebiasaan baru yang gu suka, deh.
"Kalau belum siap juga enggak apa. perkara nikah bukan sebatas malam pertama aja."
"Iya lah. soalnya bakalan ada malam lainnya selama enggak ada kata cerai di dalam pernikahan."
Jidat gue yang mulus ini kena sentil. Sakit banget astaga! "Sakit!" Gue mendongak dan mendapati Hulk eh Bang Rasyid mendelik marah ke arah gue.
"Sekali lagi bilang gitu, Abang marah."
Ketimbang gue menjawab, lebih baik gue mengangguk saja. Urusan langsung beres. Kami saling diam tapi mata kami sama sekali enggak teralih ke mana-mana. Dan gue enggak tau siapa yang memulai, kalau bibir kami pada akhirnya saling melekat.
Gue pernah berciuman, kok, sama Hekky. Mulai dari yang biasa aja sekadar tempel hingga saling melumat tapi setelahnya ... selesai. Kami enggak sampai melanggar batas apa-apa. Tapi kali ini, beda. Serius. Beda banget.
Debar yang gue rasa kayaknya enggak pernah berhenti bahkan makin jadi saat Bang Rasyid mulai menggunakan ujung lidahnya menyapa seluruh permukaan bibir gue. Enggak ada yang terburu-buru dalam geraknya. Semuanya dia lakukan dengan segenap hati gitu. Gue bisa merasakannya. Juga saat gue membalas tiap hal yang ia beri, sama sepertinya.
Gue lakukan segenap hati, sepenuh jiwa, dan yah ... walau belum ada rasa cinta, gue sudah enggak bisa berpaling, kan? Selain membiarkan hati gue perlahan jatuh padanya, apalagi yang bisa gue lakukan? Enggak ada.
Perasaan Bang Rasyid. Gue bukan orang bodoh yang enggak tau, kalau dirinya sayang sama gue. Buat gue itu sudah lebih dari sekadar cukup untuk menjalani hidup bersama. cinta bakalan kita raih sama-sama juga, kok. Gue yakin itu.
"A-abang," desah gue gelisah. Sejak ia mengekplorasi bibir gue, sengaja gue memejam. Merasakan dengan amat sentuhannya. Dan ketika gue membuka mata, dirinya sudah benar-benar ada di atas gue.
Matanya sudah enggak lagi memandang gue dengan cara yang sama seperti sesaat sebelum dia cium gue.
"Benar boleh?"
Walau ragu, gue mengangguk kecil. "Tapi ... pelan-pelan, ya. Katanya sakit."
Dia membungkam ucapan gue pakai cium yang kini berubah menjadi lebih menuntut. Jemarinya yang tadi menggenggam tangan gue, sudah ia pergunakan untuk mulai melepas kancing piyama gue. Sesekali juga ujung jemarinya dia pergunakan buat menyentuh tubuh gue, di mana saja yang menurut gue, enggak tentu tapi bikin gue kelojotan.
Dia urai cium yang tadi, memberi jeda sejenak buat sama-sama mengisi udara. G!la aja kalau dia enggak beri gue napas, bisa mati keenakan karena ciuman. Ya Allah, Rin! Enggak ada yang lebih bagus dari itu pemikirannya?
"Arin benar-benar siap?"
"Kenapa tanya terus, sih? kalau enggak mau ya sudah, minggir dari atas Arin!"
"Galak banget. Kan, cuma tanya." Bang Rasyid tersenyum mendengar kata-kata gue. menyingkirkan helai rambut yang mengenai sebagian pipi. "Galak tapi cantik gini, gimana Abang enggak bertekuk lutut coba?"
Gue berdecak. Sedikit menopang tubuh dengan kedua siku. "Ini mau dilanjut atau enggak? Kalau enggak Arin mau kancingi piyamanya. Dingin."
Yah ... coba aja kalian bayangkan. Ini kemeja piyama gue sudah semuanya dibuka sama Hulk. D*da gue sudah bisa dia lihat sempurna banget gini, malah dia masih bernegosiasi aja. Kelamaan, kan? Eh ... responnya malah tertawa. Sampai matanya sipit gitu saking gelinya. Ya sudah, gue enggak main-main juga berkata seperti tadi. Tapi gerak gue langsung berhenti saat Bang Rasyid menahan tangan gue, membawanya sedikit ke atas dengan satu tangannya.
Sementara tangan yang lain, benar-benar untuk menjelajahi seluruh area permukaan kulit gue yang tertangkap matanya. Mulai dari sudut bibir gue, beralih ke leher bagian dalam ia gigit dan is*p dengan cukup keras—bikin aliran darah gue rasanya enggak ada lagi di tubuh, lantas beralih ke belahan d*da yang masih tertutup bra.
Jangan tanya reaksi tubuh gue. Tangan gue pun enggak tau kenapa justeru pengin banget dilepas. Enggak enak banget ditahan begini. Rasanya gue pengin menyentuh Abang juga. tapi kayaknya dia belum mau melepaskan.
Semua sentuh yang ia beri bikin napas gue terengah dan turun naik dengan cepat. Mungkin ada sela di mana ia manfaatkan ketika d*da gue sedikit membusung—gue enggak ingat karena apa tapi yang jelas ada rasa perih sedikit di bagian d*da—tangan Abang itu dipergunakan untuk melepas kaitan bra yang masih setia ada di punggung.
Dan saat itu juga, tangan gue ia lepaskan. Sontak bikin gue setengah bangun dari rebah. "Abang curang!"
Dia hanya terkekeh.
Bra gue sudah lepas kaitannya tapi belum terbuka sempurna, masih menggantung talinya dan kemeja piyama gue sendiri sudah enggak keruan letaknya.
"Neng juga mau sentuh Abang emangnya?"
Gue mencebik saja. Bisa-bisanya di saat seperti ini kami ... astaga! Justeru seperti orang negosiasi? Sejak tadi? G!la aja!
"Melihat wajah Neng seperti ini, Abang kasih akses seumur hidup untuk menyentuh Abang di mana pun. Sebebas Arin."
Gue memicing curiga.
Dan detik itu juga, seorang Rasyid Ananta membuka kausnya dengan gerak cepak. Menampilkan dadanya yang bidang. Gue pernah bilang, kan, kalau dadanya ini menggoda? Penginnya ada di pelukannya terus dan enggak mau beranjak? Apalagi sekarang! Yang ditutupi kaus saja bikin gue gelisah. Enggak mampu gue bayangkan lah kalau begini jadinya.
"Kita sama. Dadanya sudah enggak tertutup baju."
"Yang bikin Arin begini juga Abang." Gue mengerucutkan bibir. Tapi berengseknya tangan gue, malah maju dan mulai menyentuh hal yang sudah menguasai isi kepala gue. Mengenai bagaimana bentuk d*da suami gue yang memang pelukable ini. Mulai dari atas gue susuri dengan ujung jemari seperti tadi ia lakukan pada tubuh gue.
Pelan dan kadang berhenti. Lalu mengambil jarak ke bagian lain dengan cara yang sama; pelan dan penuh perhitungan. Enggak mau buru-buru karena entah kenapa gue memang enggak mau segera menyelesaikan sesi ini. Saat gue mendongak, gue melihat Abang memejamkan mata. Kayak pasrah gitu gue berbuat seenaknya di dadanya.
"D*da Abang bagus." Memang iya, itu pujian yang layak dia dapat karena apa yang dia miliki ini.
Gue memekik kaget karena Abang enggak pakai aba-aba saat menjatuhkan gue lagi. tangannya ia bawa menangkup wajah gue sembari ibu jarinya mengusap pipi gue dengan lembut. Sekali lagi, kami berciuman.
Dan kali ini, gue tau semua tindakan yang Abang lakukan berakhir dengan dia yang ada di dalam gue. utuh. Dan jangan lupakan betapa sakit saat pertama kali bagian dirinya menyapa gue.
***
Gue enggak tau apa memang ponsel gue kehabisan baterai atau memang lupa memasang alarm. Gue bangun super telat. Bahkan lupa shalat subuh! Aduh ... rasanya campur aduk! Terutama saat membuka mata, ada Rasyid di dekat gue.
Tangannya yang besar melingkar di pinggang. Napasnya teratur tanda Abang masih pulas dalam tidurnya. Gue melirik sedikit pada tubuh gue yang sudah lengkap mengenakan piyama lagi walau tanpa bra. Biasanya juga gue tidur enggak pakai penopang payudar@ hanya saja semalam gue masih belum terbiasa ada sosok lain di kamar gue.
Sedikit merenggangkan diri dari peluknya—enggak gue lepaskan karena masih pengin ada di pelukannya—gue melihat cincin yang kemarin dia semat untuk gue. Cincin ini sederhana tapi entah kenapa saat ia kenakan ke jemari gue, rasanya spesial banget. Gue putar sedikit, mengamati cincin pernikahan gue ini. cincin yang dia bilang, terukir namanya sebagai simbol kalau gue adalah miliknya.
Dia bilang hal itu saat sesi foto setelah akad kemarin. Bikin gue termangu sesaat dan kata tukang fotonya, bagus banget ekspresinya. Mempelai pria seperti membisikkan sesuatu sementara gue kayak shock gitu. Padahal memang benar begitu! Jago juga suami gue bikin moment seperti itu. Gue pikir muka dan hidupnya datar saja.
Ternyata enggak. Bisa banget si Minim Ekspresi ini bikin gue kelabakan.
"Kenapa senyum-senyum gitu?"
Gue kaget! Ya Allah, kapan sih dirinya enggak mengagetkan gue gini? Sontak gue sembunyikan tangan gue dan kembali mendorong d*danya agar makin berjarak. Sepertinya sudah cukup peluk Abang untuk gue. Gue mau mandi dan makan.
Lapar.
"Kalau ditanya sama suami tuh dijawab, Rin."
Gue berdecak pelan. "Enggak ada apa-apa."
"Masih sakit enggak?" tanyanya sembari menopang kepalanya dengan tangan. Dirinya sudah benar-benar bangun rupanya. Sejak kapan? Apa dia diam-diam mengintip gue yang memainkan cincin sembari senyum-senyum? Malunya gue kalau benar itu yang terjadi.
"Sakit?" Ah, mendadak gue ingat perkataannya semalam.
"Abang kalau enggak masuk semuanya, Arin bisa lebih sakit lagi. tahan sedikit, ya."
Gue Cuma bisa mengangguk tapi yakin lah rasanya benar-benar enggak terbayang sebelumnya.
"Abang janji kali ini saja sakitnya, selebihnya enggak."
"Rin?"
Gue mengerjap heboh. "Ah ... itu ... ehm ... enggak tau. Belum dirasain lagi."
Abang terkekeh. "Kalau nanti berhubungan lagi, Arin bilang kalau kasar, sakit, atau enggak nyaman, ya. jangan sungkan."
Gue menatap Abang dengan pandangan bingung. "Enggak ngerti."
"Nanti juga ngerti. Abang duluan yang mandi atau Neng? Atau Neng mau Abang mandiin?"
"Abang mandi duluan, deh. Neng siapkan baju Abang. Hari ini enggak ke mana-mana, kan?"
"Selasa aja kita jalan keluar, ya? pacaran sah?"
Gue tertawa saja lah. Ternyata Hulk enggak sedatar itu, kok. Biarpun kata-katanya on point dan terkesan enggak pakai basa basi. Yah ... gue berharap, hubungan kami ini langgeng selamanya. Begitu punggungnya menghilang di balik pintu kamar mandi, gue bergegas menyiapkan pakaian untuknya.
Juga untuk gue sendiri. Saat turun ranjang, barulah gue merasakan ada rasa perih yang agak mengganggu. Mungkin ini yang tadi dia maksud, ya? Tapi bakalan cepat hilang, kan, ya? Apa gue tanya Mae, ya? Aduh ...
Ketika gue mengambil ponsel yang ada di meja rias, memang ponsel gue kehabisan baterai ternyata. Makanya alarmnya enggak hidup dan bikin gue terlambat bangun. Gue lihat, ponsel Abang pun ada di meja. Tergeletak begitu saja. namun saat gue akan mencolok kabel, ponsel Abang bergetar.
Pesan yang masuk tertampil sempurna di layar.
Dini : Mas, kamu di Jakarta sampai kapan? Klinik gimana?
Gue mau menyentuh tapi keburu getar lagi tanda ada pesan lain masuk. masih dengan pengirim yang sama.
Dini : lupa bilang, happy wedding. Semoga mengerti kalau perjodohan kadang enggak berhasil. Apalagi kamu bilang calon kamu, kasar. Enggak kayak aku.
Belum habis semuanya gue cerna, ketukan di pintu kamar gue bikin segala hal yang berlarian di kepala gue buyar begitu saja.
"Arin, Rasyid, masih belum mau bangun? Sudah jam sembilan, lho. Kalian enggak lapar memangnya?"
****
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro