Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[29]

Serangkaian pesta pernikahan ini bikin gue benar-benar capek. Butuh mandi dan segera naik ke ranjang lalu bablas tidur hingga besok siang. Serius. Capek banget. Bingung kenapa juga banyak tamu undangan yang seperti enggak habis-habis. Tapi gue agak kecewa, sih. Mae enggak bisa datang. Diwakilkan oleh Pak Bos beserta rombongan teman kantor lainnya.

Pak Satria bilang, Mae keram lagi perutnya. Gue mendadak sedih dan khawatir gitu. Tapi Satria memastikan kalau Mae hanya butuh istirahat dan gue enggak masalah dirinya enggak datang di hari bahagia gue. Yah ... anggap lah gue bahagia. Kalau senyum-senyum terus tandanya bahagia, kan?

Setengah jam sebelum acara benar-benar berakhir, gue memilih masuk ke kamar. Soalnya Mbak Rini bilang mau bantu gue untuk mempereteli semua yang gue kenakan. Gue yang minta, by the way. Sudah terlalu capek kalau harus berdiri lagi dan rasanya juga lengket seluruh badan. Enggak nyaman.

Menghapus make upnya pun berkali-kali karena gue enggak terbiasa mengenakan setebal ini. setelah dirasa semuanya bersih dan gue sendiri sudah bersih alias selesai mandi, gue memilih mengambil ponsel yang sejak tadi berdiam saja di dekat dompet. Banyak sekali pesan masuk tapi yang gue pilih hanya lah pesan dari Mae.

Permintaaan maaf. Gue balas segera dengan doa biar dia cepat sembuh. Kasihan kalau keadaannya seperti saat gue antar ke rumah sakit seperti kala itu. Gue masih ingat betapa wajahnya kesakitan begitu.

"Rin, ini kado-kado mau ditaruh di mana?" tanya Ibu tanpa aba-aba dan langsung membuka pintu kamar gue. Kaget, lah. Untung gue sudah pakai baju walau rambut masih dililit handuk.

"Di mana, ya, Bu? Arin bingung. Banyak banget? Di ruang tamu aja enggak bisa?"

"Coba aja lihat."

Akhirnya gue mengimitasi langkah Ibu untuk melihat seberapa banyak kado dan bingkisan dari beberapa kenalan gue maupun dari keluarga sebagai hantaran. Dan ... banyak. Gue meringis mendadak.

"Taruh kamar Arin dulu, deh. besok kalau sudah dibongkar dekornya di ruang tamu, pindahin ke ruang tamu aja."

Ibu mengangguk. Meminta bantuan pada salah seorang anak karang taruna menaruhnya di dalam kamarku. di sana sudah rapi enggak ada lagi perlengkapan make up juga baju-baju yang tadi gue kenakan. Sudah dirapikan benar-benar oleh Mbak Rini. Dia juga takut ada yang tertinggal. Kecuali setelan yang masih dipakai sama Hulk.

Gue heran, Hulk ke mana, ya? Sejak tadi gue pamit untuk berganti pakaian, dia cuma mengangguk saja. Dan saat gue ikut membantu memindahkan kado ke kamar, sosoknya yang tinggi besar itu enggak ada. Hilang?

"Nah Kak Arin, ini semuanya sudah, ya."

"Makasih, ya. Lo jangan lupa makan. Bilang sama Ibu kalau mau makan atau kopi."

Pemuda itu malah nyengir. "Beres, Kak."

Gue cuma menggeleng saja. Komplotannya memang terbiasa membantu di rumah gue dan saat membersihkan akuarium kemarin, mereka yang gue mintai bantuan. Paling gampang dan memang paling cepat kerjanya.

Begitu gue mau tutup pintu, Hulk datang tiba-tiba. Bikin gue terpekik saking terkejutnya.

"Ya ampun. Kayak ngeliat s*tan aja."

Gue cemberut. "Bang, yang benar saja. Kalau dari mana-mana enggak perlu ngagetin gitu."

Dia malah tertawa. "Abang mau mandi. gerah banget. Kamar mandinya yang di mana?"

"Di dalam aja. Abis itu bantuin Arin rapiin kado." Gue melenggang masuk. Gue juga tau kalau dirinya mengikuti gue masuk ke kamar, soalnya gue dengar pintu ditutup. "Banyak banget, kan?" tunjuk gue pada setumpukan kado yang diletakkan belum terlalu rapi.

"Perlu dikunci enggak?"

"Iya lah. Masa enggak dikunci. Arin mau tidur. Kalau Abang masih mau ngobrol sama bapak-bapak, jangan lupa ditutup lagi."

Enggak tau kenapa, dia malah senyum-senyum gitu. konyol banget.

"Tolong siapkan baju dan handuk Abang, ya. Koper Abang di sini, kan?"

"Hem." Gue memilih menuju meja rias. Wajah gue belum pakai krim. "Nanti jas Abang semuanya taruh di tas yang ada di dekat kamar mandi, ya. Nanti orangnya Mbak Rini ambil. Jangan sampai ada yang ketinggalan."

Gue enggak dengar dia menjawab apa-apa, kecuali pintu lain yang tertutup. Gue rasa Hulk sudah masuk ke dalam kamar mandi. Gue memilih melanjutkan kegiatan di meja rias. Perlahan mengusap rambut yang masih basah, memberi conditioner di sana, juga serangkaian perawatan di wajah.

"Arin sudah makan?"

Refleks gue menoleh. "Astagrifullah! Abang! Pakai baju dulu!"

Hulk enggak sopan memang. Sudah gue pinjami kamar mandi biar leluasa tanpa perlu was-was diketuk tamu lainnya, malah sembarangan! Tanpa basa basi gue lempar kaus dan celana pendek yang tadi gue carikan untuknya di dalam koper. "Pakai segera!"

Dia malah menggeleng saja. "Dari tadi Abang panggil kamu untuk ambilin bajunya. Kamu enggak dengar, ya?"

Masa, sih? kapan?

"Kayaknya kamu sibuk sama wajah sendiri."

Gue nyengir saja lah. "Ya sudah cepat dipakai. Enggak usah sok mau pamer di depan Arin. Enggak ngaruh."

Dia tertawa kali ini lebih kencang ketimbang sebelumnya. Enggak butuh waktu lama dia sudah berpakaian lengkap. Nah, begini kan lebih aman. Enggak perlu gue melarikan mata ke mana-mana kalau harus bicara dengannya. Dan sekarang, dia sudah duduk di tepi ranjang gue.

Yang masih diselimuti dekorasi bunga-bungaan yang rasanya pengin gue copot dengan segera. Sesi foto-foto sebelum ijab kabul tadi sudah gue lakukan. Jadi dekorasi ini buat gue sudah enggak penting lagi.

"Arin sudah makan?"

Seketika gue ingat pertanyaannya tadi. "Belum, sih. Makan yang tadi bareng sama Abang itu." Dan itu sudah berlalu beberapa jam lalu. "Abang mau makan? Tanya Ibu aja adanya di mana. Arin malas banget. Capek."

"Ibu itu istrinya siapa?"

"Ya Ayah, lah!" sahut gue enggak nada enggak suka. Kok pertanyaan Hulk aneh banget.

"Nah, kalau Arin?"

Yakin lah gue tau maksudnya dia sekarang. Kesal yang tadi gue punya karena pertanyaan sepele itu, luntur. "Maaf, deh."

"Untuk kali ini, Abang yang ambilkan. Arin mau makan apa? Sama seperti tadi?"

"Ehm ... Arin aja deh."

Kening Hulk berkerut langsung. "Katanya tadi capek."

"Yah ... ketimbang ditanya sama Ibu ini dan itu." Gue jujur, memang malas kalau mendengar ceramah di saat tubuh butuh rebahan.

"Yang ikhlas dong, Rin."

"Ini ikhlas."

"Senyum gitu."

Gue manyun. Tapi hal itu justeru membuat masalah tanpa jadi saat Hulk seenaknya menarik tangan gue untuk mendekat. Gue yang tanpa pegangan apa-apa langsung masuk begitu saja dalam peluknya. Bikin gue melotot garang menatapnya yang malah terkekeh mendapati gue yang hampir marah ini.

"Sudah kah Abang puji Neng tadi? Kalau cantik banget istri Abang?"

"Sudah. Enggak tau yang keberapa saat ini." Gue mendorong pelan dadanya. Biar enggak terlalu dekat tapi gue rasa sia-sia. Hulk tenaganya besar. Gue yang kecil ini di dekapan dia enggak bakalan bisa berbuat banyak selain bergeliat milik ulat keket.

Tangan besarnya sudah menahan wajah gue. Gue sampai menahan napas dan berusaha banget enggak tegang karena enggak tau apa yang mau dia lakukan.

"Abang sayang Arin."

Dan kening gue mendapat hadiah berupa kecupan yang lama darinya.

"Jadi makan enggak, sih?" tanya gue yang padahal hanya sebagai alasan untuk menghindari dirinya. Lebih mengarah kalau gue ini rasanya mau pingsan! Kami terlalu intim kalau seperti ini!

"Jadi. Abang lapar dan Arin juga, kan?"

Hamdalah. Dia melepaskan gue.

"Isi tenaga dulu sebelum makan yang lain."

Sialan!

****

Gue sudah rebah di sisi ranjang kanan sementara Hulk di kiri. Gue bisa merasakan kalau dia pasti sudah pulas tertidur. Napasnya teratur gitu, kok. Enggak banyak bergerak pula. Setelah makan tadi—ini pun di kamar, soalnya di ruang makan masih berantakan. Biar enggak terlalu ribet makan di sana gue memilih membawa piring untuk Hulk ke kamar saja. Dia sendiri enggak jadi masalah. Dan piring kotor sengaja gue yang bawa keluar. Memilih ngobrol sebentar sama Ibu sebelum akhirnya gue didorong untuk masuk ke kamar lagi.

Ibu kadang-kadang luar biasa, ya.

Saat gue masuk kembali ke kamar, Hulk sudah rebahan dan terpejam. Gue enggak mau ganggu kalau begitu. Memilih hal yang sama sepertinya; tidur. Serius, deh. Pesta penikahan ini bikin gue capek. Dan gue rasa Hulk pun demikian. Sebelum gue mengambil posisi tidur, gue bisa perhatikan kalau wajah lelahnya memang ada di sana.

Gue enggak tau sudah berapa lama terpejam, yang jelas nyenyak banget. Dan gue merasa, seperti menerima pelukan yang bikin gue terbuai dalam tidur yang nyaman banget.

"Arin."

Rasanya gue dengar seseorang manggil gue, tapi masih malas untuk terbangun. Gue masih mau tidru karena enak banget tidur malam ini.

"Rin."

"Berisik banget. Masih ngantuk!" Gue menarik guling yang selalu jadi peneman tidur.

"Kalau enggak bangun, Abang cium nih."

Gue langusng melotot dan bersiap mau teriak begitu mendapati Hulk ada di dekat gue. Salah. Gue yang ada di pelukannya! Sejak kapan? Apa yag terjadi? Kenapa dia bisa di sini?

"Kenapa Abang di sini?"

Dia menyentil dahi gue bikin gue meringis seketika. "kalau kamu lupa, kemarin Abang ijab kabul nama istrinya Arintania Maharani."

Gue mencebik. "Arin masih ngantuk kenapa dibangunin, sih?" keluh gue padah akhirnya.

"Sholat dulu. Belum isya, kan, tadi? Pasti langsung ketiduran?"

"Memang Abang enggak?"

"Makanya itu. Ayo, jamaah."

Entah kenapa, rasanya d*da gue berdesir. Manis banget ajakannya. "Ayo. Abang duluan, deh. Arin siapkan sajadahnya dulu."

Dia mengangguk setuju dan gegas turun dari ranjang sementara gue menyiapkan alat sholat. Saat mata gue melihat jam dinding, sudah pukul sebelas malam. Astaga. kebangetan amat, ya, telat sholatnya. Kita tidur jam berapa, sih, tadi?

Gue cukup terpana saat seorang Rasyid melantunkan bacaan surah pendek. Bukan karena enggak ada yang salah, tapi entah kenapa gue merasa, mungkin ini yang namanya petunjuk dari sang Pemilik Hati. Seolah, gue diberitahu kalau enggak pernah ada yang salah untuk menerima pria yang saat ini memimpin sholat kami, untuk mendampinginya.

Mengarungi benar-benar apa itu rumah tangga.

Dan saat sholat kami selesai disertai serangkaian doa yang masih Hulk pimpin, gue berusaha sekali untuk menjadikan diri ini sebaik-baiknya istri yang ia miliki. Semoga Allah selalu berkahi pernikahan kami ini sama seperti harapan Ibu dan Bapak, juga Om dan Tante. Orang tua Rasyid.

Maka yang gue lakukan setelahnya, benar-benar salim seperti yang pernah ia katakan dulu. Belajar salim. Penuh takzim dan pakai penghayatan. Dan sebagai hadiah, kening gue lagi-lagi dikecup. Kayaknya ini hobi barunya, ya? Tapi enggak apa lah. Gue enggak larang.

"Ehm ... kalau malam ini ... Neng siap?"

Ini otak gue enggak perlu loading terlalu parah, sih. Gue paham maksudnya.

"Memang harus banget malam ini? Setelah pesta yang masih terasa capeknya?"

"Ya enggak juga. Makanya Abang tanya."

"Lanjut tidur aja, ya, Bang," kata gue sembari menahan senyum. melepas mukena dengan cepat dan melipatnya asal. Juga melipat sajadah yang tadi digunakan oleh Hulk eh ... Bang Rasyid.

"Oke. Tapi tidurnya peluk Arin. Boleh?"

Gue tertawaa saja dan mengangguk. "Bukannya tadi aku tidur di pelukan Abang, ya?"

"Iya." Dia menunjukkan lengannya. "Sampai pegel banget ditindihin Arin."

Gue mencebik. "Berlebihan banget."

Dia menepuk bantal yang ada di sampingnya. "Sini."

Biarpun jantung gue kelojotan tapi tetap berusaha biasa saja. memejam sejenak sebelum akhirnya gue naik ke ranjang dan mendekat padanya.

"Rin."

Gue mendongak karena panggilannya barusan.

"Jangan menggosok hidungnya di d*da."

"Kenapa?" Padahal gue Cuma sekilas saja melakukannya.

"Nanti bikin Abang enggak bisa tidur."

"Ya sudah enggak usah tidur."

Gue dengar dia menggeram pelan karena lagi-lagi gue lakukan hal itu. Wangi pelembut pakaian di kaus bang Rasyid enak banget. Gue mendadak suka.

"Arin."

"Apalagi, sih, Bang!" Gue mendongak dan menatapnya dengan pandangan sebal.

"Tidur atau Abang tiduri."

"Ya sudah opsi kedua aja."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro